Nama kitab : al-Sunan al-Kubro
Penulis : Abu Bakar Ahmad al-Baihaqi
Ukuran : 17,5 x 24,5 cm
Jumlah Jilid : 11
Penulis : Abu Bakar Ahmad al-Baihaqi
Ukuran : 17,5 x 24,5 cm
Jumlah Jilid : 11
- Pengantar
Hadis
ialah perkataan,
perbuatan, ketetapan, dan sifat yang disandarkan kepada
Rasulullah Saw.[1]
Ia menjadi sumber kedua dalam penetapan hukum-hukum
Islam setelah al-Quran. Hadis yang juga memiliki fungsi sebagai penjelas
al-Quran[2]
itu, sampai kepada kita melalui dinamika panjang sejarah yang tidak dapat kita
kesampingkan. Rekam jejak Rasul tersebut kini dapat kita nikmati sajiannya
dalam berlembar-lembar jilid dengan kemasan yang berbeda-beda.
Jika kita tengok
ke belakang, khususnya di era dimana hadis itu lahir, maka dapat kita lihat dokumen-dokumen
hadis yang dijaga apik oleh para pecinta Nabi. Hadis yang datang bersamaan
dengan masa-masa turunnya al-Quran itu mula-mula hanya menempel dibalik ingatan
para sahabat. Ia belum dikenal dalam dunia literasi ketika itu. Berbeda dengan
al-Quran yang sedari awal telah ditulis di pelepah kurma, kulit-kulit unta, dan
media lainnya. Tentu bukan tanpa alasan. Sebab, Nabi Saw mengkhawatirkan jika
hadis ditulis maka akan tercampur dengan ayat-ayat al-Quran. Baru di era akhir
kenabian, setelah para sahabat dapat memilih dan membedakan mana yang hadis dan
mana al-Quran, mereka menulis hadis-hadis yang mereka ketahui.[3]
Di tangan para
sahabat pasca wafatnya Nabi Saw, hadis belum terkodifikasikan dalam arti
sebagai sebuah buku kumpulan. Ketika itu, hadis terpisah-pisah dalam
lembar-lembar para sahabat yang berbeda. Geliat untuk membukukannya belumlah
kentara. Sempat ada inisiatif untuk mengkodifikasikannya di masa kepemimpinan
Umar bin al-Khattab Ra, namun upaya itu ditangguhkan. Keadaan itu berlangsung
hingga penghujung akhir abad pertama.[4]
Di abad kedua,
dimana masa kekhalifahan dipimpin oleh Umar bin Abdul Aziz, kodifikasi hadis
dimulai. Ini berawal dari instruksi khalifah yang resah atas banyaknya para
penghafal hadis yang wafat. Sementara geliat ijtihad di kalangan para ulama
menggelora. Maka dalam keadaan tersebut upaya pembukuan hadis pun digalakkan. Bersamaan
dengan karya-karya ulama yang konsen di sisi per-sanad-an. Di abad ini
setidaknya terdapat lima karya populer dengan corak yang berbeda-beda.[5]
Sebut saja al-Muwattho’, Musnad al-Syafi’i, Mushonnaf Abd al-Razzaq,
Mushonnaf Syu’bah bin Hajjaj, dan Mushonnaf Sufyan bin Uyainah.[6]
Memasuki abad
ketiga gerakan pembukuan hadis semakin masif dengan munculnya kitab-kitab
seperti Shohih Bukhori, Shohih Muslim, dan kitab-kitab Sunan, Musnad,
Mushonnaf lainnya. Memasuki abad keempat karya-karya hadis semakin beragam.
