Selamat Datang di Dunia olient_online

Selamat Datang di Dunia Mini olient_online

Kamis, 31 Desember 2009

Refleksi Akhir Tahun

            Tidak disadari oleh kita sekalian,seakan waktu berputar seakan lebih cepat. Tidak terasa kita telah berada di ujung tahun 2009. Baru kemarin rasanya kita memulai semangat baru di tahun baru 2009, tapi hanya dalam hitungan jam ke depan tahun ini segera tertelan meninggalkan semua. Tanpa disangka pula begitu banyak fenomena dan dinamika kehidupan yang terjadi tanpa terduga dan terencana. Sekaligus mengukuhkan posisi kita semua sebagai manusia yang tidak akan pernah tahu takdir kita ke depan bagaimana? Begitu pula teramat banyak waktu yang dirasa berlalu dengan kesia-siaan. Demikian halnya sederet masalah-masalah yang menimpa dan masih mengambang keterselesaiannya, baik dalam konteks keindonesiaan maupun keislaman.
            Maka idealnya bila mana di penghujung tahun yang penuh berkah ini kita sejenak bermuhasabah, mengintrospeksi diri pribadi serta merenungi amal dan perbuatan yang telah lalu guna menyongsong hari esok yang lebih baik dan menjanjikan. Bersama kita renungi akan keberadaan kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang telah dianugerahi begitu banyak nikmat tak terhingga, sehingga apa yang mampu kita persembahkan sebagai wujud kontribusi konkrit terhadap negeri ini? Seberapa besar kualitas negeri ini sehingga masih saja masalah berdatangan silih berganti. Sebagaimana yang demikian itu, keberadaan agama Islam yang boleh dibilah dewasa di negeri ini dan lebih tua keberadaannya, ternyata dalam praktik belum sepenuhnya aqidah dan syari'atnya terpatri kuat dalam sanubari setiap umat.
            Dalam bingkai keindonesiaan, tentu masih tersimpan dalam ingatan sederet permasalahan maupun kejadian yang menimpa selama setahun ke belakang. Harus diakui bahwa sampai detik ini praktik korupsi, kolusi dan nepotisme masih menjamur di kalangan pejabat berwenang tingkat pusat sampai tingkat daerah. Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang boleh dikata sedang menunjukkan taringnya akhir-akhir ini, tidak serta merta menjadikan para koruptor jera. Ditekan sedemikian rupa, korupsi masih saja merajalela dan menjadi momok yang belum ada solusinya.
            Satu lagi kerancuan di negeri ini ialah mandulnya hukum dan keadilan. Atas kasus yang menimpa Prita Mulyasari, nenek Minah dan rakyat kecil lain, tentunya dapat kitak tarik kesimpulan bahwa hukum di Indonesia masih tembang pilih dalam memutus keadilan. Hukum yang seharusnya menjadi tumpuhan akhir bagi rakyat lemah dalam mengais keadilan, justru semakin melemahkan kelemahan rakyat. Barangkali masih banyak Prita-Prita lain yang tidak terpublikasikan ke permukaan. Sementara di sisi lain, seorang Anggodo yang terang-terangan menyetir lembaga peradilan dengan hartanya justru kasusnya tidak bergaung dan orangnya masih bebas berkeliaran. Apakah memang keadilan tidak diperuntukkan bagi kaum lemah?
            Masih banyak lagi problematika negeri yang masih menggantung sampai di penghujung tahun ini. Sebut saja konstelasi politik antarpolitikus yang belum mencapai titik kedewasaan dan sportifitas. Semisal saat-saat masa pemilu beberapa bulan yang lalu, kita dipertontonkan pendidikan politik yang tidak sehat. Antarkelompok saling serang sana, serang sini, demi kepentingan masing-masing. Kawan bisa menjadi lawan, sebaliknya lawan bisa menjadi kawan, seolah menegaskan bahwa tiada lawan maupun kawan yang abadi dalam strategi politik. Semua tergantung untung dan kepentingan. Ibarat kata kepentingan dapat membenarkan segalanya dan membenarkan perilaku inkonsisten.
            Selain masalah-masalah di atas, dalam sisi yang lain kesejahteraan rakyat Indonesia masih jauh dari bayangan. Otonomi serta pemerataan semua daerah juga belum sempurna. Ditambah lagi bencana demi bencana seolah tiada berhenti menerpa negeri ini dan cukup menguras tenaga dan materi. Di tengah dinamika semua itu, salah satu guru bangsa sekaligus pembela kaum lemah yang senantiasa menggaungkan panji-panji demokrasi, KH. Abdurrahman Wahid, dipanggil oleh Sang Maha Pencipta.
            Atas semua masalah yang terjadi sedemikian kompleks seperti itu menyebabkan keberlangsungan pembangunan nasional kurang optimal. Negeri ini ibarat berjalan terseok-seok karena salah satu kakinya yang pincang. Di satu kaki, Pemerintah yang belum lama terbentuk menebar semangat, strategi dan cita-cita akan Indonesia yang lebih baik. Sementara di kaki yang lain, berjubel penyakit berupa permasalahan yang kompleks menghambat kelancaran perjalanan meretas masa depan negeri. Totalitas semangat dan strategi yang seharusnya tercurah bagi kaki yang hendak menjemput cita-cita habis terkuras untuk menyeret-nyeret kaki yang pincang penuh masalah.
           Tak ubahnya kondisi keislaman kekinian pun demikian. Dalam rentang waktu setahun ini telah berkali-kali Islam Indonesia dicemaskan dengan munculnya aliran-aliran sesat. Aliran yang mengaku Islam tapi telah keluar dari doktrin maupun ajaran main stream yang sebenarnya. Ini membuktikan bahwasannya implementasi tauhid juga syari'at belum melekat kuat dalam diri muslim kita. Dan sangat ditakutkan bila aliran-aliran yang demikian ini mempengaruhi para penganut Islam Indonesia yang lain, yang notabenenya kebanyakan dari mereka keimanan serta pengetahuan tentang islam belumlah kuat.
            Tidak dapat dipungkiri bahwa hakikat keislaman yang sebenarnya belum tercermin pada setiap muslim Indonesia kebanyakan. Islam seolah hanya menjadi embel-embel untuk melengkapi identitas mereka. Sedangkan praktik syari'at Islam dalam kehidupan mereka belum sepenuhnya terejawantahkan. Maka tidaklah heran bila di sana-sini maksiat merajalela. Kondisi demikian inilah yang menjadikan muslim di Indonesia rentan terhadap pengaruh budaya-budaya luar yang tidak seirama dengan agama Islam, terlebih budaya barat.
            Begitu banyaknya masalah baik dalam bingkai keindonesiaan maupun keislaman yang diantaranya tersebut di atas mengisyaratkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan secepatnya. Bersyukurlah bahwa masalah-masalah masih mengelilingi kehidupan sehari-hari. Karena adanya masalah berarti perintah bagi kita untuk memperbaiki diri. Dengan masalah kita menjadi berpikir. Dengan masalah pula pengalaman-pengalaman baru kita dapatkan sekaligus perintah agar di esok hari jangan sampai kita jatuh di lubang yang sama. Pada akhirnya masalah-masalah yang selama ini mendera niscaya menjadikan Indonesia maupun Islam di kemudian nanti akan kokoh dan daya bantingnya kuat serta teruji. Itu semua akan tercapai jika masalah-masalah tersebut kita hadapi dengan bijak dan penuh pertimbangan.
            Karenanya, di ujung pergantian tahun ini, bersama kita merenung sejenak tentang hal-hal maupun perbuatan yang telah lalu. Seberapa besar kualitas diri ini hingga detik ini. Barang kali kita perlu berfikir ulang mengenai kehidupan ini. Apa yang menjadi tujuan dari pada kehidupan dunia? Kemudian sudah puaskah kita dengan pencapaian-pencapaian yang telah kita raih hingga hari ini? Hidup merupakan pilihan antara yang baik atau buruk, bermanfaat atau jahat, bahagia atau nestapa. Apakah kita memutuskan untuk menjadikan hidup ini lebih bermakna ataukah hanya seperti binatang yang hanya makan dan memenuhi nafsu.
            Coba kita renungi hari demi hari dalam hidup ini. Setiap satu hari kita dianugerahi 24 jam. Pejabat, rakyat, pedagang, pengemis, pengusaha, pengangguran semua sama-sama menikmati 24 jam. Tapi dari jumlah jam yang sama rata tersebut, apakah sama kualitas yang diperoleh dari hasil penghabisan waktu tersebut? Sederhannya, kualitas hidup ini hanya dapat diukur dengan seberapa besar kualitas orang tersebut dalam memaksimalkan dan memanfaatkan waktu hari demi hari. Untuk itu, putuskanlah sekarang juga untuk mewarnai dan memaknai kehidupan dengan kebaikan dan tindakan yang berkualitas. Kualitaskan diri anda untuk hal-hal yang terkecil, sehingga dengan akumulasi dari berkualitasnya hal-hal yang terkecil itu kita akan mampu menjadikan hal-hal yang besar berkualitas.
Wallahu A'lam…………..

