Tidak disadari oleh kita sekalian,seakan waktu berputar seakan lebih cepat. Tidak terasa kita telah berada di ujung tahun 2009. Baru kemarin rasanya kita memulai semangat baru di tahun baru 2009, tapi hanya dalam hitungan jam ke depan tahun ini segera tertelan meninggalkan semua. Tanpa disangka pula begitu banyak fenomena dan dinamika kehidupan yang terjadi tanpa terduga dan terencana. Sekaligus mengukuhkan posisi kita semua sebagai manusia yang tidak akan pernah tahu takdir kita ke depan bagaimana? Begitu pula teramat banyak waktu yang dirasa berlalu dengan kesia-siaan. Demikian halnya sederet masalah-masalah yang menimpa dan masih mengambang keterselesaiannya, baik dalam konteks keindonesiaan maupun keislaman.
Maka idealnya bila mana di penghujung tahun yang penuh berkah ini kita sejenak bermuhasabah, mengintrospeksi diri pribadi serta merenungi amal dan perbuatan yang telah lalu guna menyongsong hari esok yang lebih baik dan menjanjikan. Bersama kita renungi akan keberadaan kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang telah dianugerahi begitu banyak nikmat tak terhingga, sehingga apa yang mampu kita persembahkan sebagai wujud kontribusi konkrit terhadap negeri ini? Seberapa besar kualitas negeri ini sehingga masih saja masalah berdatangan silih berganti. Sebagaimana yang demikian itu, keberadaan agama Islam yang boleh dibilah dewasa di negeri ini dan lebih tua keberadaannya, ternyata dalam praktik belum sepenuhnya aqidah dan syari'atnya terpatri kuat dalam sanubari setiap umat.
Dalam bingkai keindonesiaan, tentu masih tersimpan dalam ingatan sederet permasalahan maupun kejadian yang menimpa selama setahun ke belakang. Harus diakui bahwa sampai detik ini praktik korupsi, kolusi dan nepotisme masih menjamur di kalangan pejabat berwenang tingkat pusat sampai tingkat daerah. Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang boleh dikata sedang menunjukkan taringnya akhir-akhir ini, tidak serta merta menjadikan para koruptor jera. Ditekan sedemikian rupa, korupsi masih saja merajalela dan menjadi momok yang belum ada solusinya.
Satu lagi kerancuan di negeri ini ialah mandulnya hukum dan keadilan. Atas kasus yang menimpa Prita Mulyasari, nenek Minah dan rakyat kecil lain, tentunya dapat kitak tarik kesimpulan bahwa hukum di Indonesia masih tembang pilih dalam memutus keadilan. Hukum yang seharusnya menjadi tumpuhan akhir bagi rakyat lemah dalam mengais keadilan, justru semakin melemahkan kelemahan rakyat. Barangkali masih banyak Prita-Prita lain yang tidak terpublikasikan ke permukaan. Sementara di sisi lain, seorang Anggodo yang terang-terangan menyetir lembaga peradilan dengan hartanya justru kasusnya tidak bergaung dan orangnya masih bebas berkeliaran. Apakah memang keadilan tidak diperuntukkan bagi kaum lemah?
Masih banyak lagi problematika negeri yang masih menggantung sampai di penghujung tahun ini. Sebut saja konstelasi politik antarpolitikus yang belum mencapai titik kedewasaan dan sportifitas. Semisal saat-saat masa pemilu beberapa bulan yang lalu, kita dipertontonkan pendidikan politik yang tidak sehat. Antarkelompok saling serang sana, serang sini, demi kepentingan masing-masing. Kawan bisa menjadi lawan, sebaliknya lawan bisa menjadi kawan, seolah menegaskan bahwa tiada lawan maupun kawan yang abadi dalam strategi politik. Semua tergantung untung dan kepentingan. Ibarat kata kepentingan dapat membenarkan segalanya dan membenarkan perilaku inkonsisten.
Selain masalah-masalah di atas, dalam sisi yang lain kesejahteraan rakyat Indonesia masih jauh dari bayangan. Otonomi serta pemerataan semua daerah juga belum sempurna. Ditambah lagi bencana demi bencana seolah tiada berhenti menerpa negeri ini dan cukup menguras tenaga dan materi. Di tengah dinamika semua itu, salah satu guru bangsa sekaligus pembela kaum lemah yang senantiasa menggaungkan panji-panji demokrasi, KH. Abdurrahman Wahid, dipanggil oleh Sang Maha Pencipta.