Ulama-ulama populer seperti al-Thabrani, al-Daruquthni, Ibnu Hibban, Ibnu
Huzaimah, hadir dengan karya-karyanya.[7]
Di abad kelima
pembukuan hadis semakin menjamur. Sebagaimana metode penulisan yang juga
beragam. Salah satu ulama besar yang menelurkan buah penanya pada abad ini
ialah Imam al-Baihaqi melalui kitabnya, al-Sunan al-Kubro. Dalam istilah
perhadisan, kitab tersebut masuk dalam kategori Sunan. Yaitu kitab yang
tersusun berdasarkan bab-bab fikih. Jenis kitab yang satu ini memuat
hadis-hadis yang marfu’ (disandarkan kepada Nabi Saw), dan tidak
satu pun terdapat di sana hadis yang mauquf (disandarkan kepada Sahabat)
atau maqthu’ (disandarkan kepada Tabi’in). Sebab hadis Mauquf
dan Maqthu’ bukan termasuk sunnah.[8]
Merunut ke
generasi pendahulu, kitab Sunan sebenarnya telah ditulis banyak ulama
sebelum al-Baihaqi. Lalu, apa istemewanya kitab al-Sunan al-Kubro jika
melihat realitanya telah banyak ulama-ulama pendahulu yang menulisnya? Terlebih
hadis yang dicantumkan kebanyakan sama. Berikut akan kami ulas tentang kitab al-Sunan
al-Kubro karya al-Baihaqi.
- Melawan Fitnah Penguasa
Menelusuri
latar belakang yang menjadi alasan mengapa Imam al-Baihaqi menulis al-Sunan
al-Kubro relatif sulit. Tentu selain karena
penulisnya sendiri tidak mencantumkannya secara eksplisit dalam kitab tersebut,[9]
juga karena keterbatasan referensi yang kami dapatkan. Dari beberapa cetakan
penerbit yang kami baca, tidak satu pun pengantar baik dari editor maupun
penerbit yang menyebutkannya. Hal yang sama juga kami temui ketika membuka
kitab-kitab yang secara khusus mengomentari al-Sunan al-Kubro.
Sebuah karya
seringkali tidak jauh dari apa yang dirasakan penulisnya. Tidak sedikit penulis
yang menggoreskan tintanya berangkat dari kenyataan yang ia alami. Curahan
hati, kegundahan, kritikan, atau penolakan adalah bagian dari motif seseorang
ketika memulai tulisannya. Kami pun berasumsi demikian dengan al-Sunan
al-Kubro. Setelah mengamati substansi dan gaya penulisan kitab tersebut, kami
mencoba memasuki sejarah hidup dan menengok kondisi sosio-historis dimana
al-Baihaqi hidup.
Imam
al-Baihaqi tumbuh pada masa kegalauan politik Daulah Abbasiyyah. Pemerintah pusat di Baghdad
ketika itu tidak lagi diakui oleh karena suhu
politik yang memanas dan merata di berbagai daerah. Di tengah kedigdayaan
khalifah yang tumbang itu satu demi satu wilayah kekuasaannya memisahkan diri
dan mendirikan Negara-negara kecil. Sementara stabilitas kedaulatan Negara
semakin tidak menentu dan rakyat hidup dalam ketakutan yang berkepanjangan.[10]
Ketika
itu kaum muslim terpecah belah berdasarkan politik, fikih dan pemikiran. Antara
kelompok satu dengan kelompok yang lain berusaha saling menyalahkan dan
menjatuhkan. Perseteruan antara Syi’ah dan
Ahlussunnah mengemuka, sebagaimana Mu’tazilah pun berdebat dengan mereka.