Grobogan, sesaat menjelang pergantian tahun

In Memoriam KH. Abdurrahman Wahid


Sekali lagi berkabung Indonesia
Penghujung 2009, bumi langit nusantara berduka
Sang bapak guru bangsa dan agama
Telah berpulang kepada-Nya
Isak tangis dalam gegap gemuruh takbir umat manusia
Membahana, mengiringi duka peristirahatannya


Jasa-jasanya yang tak terhingga
Niscaya akan selalu dalam kenangan selamanya
Kami, para santri dan cucunya
Mutiara kata dalam setiap petuah dan dawuhnya
Seutuhnya menjadi ilham dan motivasi kami generasi muda


Wahai maha guru bangsa
Inspirasilah kami dalam mengarungi kehidupan bernegara
Harapan panjenengan akan Indonesia yang sejahtera
Semoga mampu diwujudkan para pemimpin kami selanjutnya


Wahai pengayom umat pemandu ulama'
Kiprah, peran dan pemikiran panjenengan di Nahdlatul Ulama'
Laksana motivasi bagi penerusmu yang jama'
Menjadi harapan dalam setiap gerak-gerik dan do'a
Bagi masa depan Islam yang jaya


Kini perjuangan panjenengan telah purna
Beristirahatlah dengan tenang di alam baka
Indonesia senantiasa mengenang jasa-jasamu yang mulia
Islam mengabadikan perjuangan dan pemikiranmu yang lentera
Dunia niscaya kehilangan sang tokoh demokrasi dunia


Selamat jalan putra terbaik Indonesia
Selamat jalan ulama' kebanggaan semua
Selamat jalan Syaikhuna

Selamat jalan Murobbi ruhina
Sendi-sendi perjuanganmu akan senantiasa abadi
Mengawal demokrasi di negeri ini


Selamat jalan sang telaga keteladanan
Sapa doa kami menyertai kepulanganmu
Panjatan takbir dan fatihah mengiringi menuju peristirahatan terakhirmu
Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu 'anhu


Selamat jalan selamanya GUS DUR
Selamat jalan selamanya ….
Selamat jalan …
Selamat.....
Jalan.....


Grobogan, penghujung 2009
Seklumit persembahan atas kepulangan Presiden ke-4 Indonesia KH. Abdurrohman Wahid,
30 Desember 2009, pukul : 18.45 WIB