Atas semua masalah yang terjadi sedemikian kompleks seperti itu menyebabkan keberlangsungan pembangunan nasional kurang optimal. Negeri ini ibarat berjalan terseok-seok karena salah satu kakinya yang pincang. Di satu kaki, Pemerintah yang belum lama terbentuk menebar semangat, strategi dan cita-cita akan Indonesia yang lebih baik. Sementara di kaki yang lain, berjubel penyakit berupa permasalahan yang kompleks menghambat kelancaran perjalanan meretas masa depan negeri. Totalitas semangat dan strategi yang seharusnya tercurah bagi kaki yang hendak menjemput cita-cita habis terkuras untuk menyeret-nyeret kaki yang pincang penuh masalah.
Tak ubahnya kondisi keislaman kekinian pun demikian. Dalam rentang waktu setahun ini telah berkali-kali Islam Indonesia dicemaskan dengan munculnya aliran-aliran sesat. Aliran yang mengaku Islam tapi telah keluar dari doktrin maupun ajaran main stream yang sebenarnya. Ini membuktikan bahwasannya implementasi tauhid juga syari'at belum melekat kuat dalam diri muslim kita. Dan sangat ditakutkan bila aliran-aliran yang demikian ini mempengaruhi para penganut Islam Indonesia yang lain, yang notabenenya kebanyakan dari mereka keimanan serta pengetahuan tentang islam belumlah kuat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa hakikat keislaman yang sebenarnya belum tercermin pada setiap muslim Indonesia kebanyakan. Islam seolah hanya menjadi embel-embel untuk melengkapi identitas mereka. Sedangkan praktik syari'at Islam dalam kehidupan mereka belum sepenuhnya terejawantahkan. Maka tidaklah heran bila di sana-sini maksiat merajalela. Kondisi demikian inilah yang menjadikan muslim di Indonesia rentan terhadap pengaruh budaya-budaya luar yang tidak seirama dengan agama Islam, terlebih budaya barat.
Begitu banyaknya masalah baik dalam bingkai keindonesiaan maupun keislaman yang diantaranya tersebut di atas mengisyaratkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan secepatnya. Bersyukurlah bahwa masalah-masalah masih mengelilingi kehidupan sehari-hari. Karena adanya masalah berarti perintah bagi kita untuk memperbaiki diri. Dengan masalah kita menjadi berpikir. Dengan masalah pula pengalaman-pengalaman baru kita dapatkan sekaligus perintah agar di esok hari jangan sampai kita jatuh di lubang yang sama. Pada akhirnya masalah-masalah yang selama ini mendera niscaya menjadikan Indonesia maupun Islam di kemudian nanti akan kokoh dan daya bantingnya kuat serta teruji. Itu semua akan tercapai jika masalah-masalah tersebut kita hadapi dengan bijak dan penuh pertimbangan.
Karenanya, di ujung pergantian tahun ini, bersama kita merenung sejenak tentang hal-hal maupun perbuatan yang telah lalu. Seberapa besar kualitas diri ini hingga detik ini. Barang kali kita perlu berfikir ulang mengenai kehidupan ini. Apa yang menjadi tujuan dari pada kehidupan dunia? Kemudian sudah puaskah kita dengan pencapaian-pencapaian yang telah kita raih hingga hari ini? Hidup merupakan pilihan antara yang baik atau buruk, bermanfaat atau jahat, bahagia atau nestapa. Apakah kita memutuskan untuk menjadikan hidup ini lebih bermakna ataukah hanya seperti binatang yang hanya makan dan memenuhi nafsu.
Coba kita renungi hari demi hari dalam hidup ini. Setiap satu hari kita dianugerahi 24 jam. Pejabat, rakyat, pedagang, pengemis, pengusaha, pengangguran semua sama-sama menikmati 24 jam. Tapi dari jumlah jam yang sama rata tersebut, apakah sama kualitas yang diperoleh dari hasil penghabisan waktu tersebut? Sederhannya, kualitas hidup ini hanya dapat diukur dengan seberapa besar kualitas orang tersebut dalam memaksimalkan dan memanfaatkan waktu hari demi hari. Untuk itu, putuskanlah sekarang juga untuk mewarnai dan memaknai kehidupan dengan kebaikan dan tindakan yang berkualitas. Kualitaskan diri anda untuk hal-hal yang terkecil, sehingga dengan akumulasi dari berkualitasnya hal-hal yang terkecil itu kita akan mampu menjadikan hal-hal yang besar berkualitas.
Wallahu A'lam…………..
Grobogan, sesaat menjelang pergantian tahun