Persaudaraan, persatuan, dan perasaan saling mengasihi tertutupi oleh ego dan
perbedaan yang mengarah kepada perang saudara. Ulama sebagai pengayom umat
tidak lagi menunjukkan jiwa rahmatnya dan justru mereka ikut menabuh genderang
perang saudara. Kondisi yang demikian ini mempermudah
dan dimanfaatkan oleh musuh Islam untuk mencerai-beraikan mereka.[11]
Sementara para
Khalifah berdiri berdasarkan kelompok yang mereka sukai. Sebut saja ketika yang
bertahta ialah Khalifah yang pro Ahlussunnah, maka ia kemudian hanya mengakui
kelompok tersebut dan memaksakan kelompok lain untuk mengikutinya. Maka jangan
berharap kelompok lain akan didengarkan, dan justru akan diperangi jika
memberontak. Sebaliknya, ketika sang khalifah wafat dan digantikan Dinasti yang
pro Syi’ah-Mu’tazilah,
maka habis sudah kedigdayaan Ahlussunnah.[12]
Tahun
445 H, di bawah Dinasti Seljuk yang dipimpin Tugril Bik fitnah itu benar-benar
terjadi. Tugril Bik dikenal sebagai penganut Hanafi, yang notabenenya ramah
terhadap Mu’tazilah. Di bawahnya adalah
perdana menteri al-Kunduri yang konon
juga seorang Mu’tazilian-Rofidhian. Kondisi ini
dimanfaatkan oleh penganut mu’tazilah dengan menjadi parasit di sekeliling
istana. Dalam diri sang perdana menteri terkumpul ideologi yang
sesat. Ia me-makhluk-kan af’al Allah Swt, mencela Abu Bakar dan Umar Ra
serta para Sahabat, men-tasybih-kan Allah Swt dengan makhluk, dan
sangkaan sesat lainnya.[13]
Di
sisi lain, terdapat para qodarian dan batinian yang bermuka hanafian di
sekitaran perdana menteri. Mereka menghasutnya agar mengeluarkan surat perintah
pengutukan kepada kelompok yang mereka anggap sebagai mubtadi’ah, dalam
hal ini Asy’ariyah-Syafi’iyah. Dan benar saja. Surat perintah tersebut menjadi
legitimasi bagi al-Kunduri dan para penentang Asy’ariyyan untuk mengutuk Abu
Hasan al-Asy’ari di mimbar-mimbar umum, serta melancarkan hinaan kepada para
Syafi’iyyan, menahan, melarang ajaran, mencopot mereka dari kursi-kursi
strategis dan digantikan oleh para Hanafiyyan. Mereka memalsukan perkataan
al-Asy’ari dan menuduhnya sesat.[14]
Para
penganut Asy’ariyyah-Syafi’iyyah pun tidak tinggal diam. Mereka menolak keras
tuduhan-tuduhan itu. Ulama sekaliber Abu Ishaq al-Syirazi, al-Qadhi
al-Damighani, al-Baihaqi, dan beberapa ulama lainnya memprotes keras melalui
sebuah surat yang mereka layangkan kepada perdana menteri agar memadamkan api
fitnah. Hanya saja surat tersebut tidak direspon
sama sekali. Kondisi ini menjadikan mereka semakin terpojok, sehingga pada
akhirnya memutuskan untuk meninggalkan kota. Sebagian menuju Iraq, sebagian
lagi berangkat ke Hijaz. Adapun al-Baihaqi, al-Qusyairi, dan al-Juwaini
memutuskan untuk berangkat haji ke Makkah.[15]
Pada periode
yang demikian inilah al-Baihaqi hidup. Dalam masa krisis, Imam Baihaqi konsisten
sebagai pribadi yang berkomitmen terhadap madzhab yang diyakininya. Dari situ
kemudian ia menggoreskan tintanya dalam banyak cabang ilmu; hadis, fikih,
ushuluddin, dan zuhud. Salah satu karya yang ia telurkan di masa itu adalah al-Sunan
al-Kubro. Sebuah proyek besar yang ia dedikasikan untuk membela madzhab
Syafi’i yang didiskriminasi kala itu. Tentu bukan hanya motif itu semata.
Sebab, jika kita simak perkataan salah satu ulama bahwa al-Sunan al-Kubro merupakan
kitab pertama yang mengumpulkan nash-nash hadis fikih Syafi’I, maka
dapat dikatakan bahwa itu juga menjadi salah satu motif dari penulisan kitab
tersebut. Imam al-Baihaqi sangat serius dalam menggarap proyek monumental
tersebut, sehingga secara khusus ia pun membuat pengantar dalam bentuk karangan
tersendiri yang ia beri nama al-Madkhol ila al-Sunan al-Kubro.