Selasa, 29 Desember 2009

Antara Tidak Berubah dan Terus Berubah-ubah


           Alam senantiasa berubah, demikian sunnatullah yang tidak dapat kita ingkari. Demikian halnya keadaan kehidupan manusia yang meniscayakan perubahan waktu demi waktu. Sementara roda kehidupan terus berputar semakin menuju pada titik terakhirnya. Hari ini seseorang berada di sisi atas, bisa jadi esok hari berubah ke sisi bawah. Bisa jadi saat sekarang anda dimuliakan, tapi tidak menutup kemungkinan nanti anda akan terhina. Maka demikianlah laju perputaran kehidupan yang dinamis. Semua berkelindan dalam garis takdirnya. Tapi tahukah teman, bahwa kita dapat merubah keadaan diri sendiri! Sebagaimana anjuran ikhtiar yang diisyaratkan Allah dalam petikan ayat, "Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga kaum itu merubah dengan diri mereka sendiri".
            Dewasa ini zaman terus berkembang pesat menuju arah kemajuan. Semua orang bersaing ketat dalam kompetisi meraih kesuksesan di era yang makin mengglobal ini. Semua pribadi bersaing sengit mengerahkan segenap tenaga dan pikiran dalam menyongsong masa depan, mengingat keadaan zaman semakin menuntut kecakapan dan kelihaian dalam menyulap setiap peluang berbuahkan uang. Kendati hukum alam telah menjelaskan bahwa kehidupan manusia bak roda, kadang di atas kadang di bawah, akan tetapi sangat logis bila semua pribadi menginginkan selamanya dalam kesuksesan dan kecemerlangan. Tinggal apakah bekal yang mestinya disiapkan untuk menyongsong itu semua ?
            Maka perlu diketahui bahwasannya terdapat dua tipe manusia yang mustahil menoreh kesuksesan di era sekarang. Adalah mereka yang enggan berubah dan mereka yang selalu berubah-ubah. Orang yang tidak mau berubah akan selalu tertinggal oleh kompetitor lain yang lebih dinamis dalam mengarungi hidup. Orang-orang yang demikian ini akan selalu terpinggirkan di masyarakatnya. Mereka cenderung stagnan dan sulit menuai kemajuan. Padahal, zaman semakin ke depan akan senantiasa berubah dan menuntut pelaku hidup untuk maju.
            Pada kenyataannya, orang-orang yang konsisten dalam ketidakberubahan lebih banyak memegang prinsip tertutup dari dunia luar lingkungannya. Kebanyakan dari mereka memiliki potensi menuju kesuksesan. Hanya saja, terperangkap pada satu prinsip yang sudah tiada relevan di zaman ini. Celakanya lagi bila prinsip yang demikian ini dikaitkan pada ajaran agama.
           Rasanya tidaklah sulit menemukan orang-orang yang masing berpegang pada ketertutupan dan ketidakberubahan. Masih banyak, khususnya di desa-desa, orang-orang yang menghendaki selamanya hidup di desa dan mengarungi hidup dengan apa adanya. Mereka enggan mengenal dunia modern yang dianggap hanya akan mengkontaminasi kehidupan mereka ke arah kesesatan dan ketidakbenaran dalam beragama. Sementara bila ada orang luar yang berkiprah di lingkungannya, ironis mereka gesit untuk mengintimidasi dan mencari-cari kesalahannya. Sekalipun kiprah orang luar itu demi kemajuan masyarakat, bahkan kemajuan di bidang agama sekalipun.
            Kemudian satu lagi tipe manusia yang jauh dari kesuksesan ialah mereka yang selalu berubah-ubah. Manusia yang demikian ini lebih dominan kepada mereka yang tidak berprinsip dan tidak berpendirian hidup. Tapak jalan kehidupan yang mereka lalui tanpa ada arah yang jelas dan selamanya hanya akan menjadi bumbu-bumbu kehidupan. Kata orang jawa bilang, "melu grubyuk ora ngerti rembuk". Mereka hinggap kesana-kemari di berbagai bidang tanpa pernah konsisten untuk menggeluti satu bidang tertentu. Sedangkan potensi diri yang mereka miliki seolah menjadi semu oleh ketidakkonsistenan dalam usaha meraih kesuksesan. Padahal, di era yang sarat persaingan menuntut setiap pribadi untuk memiliki ketrampilan matang di bidang tertentu guna memenuhi kebutuhan yang serba maju. Ujung-ujungnya mereka terpelanting keluar arena persaingan merebutkan kesuksesan. Maka pada akhirnya, kedua tipe manusia di atas akan punah digilas oleh perubahan.
            Belakangan muncul satu pertanyaan, jika tipe manusia yang niscaya punah ditelan zaman ialah mereka yang konsisten pada ketidakberubahan dan mereka yang terus berubah-ubah, lalu tipe manusia yang bagaimanakah yang akan merajut kesuksesan?
            Adalah mereka yang senantiasa beradaptasi terhadap keadaan dan perubahan zaman. Seeorang akan nyaman berbaur dan diterima oleh masyarakat manakala ia mampu beradaptasi dengan lingkungan di sekelilingnya. Untuk menjangkau semua itu diperlukan sudut pandang pemikiran yang terbuka terhadap segala hal dunia luar. Sudah semestinya mereka selalu mengikuti kemajuan dan perkembangan zaman kekinian. Dengan demikian keeksisan mereka dalam sosialisasi kehidupan akan diperhitungkan.
            Pada dasarnya, tidak semua hal yang berbau modern dan globalisasi akan menyesatkan. Tidak pula keputusan untuk terbuka terhadap dunia luar serta merta akan mencederai kualitas dan kuantitas keimanan serta pengejawantahan ibadah kepada Tuhan. Gemerlap dan warna-warni era modern hanyalah wahana dan merupakan konsekuensi logis atas keberadaan alam yang senantiasa berubah. Sedangkan sisi baik-buruknya terletak dan tergantung pada pemakai dan sudut pandang pemakaiannya. Bila dimanfaatkan untuk atau dengan cara keburukan, imbasnya ialah kesesatan dan kehancuran. Sedang jika dimanfaatkan untuk atau dengan cara kebaikan, maka tiada lain kecuali balasan berupa kebaikan serta pahala. Kiranya tidaklah sedikit hal-hal yang bernilai positif dari masa ke masa. Dan sangat mungkin bila era modern adalah ladang untuk beribadah kepada Tuhan sekaligus menuai kesuksesan.
           Sejak dahulu kala sejarah telah mencatat bahwasannya Jepang pada awal mulanya merupakan Negara biasa yang menutup diri dari intervensi Negara lain. Baru setelah Negara tersebut membuka lebar-lebar politik keterbukaannya yang disebut dengan Restorasi Meiji, saat itulah Jepang beranjak menjadi Negara maju. Negara tersebut mampu memanfaatkan moment keterdesakan oleh Negara lain menjadi peluang dan tonggak untuk mewujudkan Jepang Macan Asia. Diantara politik yang mereka adopsi ialah menyekolahkan anak bangsa setinggi-tingginya ke Negara-negara yang telah terlebih dahulu maju. Selain juga mendatangkan intelektual-intelektual hebat dari luar negeri untuk memberi pendidikan kepada para pelajar Jepang.
            Demikianlah seharusnya yang harus kita lakukan di tengah arus globalisasi yang sudah tidak dapat dibendung lagi. Kita harus mampu menjadi hamba yang sholeh yang dalam Al-Qur'an akan mewarisi dan memimpin kehidupan serta peradaban bumi. Tidaklah perlu merasa takut dan gamang untuk menghadapi globalisasi. Ambillah hal-hal yang positif dari era ini, sebagaimana motto orang NU "Al Muhafadhotu ala al qodimi as sholih wa al akhdzu bi al jadidi al ashlah".
           Pada akhirnya, keputusan untuk terbuka terhadap dunia modern cukuplah berat. Yang mesti digarisbawahi ialah bahwa diperlukan pondasi iman dan benteng keilmuan agama yang kuat dan mumpuni sebelum terjun dan berbaur dengan dunia modern yang tanpa batasan, agar tidak tersesat dan terombang-ambing oleh permainan duniawi. Jika hal demikian telah didapatkan, keterbukaan terhadap segala hal dengan tetap bijak dalam memilih dan memilah baik-buruk merupakan sebuah keniscayaan untuk membuka gerbang kesuksesan.
            Mari kita sapa gerbang 2010 dengan target dan obsesi maksimal untuk memperoleh kesuksesan dunia-akhirat. Dan tergesalah untuk berbuat kebaikan sepanjang waktu, niscaya kebaikan pula yang hendak kalian dapatkan. Selamat berjuang……………..