Pertanyaannya kemudian, kenapa harus harus al-Sunan
al-Kubro? Sebuah kitab bergenre hadis-fikih. Jawaban sederhana yang dapat
diajukan adalah karena al-Baihaqi memiliki otoritas di sana. Kepakarannya dalam
dunia hadis menjadi sebilah pedang untuk melawan orang-orang yang menebar
fitnah dan menuduh mubtadi’ah. Pun karena yang ia bela ialah fikih
Syafi’i, madzhab yang ia anut. Maka kemudian dua bidang itu ia padukan melalui al-Sunan.
Kecenderungan al-Baihaqi kepada madzhab
Syafi’i tidak datang begitu saja, melainkan setelah melalui pendalaman yang
matang, perbandingan dan pengujian yang selektif. Sebelum itu beliau merupakan
tokoh moderat yang berdiri untuk membela seluruh madzhab dan menyuarakan kebenaran
atas semua madzhab. Semua dibangun di atas pondasi al-Quran dan Hadis. Hanya
saja setelah sekian lama menyelami, ia berkesimpulan bahwa Syafi’i ialah
madzhab yang paling dekat dengan sunnah Nabi, paling banyak mengikuti al-Quran
dan Hadis, paling kuat argumennya, paling benar, dan paling gamblang
petunjuknya dibanding madzhab lain. Dalil dan pemahaman hadis yang dihadirkan
al-Syafi’i ia rasa cocok dan tidak ada pertentangan. Maka wajar ketika madzhab
tersebut dicaci dan difitnah sekian rupa ia kemudian berdiri di garda terdepan
untuk membelanya.[16]
Melalui Al-Sunan al-Kubra, al-Baihaqi
seolah hendak berkata kepada para penentang Syafi’i, “Ini lho fikih Syafii, ini
lho hadis-hadis yang dijadikan landasan hukum olehnya! Tidak seperti yang
kalian tuduhkan.”
- Profil Singkat al-Baihaqi
Al-Baihaqi
bernama lengkap Abu Bakar Ahmad bin al-Husain bin Ali bin Musa al-Baihaqi
al-Khosrujardi. Baihaq adalah sebuah distrik di
wilayah Naisabur yang luas lengkap dengan penghuni yang padat. Dari distrik
tersebut lahir tokoh-tokoh besar, ulama, fuqoha’, dan sastrawan kenamaan yang
tak terhitung jumlahnya. Mayoritas penduduknya menganut madzhab Syi’ah Rofidhoh
yang ekstrim.[17]
Imam al-Baihaqi
lahir tahun 384 H dan wafat pada tahun 458 H. Al-Baihaqi terkenal sebagai pakar
hadis yang fakih, hafidz, dan zuhud. Seluruh hidupnya didedikasikan untuk khidmah
pada ilmu. Hari-hari beliau dihabiskan untuk penelitian, belajar, menulis
kitab, dan mengajar. Ia pernah singgah ke banyak wilayah dalam rangka menuntut
ilmu. Diantara wilayah-wilayah tersebut ialah Iraq, Hijaz, Nauqon, Isfiroin,
Thus, al-Mahrojan, Esdabad, Hamadan, Damighon, Ashbihan, Royy, Tobron,
Naisabur, Roudibatar, Baghdad, Kufah, Makkah, dan wilayah lainnya.[18]
Disiplin ilmu
yang pertama kali didalami al-Baihaqi adalah Hadis. Ia sangat tertarik dan
menyukai cabang ilmu tersebut, hingga ketika umurnya menginjak 15 tahun ia
telah berguru kepada ulama-ulama kenamaan. Dalam salah satu kitabnya, Ma’rifat
al-Sunan wa al-Atsar ia berkata, “Sejak saya memutuskan memulai
pengembaraan mencari ilmu, saya menulis hadis-hadis Nabi Saw dan mengumpulkan atsar-atsar
para sahabat, dan sima’ah (mendengarkan)nya dari orang-orang yang
memilikinya. Saya kemudian tahu kedaan-keadaan para rawi dan berijtihad untuk
membedakan antara hadis yang sahih dan dhaif, marfu’ dan mauquf,
maushul dan mursal.”[19]
Semasa hidupnya,
Imam al-Baihaqi setidaknya berguru kepada 41 ulama populer.[20]
Sebagian besar gurunya bermadzhab Syafi’i. Diantara mereka adalah:
1. Al-Hakim al-Naisaburi (w. 405 H), penyusun
kitab al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain.