Brakas, penghujung 2009

Jumat, 04 Desember 2009

Cerpen 1 : Risau Surau

            Pesona awan yang memerah masih menggantung di hamparan langit ufuk barat. Segera menyusul kegelapan petang, mengejar dari jagad timur. Siang pun dilumat oleh datangnya malam. Menghentikan aktifitas para pekerja. Menyapa para pelajar untuk bersua bersama orang tua. Menyatukan induk hewan dengan anaknya. Memanggil suara binatang malam. Mempertemukan para bapak dengan istri dan anaknya. Malam sedang berpacu.
            Segera adzan bergema. Mengalun merdu menyapa alam, laut, matahari, tumbuh-tumbuhan, hewan, serta seluruh makhluk di muka bumi ini. Bertasbih mengagungkan kebesaran-Nya. Sementara aku masih berdiri tak jauh dari sumber suara itu. Memandangi lekat-lekat surau tua di depanku. Sekian lama ku tinggalkan ke pesantren, di mataku surau itu masih tetap tampak megah, indah dan berharga walau telah lapuk dimakan usia. Barangkali laboratorium ilmu dan ibadah itu tidak begitu menarik bagi kebanyakan orang. Selain dinding-dindingnya yang telah keropos, atau atap yang bocor saat musim hujan tiba, tidak ada benda-benda yang berharga atau istimewa disana. Bila dibandingkan dengan bangunan-bangunan rumah disekelilingnya, surau itu ibaratkan rakyat kecil pucat, berdiri di tengah para pejabat kaya raya untuk meminta-minta.
           Aku pun memasuki bangunan itu. Setelah selesai mendirikan sholat Maghrib berjama’ah, kusempatkan membaca Al-Qur’an walau sejenak. Ku ambil Mushaf Al-Qur’an yang tampak lusuh dan berdebu di lemari. “Tampaknya mushaf-mushaf ini tak pernah digunakan” pikirku.
“Rizal! Kapan pulang?” Kyai Abdullah, imam surau itu memanggilku. Beliau adalah orang yang selalu membimbingku sebelum di pesantren. Di bawah asuhannya, pertama kali aku mampu membaca Al-Qur’an kala masih kecil. Dulu, setiap hari aku mengaji dengan beliau bersama teman-temanku yang sangat banyak. Selain alim dan bersahaja, beliau juga hafal Al-Qur’an.
            Aku berjalan, merunduk menghadap beliau. Walaupun semakin tua, tapi sorot wajah beliau masih sama seperti dulu. Teduh dan mengayomi umat. Dengan sorban yang mengelilingi leher beliau, semakin menambah wibawa. Ku sempatkan mencium tangan beliau terlebih dahulu. “Oh.. inggih Pak Kyai. Tadi sore setelah Ashar”.
            Kami terdiam sejenak. Lalu ku beranikan diriku bertanya-tanya. “Kok sepi ya Pak Kyai? Padahal, dulu waktu setelah Maghrib seperti ini kan paling ramai-ramainya orang mengaji?”
            Kyai Abdullah menghirup nafas sejenak. Beliau tampak mendesah. “Ya… beginilah Zal. Semua orang sekarang menganggap belajar Al-Qur’an tidak penting. Mereka sibuk mengurusi urusan duniawi sampai melupakan pendidikan Al-Qur’an bagi anak-anak mereka. Boro-boro mengurusi ngaji, berjama’ah saja mereka susah. Paling-paling, ada jama’ah ya waktu Maghrib saja. Itu pun tidak seramai dulu. Sampai surau ini akan roboh pun mereka tidak pula memperhatikannya”.
           Keresahan dan keputusasaan beliau juga aku rasakan. Sekali lagi kami terdiam. Aku tak berani mengeluarkan kata-kata. Beliau terbatuk-batuk sesaat. “Zal! Aku ini sudah tua. Aku tak segiat seperti dulu untuk berdakwah. Sudah saatnya, sebagai generasi muda kamu membaktikan dirimu untuk menjaga keislaman di desa ini. Kalau tidak ada yang meneruskan, apa jadinya agama islam ke depan?”.
            “Pak Kyai, aku ini belum bisa apa-apa. Aku ini anak kemarin sore yang masih harus menuntut ilmu lebih bayak”.
            “Lebih baik punya ilmu sedikit tapi diamalkan, daripada ilmu banyak tapi lupa dengan masyarakat di sekelilingnya. Setiap saat kamu masih dapat belajar dari realita kehidupan”.
* * *
Pukul setengah empat pagi.
            Aku terbangun. Diluar hujan deras masih mengguyur. Barang kali tak banyak orang yang tahu sejak jam berapa hujan itu turun. Semua orang terbius oleh nikmatnya tidur malam. Maklum, para orang tua sejak pagi sampai sore harus membanting tulang setiap hari. Sedangkan para anak-anak belajar di pagi hari dan bermain sore harinya. Maka wajar, ketika jarum jam ada pada angka sepuluh malam, desa ini telah sunyi senyap. Rupanya malam hari menjadi waktu tepat untuk beristirihat, melepas lelah dan penat.
            Aku berusaha bangkit dari tidur sekedar untuk mendirikan sholat malam. Tapi rasa dingin yang cukup menjadikanku ini menggigil, memberatkan niatku. Sementara diluar, guntur bergemuruh keras dan bersahut-sahutan. Malam benar-benar terbalut oleh pekatnya gelap dan derasnya hujan. Sebagaimana juga aku yang tak kuasa untuk melepas jaket dan selimut. Malam itu, aku kalah oleh hawa dingin. Akhirnya, kuurungkan niatku untuk bangun. Rasanya membalutkan jaket dan selimut lebih nikmat dibandingkan harus menyentuh sepercik air wudhu yang dinginnya tiada terkira.
            “Ngga’ bangun sekali aja kan ngga’ apa-apa. Habisnya dingin sih! Toh, hujannya semakin deras”. Batinku berusaha memantapkan diri ini untuk benar-benar mengurungkan niat. Padahal sesungguhnya setan sedang menyelinap diam-diam, menggodaku untuk meninggalkan kebaikan. Aku terlupa bahwa pada saat hujan yang deras seperti ini, Allah melimpahkan rahmat di setiap tetesan, bagi mereka yang menenggelamkan diri dalam runduk do’a, bermunajat, mengagungkan kebesaran-Nya.
            Aku benar-benar kalah pagi ini. Segera kupejamkan mata kembali. Menikmati dunia mimpi dalam balutan guyuran air hujan. Namun, ketika alam sadarku hendak melangkah ke alam mimpi, sayup-sayup aku mendengar suara bersahut-sahutan dari ujung corong speaker.
            Seruan adzan Subuh menggema. Menyapa hujan yang sesekali diiringi oleh hembusan angin kencang. Sangat kencang. Menyapa iman para muslimin. Seberapa besar mereka kuat memenuhi panggilan Ilahi diantara dinginnya air hujan dan nikmatnya tidur malam. Aku segera bangun dan memaksakan muka ini dibasuh oleh dinginnya air wudhu. Panggilan sholat subuh akhirnya aku dirikan sendirian di Musholla pribadi. Karena terlalu berat bagiku untuk berjama’ah di surau yang cukup jauh dari rumahku, dalam keadaan hujan yang sederas ini. Setelah sholat kusempatkan membaca Al-Qur’an walaupun hanya satu juz.
* * *
Pukul setengah enam pagi.
            Gumpalan awan hitam telah bergeser dari langit desa. Hujan telah reda meninggalkan cerita yang beraneka ragam. Gara-gara hujan, rumah pak Rahmat dekat tepi sungai, penuh dengan air luapan sungai yang pasang akibat hujan semalam. Sementara di seberang timur, pak Ahmad seperti kebakaran jenggot. Padi yang telah menguning, gagal dipanen karena sawahnya penuh air seperti lautan. Pak Hadi adalah yang paling riang. Sejak musim hujan tiba, dagangan payung dan mantolnya laris manis tiap hari diburu pembeli. Sebagaimana cerita-cerita itu, hujan semalam juga menyisakan cerita duka yang mendalam. Terlebih bagi diriku yang merasa amat kehilangan.
            Aku sedang duduk di balai depan rumahku. Ku tebarkan pandangan ke semua arah. Di depan sana sisa-sisa air hujan masih terlihat di ujung dedaunan yang menetes. Pandanganku terheran oleh langkah Andi yang tergesa-gesa. Kemudian disusul Abdul dan Agus dibelakangnya. Aku berjalan menghampiri mereka.
           “Gus, ada apa? Kok jalanmu tergesa-gesa seperti ada sesuatu yang penting” aku mencoba mereka-reka apa yang ada di pikiran Agus. Tapi tidak bisa.
            “Lho, Zal! Kok kamu masih di rumah? Memangnya kamu tidak tahu musibah semalam ya?”
            “Musibah! musibah apa?” aku mengerutkan dahi. Mataku menatapnya lekat-lekat penuh penasaran.
           “Musibah tadi Shubuh. Kyai Abdullah wafat tertimpa runtuhan surau yang ambruk waktu beliau sedang Sholat Shubuh. Aku juga belum tahu pastinya, soalnya aku baru tahu dari Pakde. Sudah ya… aku buru-buru mau langsung kesana” Agus menjelaskan singkat, padat dan jelas.
            Mendengar kabar itu, ususku bagai dilolosi satu per satu. Hatiku bagai dicabik-cabik oleh tajamnya pedang. Darahku seolah berhenti mengalir, membeku setelah mendengar bahwa orang yang selama ini menjadi penjaga moral dan ruhku kini telah tiada. Sampai-sampai, aku pun tidak sadar kalau Agus telah berjalan meninggalkanku.
            Tidak perlu pikir panjang, aku segera menyusul mengikutinya. Di jalan hatiku kalang kabut. Seolah tidak rela dengan kepergian Kyai Abdullah. Kenapa beliau harus pergi duluan disaat desa ini masih sangat membutuhkan sosok beliau. Kenapa tidak para koruptor, teroris atau penguasa yang dholim yang meninggal lebih dulu. Kenapa tidak mereka yang selama ini memalukan dan merugikan bangsa dan agama ini.
           Pagi itu mendung desaku benar-benar berduka. Sosok yang selama ini menjadi pilar utama penyangga moral dan iman desa ini harus kembali kepada-Nya. Tokoh yang selama ini tidak pernah lelah mensyi’arkan panji-panji islami kini telah tiada. Meninggalkan desa yang sesungguhnya belum kokoh menghadapi lika-liku kehidupan. Meninggalkan kami semua. Terlebih, meninggalkanku yang belum siap, belum mampu dan merasa belum layak meneruskan perjuangannya.
          Pagi itu hujan telah membawa pesan dari surau. Pesan peringatan bagi umat agar selalu memperhatikannya. Dalam artian agar umat ini senantiasa meramaikan surau-surau dengan mendirikan sholat berjama’ah lima waktu, serta mengadakan majlis-majlis pengajian. Karena pada hakikatnya, surau itu telah roboh jauh-jauh hari ketika umat ini telah merendahkan urusan sholat berjama’ah demi mengejar nafsu duniawi. Sesungguhnya sholat dapat mencegah dari perbuatan keji dan inkar.
Wallahu A’lam…