2. Ali bin Ahmad bin Abdan al-Syirazy (w.
415 H)
3. Abu Ali al-Roudzibari w. 403 H)
4. Ali bin Muhammad bin Abdillah
al-Baghdadi (w. 415 H)
5. Abu al-Hasan Muhammad ibn al-Husain
al-‘Alawi al-Husna al-Naisaburi (w. 401 H)
6. Abu ‘Abdurrahman al-Sullami al-Naisaburi
(w. 412 H), penyusun kitab Thabaqat al-Shufiyyah.
7. Abu Ishaq al-Thusi Ibrahim ibn Muhammad
ibn Ibrahim (w. 411 H)
8. Abdullah ibn Yusuf ibn Ahmad
al-Ashfahani, seorang tokoh tasawwuf dan ahli Hadits yang tsiqah. Al-Baihaqi
banyak meriwayatkan Hadits darinya.
9. Abdurrahman bin Muhammad bin Ahmad bin
Balawaih al-Naisaburi (w. 410 H)
10. Dan guru-gurunya yang lain.
Ilmu-ilmu yang
diperolehnya dari ulama-ulama di atas kemudian ia tularkan kepada
murid-muridnya.[21]
Diantara mereka adalah:
1. Putranya, Abu Ali Ismail Ahmad bin
al-Husain al-Baihaqi yang terkenal sebagai Syaikh al-Qudhot
2. Cucunya, Abu al-Hasan Ubaidillah bin
Muhammad bin Ahmad bin al-Husain al-Baihaqi.
3. Zahir bin Thahir bin Muhammad
4. Abu Abdillah al-Farowi, Muhammad bin
al-Fadhl.
5. Abu Muhammad al-Khowari, Abdul Jabbar
bin Muhammad bin Ahmad al-Baihaqi
6. Dan murid-murid beliau yang lain.
Sementara itu
karya-karya al-Baihaqi pun tak terhingga jumlahnya. Ia juga tidak terpaku pada
satu disiplin ilmu, melainkan multidisiplin ilmu telah ia telurkan dari buah
penanya. Kendati demikian ia lebih populer sebagai pakar hadis. Ini terbukti
dengan kitab-kitab hadisnya yang cukup banyak. Diantara karya-karya beliau
ialah Al-Adab, Itsbat al-Ru’yah, Itsbat Adzab al-Qobr, Ahkam al-Quran, Al-Arba’un
al-Kubro, Al-Asma’ wa al-Shifat, Bayanu Khata’i man Akhtho’a ala al-Syafi’I, al-Jami’
al-Mushonnaf fi Syu’ab al-Iman, Dalail al-Nubuwwah, Al-Sunan al-Shughro, Al-Sunan
al-Kubro, dan kitab-kitab beliau yang lainnya.[22]
Karena kedalaman
ilmu dan kepakarannya di banyak cabang keilmuan, serta karyanya yang banyak, ia
mendapatkan banyak komentar positif dari para ulama. Al-Dzahabi misalnya, ia
berkata, “Kalau saja al-Baihaqi mau membuat madzhab baru dan berijtihad tentu
ia mampu karena keluasan ilmu dan pengetahuannya tentang ikhtilaf.”[23]
Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah berkata, “al-Baihaqi merupakan orang yang paling tahu tentang
madzhab Syafi’i dari segi perhadisan, dan juga pembela al-Syafi’i.”[24]
Sebagaimana
dituturkan para sejarawan, Imam al-Baihaqi wafat pada bulan Jumadil Awal tahun
458 H, dan dikebumikan di Baihaq, tempat tinggalnya.[25]
- Metodologi
Penulisan; Adopsi Metodologi Pendahulu
Al-Sunan al-Kubro memuat 21.812
hadis.[26] Sebagaimana para penulis Ahadits
al-Ahkam, Imam al-Baihaqi menyusun kitab al-Sunan al-Kubro
berdasarkan klasifikasi umum pembahasan kitab fikih. Ia mengadopsi tata urutan
al-Muzani dalam Mukhtashor-nya. Mukhtashor al-Muzani adalah kitab