Brakas, dalam keresahan atas kondisi keumatan islam kekinian

Jumat, 20 November 2009

Islam Multiopsi

            Terminologi Islam diartikan sebagai agama samawi yang diturunkan Allah kepada utusan-Nya Nabi terakhir Muhammad SAW, yang kemudian disampaikan kepada umat manusia. Islam menjadi agama paripurna dari segala agama di muka bumi ini, sebagaimana termaktub dalam kitab-Nya yang berarti, "Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku ridhoi Islam jadi agama bagimu". (Q.S. Al-Ma'idah : 3).
          Kendati Islam merupakan agama paripurna dan telah mengatur segala kaifiyyah dan bentuk pengamalan dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi, bukan berarti tidak menutup adanya perbedaan di dalamnya. Sebagaimana Indonesia yang beragam suku dan bahasa, Islam juga menawarkan versi yang berbeda-beda tanpa harus menafikan rasa persaudaraan antarsesama. Memasuki gerbang Islam di era modern seperti sekarang laksana memasuki warung makan. Sejenak masuk, menu-menu makanan yang beragam pun segera ditawarkan. Ada porsi yang tersaji dengan lezat, indah dan rapi, tapi proteinnya tak seberapa. Ada pula sajian yang instan tapi syarat dengan kandungan. Ada yang rumit, ada yang rasanya pahit dan lain sebagainya. Semua itu bertujuan sama, untuk mengisi perut yang lapar dan memberikan asupan gizi bagi tubuh.
            Tak ubahnya Islam juga demikian. Seiring dengan terus berputarnya laju waktu dari masa ke masa menjauhi waktu lahirnya Islam itu sendiri, agama ini berkembang luas dan dinamis. Segaris dengan itu Islam hadir dengan multiopsi versi-versi kelompok yang berbeda-beda dalam hal pengamalan ajaran Islam. Dengan tendensi yang kuat, kelompok-kelompok ini makin berkembang di lingkungannya. Sebut saja Gus Dur, dengan gaya keislaman yang akomodatif dan kadang terkesan kontroversial. Meski demikian tak sedikit umat yang mengikuti jejak fahamnya. Ada pula kelompok yang lebih ekstrim dan memilih bertiarap, tapi ketika kemaksiatan merajalela mereka gencar memberantas di garda paling depan tanpa ada kompromi, seperti Front Pembela Islam (FPI). Kemudian ada pula Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan gaya keislaman yang elastis dan kritis. Lalu Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah dan lain sebagainya dengan gaya yang berbeda-beda.
            Jika menelisik rekam jejak Islam dalam melegitimasi ajarannya dalam syari'at, sejatinya ikhtilaf atau perbedaan telah dikenal sejak zaman sahabat. Pada awalnya, ketetapan syari'at memang berdiri tegak di pundak Rasulullah. Karena ketika itu tidak ada seorang pun yang memiliki otoritas untuk menghukumi suatu persoalan kecuali Beliau. Rosul sendiri berpedoman pada 2 referensi, Wahyu Ilahi dan Ijtihad Rasul. Maka ketika suatu problem keislaman muncul, Rasul akan merujuk pada wahyu yang diturunkan Allah. Akan tetapi kala wahyu tersebut tak juga turun, Rosul akan menggunakan otoritasnya untuk berjihad. Oleh karenanya, pada periode Rosul ini tak pernah terjadi perbedaan, semua merujuk pada sumber yang satu, yaitu Rosulullah.
           Sepeninggal Rosulullah SAW Islam semakin berkembang luas, sementara tokoh-tokoh pun bertambah dan permasalahan semakin beragam. Dalam keadaan yang demikian itu perbedaan pemikiran mulai muncul di tengah-tengah para sahabat Nabi. Pemahaman akan konteks dari nas-nash Al-Qur'an dan Al-Hadits antara satu sahabat dengan yang lain berselisih pemikiran dan sudut pandang. Selain itu kapabilitas dan daya ingat materi Hadits antarsahabat tidak setara. Bisa jadi koleksi Hadits yang dimiliki salah seorang sahabat ada yang tidak dimiliki sahabat lain, begitu juga sebaliknya. Kemudian nash-nash yang telah ada belum tentu relevan dengan realitas sosial di masa sahabat. Berangkat dari situ, maka sangat logis bila terjadi perbedaan diantaranya. Biarpun begitu, dalam pengambilan sumber landasan hukum dan tata caranya mereka tetaplah seirama, yaitu Al-Qur'an, Al-Hadits dan Ijtihad. Artinya, para sahabat hanya berselisih pada masalah furu' dan tidak sampai pada ushul.
           Akan tetapi ketika kejayaan Islam telah merambah pada generasi Tabi'in perbedaan pemikiran semakin luas dan kompleks. Perbedaan-perbedaan ini telah menyentuh pada prinsip-prinsip penetapan hukum dan garis-garis besarnya. Sebagai contoh perbedaan dalam meneliti keotentikan sumber Hadits maupun ijtihad sahabat nabi. Kemudian pula mengenai orientasi penetapan syari'at. Juga prinsip-prinsip dan kaidah bahasa yang digunakan untuk memahami nash. Implikasinya, pada periode ini lahir madzhab-madzhab. Meski demikian, kemungkinan-kemungkinan silang pendapat yang meluas dan berkelanjutan di masa mendatang justru terbatasi di masa ini. Sebab pada generasi ini spirit dan gerakan keilmuan menggeliat. Di mulai dengan hadits-hadits yang sebelumnya tercecer dan dipertanyakan validitasnya, kemudian diverifikasi oleh tokoh-tokoh yang kapabel dan dikodifikasi sedemikian rupa. Selain itu, karangan-karangan buku ushul fiqh juga mulai bermunculan. Hingga pada akhirnya di masa ini lahir madzhab-madzhab yang sah dan menjadi panutan serta pegangan bagi umat Islam hingga hari ini. Madzhab-madzhab tersebut adalah Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dan Syafi'iyah. Sejak saat itu pintu madzhab tertutup dan perbedaan pemikiran terbatasi. Sedangkan kita umat Islam diharuskan merujuk kepada salah satu dari empat madzhab tersebut.
            Pada hakikatnya perbedaan ialah rahmat. Adanya perbedaan mengindikasikan aktif dan hidupnya nalar pikir umat Islam. Semua itu merupakan konsekuensi logis atas kepemilikan akal sehat yang dianugerahkan Allah kepada masing-masing pribadi. Hadirnya keempat madzhab di atas tidak lantas mengurangi keotentikan agama Islam saat ini. Sebab semua itu telah melalui sanad dan pengajaran yang shahih, serta komunikasi psikologis kepada sang Nabi Muhammad SAW.
            Yang perlu digarisbawahi dari fenomena ini adalah masing-masing penganut madzhab jangan sampai memvonis ketidakbenaran madzhab lain. Maka dengan perbedaan ini sudah selayaknya kita memposisikan sama antara keempat madzhab, serta memupuk rasa egaliter pada diri kita. Bahwa kemudian belakangan ini muncul propaganda yang terbungkus dalam aliran-aliran sesat semacam Ahmadiyah, Al Qiyadah Al Islamiyah, Ilmu Kalam Santriloka, Sabda Kusuma, bagaimanakah penilaian kita seharusnya?
           Sudah barang tentu menjadi sebuah kewajiban bagi kita untuk meluruskan ajaran-ajaran mereka kepada main stream yang sesungguhnya, tentunya dengan lemah lembut dan mauidhoh hasanah. Maka melihat yang demikian ini, sudah sepatutnya bagi kita untuk lebih mendalami agama Islam dengan sungguh dan seyakin-yakinnya, agar di kemudian hari kita tidak terombang-ambing pada arus-arus pemikiran yang dewasa ini sudah sangat bebas hingga pada akhirnya kita menjadi pribadi yang ragu dan tidak konsisten.
            Islam adalah agama mulia. Agama yang lembut dan penuh kedamaian. Agama yang universal dan toleran. Agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Maka "Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang Telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, Karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya" (Q.S. Ali Imron : 19)
             Wallahu A'lam…..