fikih Syafiiyyah ringkas yang sangat populer di kalangan penganut madzhab
Syafii. Ia menjadi rujukan tata urutan ulama setelahnya. Sebut saja misalnya al-Mawardi dalam
al-Hawi yang meniru tata urutan Mukhtashor al-Muzani.[27]
Sekalipun menyandang baju al-Sunan al-Kubro, sejatinya
kitab tersebut tidak seperti kitab Sunan kebanyakan yang lebih
bercorak kitab hadis konvensional. Di bawah kendali tangan dingin Al-Baihaqi,
takaran hadis dan fikih dalam kitab tersebut berimbang. Hadis-hadis yang ia
hadirkan berikut pemahannya menjadi rujukan penting hukum-hukum fikih.. Kitab
ini memiliki posisi penting dalam jajaran fikih Syafii, dimana perdebatan dalil
yang diambil Imam al-Syafii dapat kita temukan disana.[28]
Dari segi penulisan, Imam al-Baihaqi mengikuti jejak
al-Bukhori dalam menyusun kitabnya, yakni dengan membagi beberapa pembahasan
yang ia namai dengan kitab. Dari setiap kitab itu kemudian dibentangkan
lagi menjadi beberapa bab dengan menitikberatkan pada beberapa permasalahan
tertentu. Terkadang, ia menguraikan hadis-hadis dengan penjelasan hukum beserta
istidlal-nya. Karenanya, al-Sunan al-Kubro juga pas bila disebut
sebagai fikih muqoron, yang lebih mementingkan pada pengumpulan
dalil-dalil dan men-tarjih-nya. Disinilah keistimewaan kitab tersebut.
Jika dikalkulasi, jumlah bab yang ditawarkan al-Baihaqi lebih banyak daripada
Imam al-Bukhori dalam Shohih-nya.[29]
Dari segi silsilah riwayat, sebagaimana dijelaskan Najm
Khlaf, apa yang ditulis al-Baihaqi dalam al-Sunan al-Kubro diperoleh
melalui dua mekanisme periwayatan. Bagian pertama diperoleh langsung melalui talaqqi
bi al-sima’ dengan gurunya. Adapun bagian kedua berupa mushonnaf (kumpulan
hadis yang telah dibukukan), yang mana sebagian besar ia peroleh melalui tahammul
bi al-sima’ dari penyusunnya atau orang yang pernah mendengar darinya, dan
sebagian lagi melalui jalur ijazah, mukatabah, atau wijadah. Dari
dua model itu terkumpul lebih dari 30.000 jalur sanad.[30]
Dari hasil temuan Najm Khalaf, setidaknya terdapat lebih
dari 7000 hadis yang dinukil dari Shohih al-Bukhari-Muslim, 2000 hadis
dari Sunan Abi Dawud, 1313 riwayat dari Musnad Ibn Wahb, 785
riwayat dari Sunan al-Daruquthni, 386 riwayat dari al-Muwattho’, 642
riwayat dari Sunan Ibn al-A’robi, 1407 riwayat dari Musnad
al-Shaffar, 1704 riwayat dari Sunan al-Syafi’I dan karyanya yang
lain, 348 riwayat dari al-Kamil li Ibn ‘Adiy, dan dari kitab-kitab yang
lain. Angka-angka di atas merupakan bentuk jumlah minimum, dan masih membuka
celah lebar angka tambahan.[31]
Jika kita amati lebih seksama, al-Baihaqi di beberapa
pembahasan melakukan perdebatan panjang terkait sanad atau rawi hadis yang ia
sebutkan.[32]
Ia menuturkan hadis lengkap dengan sanadnya. Terkadang sanad tersebut ia
cantumkan sebelum matan hadis sebagaimana dalam kitab-kitab hadis pada umumnya.