Jumat, 13 November 2009

الشعر


إعتبار الحياة

يوم بعد يوم فى الحياة سرى
فكل أمر كان بالقضاء جرى
لكن أؤمن ليس فيها كلها إلا المنى
فحلم يمر ولا وقف بدى
إهداء للذي من الله اهتدى

فانظر الرياح هناك يا إخواني
كيف نتنفّس طوال الأوقات بها
فنعلمها ولم نعط شيئا لها
وانظر الأبدان أعضائها
ما نزال نستعملها ليلا ونهارا
فليس عندنا شيئ لأجر خالقها
فانظر غيرها فغيرها
كيف نتدبر جميعا
طوبى لمن يتقوّم الحياة
إبتساما للتقرب إلى الله

يا مالكا بالحياة الدارين
إرحمنا لشكر نعمتك وتسبيح عظمتك الكريم
كل فرح بغيرك زائل
وكل شغال بسواك باطل
فأسعدنا بما أنعمتنا
برضاك ولطفك يا رب العالمين

ربّ أوزعني أن أشكر نعمتك التي أنعمت عليّ وعلى والديّ وأن أعمل صالحا ترضاه وأصلح لي في ذرّيّتي إني تبت إليك وإني من المسلمين

براكاس, إهداء شكري إلى ربي

Selasa, 10 November 2009

Pahlawan di Abad Modern ?

           Sejarah mencatat, Indonesia merupakan Negara kepulauan yang kaya raya. Setiap jengkal tanahnya menyimpan potensi alam yang melimpah. Di gunung, di laut dan di setiap pulau sumber daya alamnya seakan tak pernah habis dijarah masa. Tak pelak menjadikan Negara-negara besar dunia berlomba-lomba menguasai bumi kita. Dan berabad-abad tahun Indonesia tunduk di bawah penguasaan penjajah. Selama itu pula bangsa menabuh genderang perlawanan meski tiada arti. Hingga pada saat waktu membuktikan bahwa semangat nasionalisme di dada yang senantiasa berkobar mampu membumihanguskan penjajah dari bumi pertiwi, yang dipertegas dengan diproklamirkannya kemerdekaan Indonesia. Kemenangan ini dituntaskan lagi melalui perlawanan terhadap sekutu di Surabaya 10 Nopember 1945.
           Siapa gerangan yang patut memperoleh penghargaan dan penghormatan dibalik peristiwa bersejarah tersebut? Sudah barang tentu mereka para pahlawan bangsa. Merekalah putra-putri terbaik bangsa yang rela menjadi benteng pelindung demi kejayaan Indonesia. Terlebih bagi mereka yang telah gugur di medan perang. Sungguh teramat mulia para patriot bangsa yang gigih bertaruh nyawa untuk mempertahankan martabat tanah air. Kini setelah kemerdekaan dicapai lebih dari setengah abad, masihkah ada pahlawan-pahlawan bangsa bermental 45? Ataukah yang tersisa hanya kebanggaan romantisme historis semata yang tak akan pernah terulang lagi?
            Tentu saja tidak. Para guru yang tanpa pamrih mengabdi demi mencerdaskan generasi bangsa, mereka yang duduk di DPR menyuarakan hati nurani rakyat dengan lantang, Aparat Pemerintahan dengan kemampuan akal, moral, spiritual, jiwa dan raga yang mereka curahkan untuk mengatur dan memajukan bangsa, mereka semua adalah pahlawan-pahlawan nusa dan bangsa. Putra-putri pengharum Negara di mata dunia, para pendekar bangsa yang melindungi dari jajahan pemikiran, jajahan korupsi, jajahan keserakahan serta jajahan ketidakadilan, mereka juga pahlawan-pahlawan terbaik di masa kini. Dan masih banyak lagi pahlawan-pahlawan di jalanan, di rumah, di pabrik, di pembuangan sampah, di sekolah, di darat, di laut, di udara dan lain sebagainya.
           Akan tetapi muncul problematika, ketika belakangan ini para pahlawan banyak yang terkoyak oleh noda-noda kotoran yang mereka ciptakan. Tentu sudah menjadi rahasia umum bahwa banyak anggota DPR yang kini tunduk kepada tuhan baru berupa uang. Tidak sedikit pula pejabat publik yang beribut-rebut hanya karena silau kekuasaan dan kemewahan. Dan yang masih santer terdengar, para pendekar keadilan kita dengan tanpa malu disetir oleh penjajah yang tidak bertanggung jawab. Lalu harus kemana lagi kita mencari sisa-sisa pahlawan dalam arti yang sesungguhnya di abad modern ini?
            Andai seluruh elemen bangsa ini selalu mengingat dan menghayati dengan sepenuh hati betapa gigihnya para pejuang kita yang dengan seluruh tumpah darah rela mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan tanah air, niscaya tak akan pernah ada satupun individu yang tega melecehkan dan mempermalukan bangsa sendiri. Tidak akan pernah ada korupsi, tidak ada nafsu serakah, tidak ada mafia hukum, tidak ada penyelewengan pejabat maupun rakyat. Karena semua bersatu padu untuk memajukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada akhirnya semua itu menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan baru di negeri ini.
           Sejenak, bersama kita heningkan cipta mengenang para pahlawan. Berikan penghargaan tertinggi kepada mereka dengan mencurahkan sepenuh jiwa raga hanya untuk negeri tercinta. Bersama kita perangi hawa nafsu yang selama ini membelenggu diri serta menyerahkan hidup sepenuhnya kepada kebaikan dan kemanfaatan. Paling tidak dengan begitu kita telah menjadi pahlawan bagi diri sendiri. Bravo Indonesia!

Brakas, dalam refleksi Hari Pahlawan, mengenang yang telah gugur di medan perang.

Sabtu, 31 Oktober 2009

Mimpi-mimpi Nyata

           Barangkali selama ini kita kurang percaya dengan kemampuan yang kita miliki. Kita terlalu pesimis dan takut untuk mencapai asa. Karena barangkali kita merasa bahwa kesuksesan adalah sebuah beban. Sehingga rasa pesimis tersebut seakan merupakan virus yang menjalar dan menjadikan kita merasa cukup dengan hidup yang apa adanya tanpa spirit kesuksesan yang menggebu-gebu. Kita kurang percaya dengan perkataan orang-orang bijak 'dimana ada kemauan, disitu akan diperoleh apa yang dicita-citakan'.
           Apalagi dalam tataran dunia pendidikan. Rasa percaya diri untuk mencapai asa seharusnya dimiliki oleh setiap pribadi pelajar, khususnya pelajar negeri kita Indonesia. Rasa percaya diri untuk meneguk lautan ilmu sebanyak-banyaknya harus ditanamkan lekat-lekat pada pribadi pelajar, agar generasi bangsa ini mampu bersaing dalam mendobrak kebekuan arus globalisasi serta mampu menjadi garda terdepan dalam memimpin segala bentuk dinamika zaman. Oleh karenanya, rasa haus akan ilmu jangan sampai terpisah dari jiwa raga pelajar bangsa, terkhusus pelajar islam. Jangan sampai kita merasa puas dengan kemampuan yang telah kita dapatkan dalam sejengkal kaki. Ibarat harus melintasi samudera dan benua, bila kita mampu, maka hal itu harus digalakkan.
            Untuk menggapai itu semua, kita harus yakin dan percaya diri bahwa kita mampu untuk meraih segalanya. Jangan sampai kita hanya mengagumi dan membanggakan tokoh-tokoh kharismatik. Akan tetapi kita harus berusaha supaya mampu seperti beliau-beliau, bahkan melampauinya. Dan kita pun harus optimis bahwa kita mampu melakukannya.
            Pada dasarnya, secara teoritis setiap manusia dapat dipahami sebagai makhluk yang mempunyai Idealisme Antropologik. Artinya setiap manusia merupakan makhluk yang memiliki unsur spiritual-intelektual yang secara intrinsik tidak tergantung pada materi. Nah, sampai disini kita tahu bahwa antara kita dan tokoh-tokoh terkemuka sama-sama memiliki unsur tersebut. Jadi tidak ada alasan untuk tidak bias pintar. Juga tidak ada alasan untuk tidak bias melebihi para tokoh-tokoh terkenal. Tidak ada pula kata terlambat.
            Lalu apa kendala yang menjadikan kita terkekang pada lubang kebodohan? Apa pula sekat yang menjdikan kemampuan intelektual kita sulit untuk maju dan berkembang? Semuanya tergantung pada diri pribadi masing-masing. Yang membedakan antara diri kita dan maestro-maestro intelektual dunia hanyalah sebuah jerih payah dan usaha maksimal yang dibarengi ghiroh yang sangat kuat, sehingga memacu spirit belajar, belajar dan terus belajar. Kita terlalu malas dan takut untuk selangkah lebih maju.
           Realitas membuktikan, kebanyakan dari kita merasa puas dengan apa yang telah diperoleh saat ini. Kita hidup tanpa mengetahui jati diri dan potensi terbaik yang tersimpan dalam diri kita. Kita kurang percaya bahwa sebenarnya kita mampu untuk memperoleh lebih dari saat ini. Kebanyakan dari kita lebih memilih menjalani hidup yang apa adanya tanpa berani mengambil resiko untuk lebih maju. Hidup dalam keadaan terbelenggu oleh siapa diri kita sebenarnya. Hidup dalam tawanan rasa malas, langkah yang penuh keraguan dan kegamangan. Hidup tanpa potensi terbaik yang kita miliki.
            Di sekitar, kita acap kali lebih banyak menemukan teman-kita yang negative thinking, hidup apa adanya tanpa terarah. Orang-orang yang tidak tahu potensi terbaik yang diberikan Allah kepadanya. Orang-orang yang terperangkap dalam kbodohan dan ketertinggalan. Padahal jika mau benar-benar berusaha insya Allah akan menuai mimpi-mimpi jadi nyata. Penulis sendiri merasa banyak teman-teman penulis yang sebenarnya cerdas, tapi karena tidak mau berusaha dan cenderung malas-malasan akhirnya terperangkap dalam kebodohan.
            Sejatinya kita laksana singa dewasa yang memiliki kekuatan dahsyat. Sekali mengaung, seketika kita tunjukkan pada dunia bahwa kita mampu mengimbangi dan memimpin perubahan zaman ini. Sayangnya, kita hanyalah singa yang bermental kambing. Kita masih saja tertawan dalam kemalasan, keputusasaan dan kepesimisan. Ada pula yang telah menyadari akan kemampuannya meraih lebih tinggi, tapi tetap memilih menjadi apa adanya dalam ketertinggalan. Karena telah terbiasa dengan apa adanya sehingga pesimis dan malu jika berkembang. Malu untuk maju dan berprestasi cemerlang. Mereka menganggap semua itu adalah beban. Lebih disayangkan, mereka yang memilih apa adanya itu, menginginkan yang lain tetap seperti mereka.
           Kawan! Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum melainkan kaum itu berusaha merubah dengan diri mereka sendiri. Kita syukuri potensi yang telah dianugerahkan Allah kepada kita dengan memberdayakan sekuat jiwa dan raga. Yakinlah bahwa kita mampu meraih segalah asa.
          Ingat kawan! Hidup di masa mendatang lebih menantang. Karenanya, siapkanlah kemampuanmu sedini mungkin. Kita harus berubah sebelum kita sendiri digilas oleh perubahan. Kejayaan islam bersinar di depan mata dan tidak jauh dari kita. Tergantung kita sebagai generasi mampukah untuk menjemputnya? Maka lebarkanlah sayapmu ke segala penjuru. Terbanglah setinggi-tingginya hingga bintang Tsuroyya. Raihlah asa dan kesuksesan yang telah menunggumu lama. Jangan sekali-kali kita merasa puas dengan apa yang telah kita peroleh, sedangkan kita mampu lebih dari itu. Kejarlah ilmu stinggi-tingginya selagi mampu. Buang segala rasa pesimis, malas dan kebodohan. Jangan pernah malu dan takut dengan kebaikan-kesuksesan. Tetapi malulah ketika kita masih saja dalam kemalasan dan ketertinggalan. Maka tegakkan kakimu! Hentakkan selangkah lebih maju. Jadikan mimpi-mimpimu menjadi nyata. Dan biarkan kesuksesan merayakan kehidupan anda. Niscaya dunia akan lebih berwarna karenanya. Wallahu A'lam.

Brakas, kediaman kedamaian dalam keheningan malam.