Namun, juga tidak jarang ia menyebut sanad setelah matan hadis. Dalam satu
hadis misalnya, terkadang terdapat banyak jalur sanad yang sebagian ia sebut di
muka, dan sebagian lain ia letakkan di akhir setelah matan. Jika terdapat hadis
yang kontradiktif ia akan men-tarjih-nya.[33]
Dalam menghukumi seorang rawi, al-Baihaqi sangat hati-hati.
Ia tidak serta merta menerima pendapat ulama yang menghukumi ke-tsiqoh-an
rawi tertentu sampai ia mengkajinya secara mendalam, sebagaimana ia tidak mudah
menganggap dhaif rawi yang banyak di-dhaif-kan oleh ulama.[34]
Dalam hal ini al-Baihaqi memeringatkan, “Seorang rawi yang shoduq tidak
tertutup kemungkinan ia khilaf ketika menuliskannya. Bisa saja ia salah
mendengar riwayat atau hafalannya menjadi lemah. Ia meriwayatkan hadis syadz
tanpa sengaja dan kemudian diketahui oleh orang lain yang ditakdirkan Allah
untuk menjaga Sunnah Nabi Saw.”[35]
Oleh karenanya, al-Baihaqi sangat hati-hati dan teliti dalam menulis
kitabnya.
Terkadang, al-Baihaqi menuturkan riwayat-riwayat yang muttasil
dan mursal. Dengan penuturan itu, ia hendak mengatakan bahwa riwayat
yang di satu sisi mursal ternyata ada jalur lain yang muttasil.
Dari sisi ini al-Baihaqi meniru jejak al-Nasa’i dalam Sunan-nya.[36]
Yang juga menjadi ciri khas dari kitab ini ialah cara
al-Baihaqi menyebutkan matan-matan hadis. Jika hadis tersebut memuat
informasi-informasi fikih yang penting maka ia menuturkan hadis-hadis yang
sebenarnya pendek menjadi panjang.[37]
Dalam kesempatan yang lain al-Baihaqi juga memperhatikan hadis-hadis yang Mujmal
dan kemudian menjelaskannya.[38]
Tidak hanya itu, ia juga menyinggung sisi historis hadis untuk menjelaskan nasakh
dan asbabul wurud-nya.[39]
Dari corak metode penulisan sebagaimana kami paparkan di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam bertutur, al-Baihaqi meniru Imam Malik
dalam al-Muwattho’-nya. Dari segi sistematika bab ia meniru al-Bukhori.
Meniru al-Tirmidzi dari segi menyeluruhnya kitab tersebut, yakni dengan tidak
hanya mencantumkan hadis yang musnad, marfu’, dan shohih saja. Ia
mengikuti jejak para imam hadis generasi awal yang lebih memperhatikan
terkumpulnya seluruh riwayat tanpa dibatasi segi ke-shohih-an dan ke-marfu’-an
hadis tersebut, karena khawatir ia masuk dalam kategori orang yang
menyia-nyiakan hadis.[40]
Secara umum karya-karya dalam bidang hadis di era al-Baihaqi
merupakan penyempurna dari karya-karya sebelumnya. Dimana generasi ulama mutaqoddimin
lebih condong pada pengumpulan jalur-jalur hadis yang populer, sedangkan
ulama muta’akhkhirin lebih memperhatikan pengumpulan jalur-jalur hadis
yang asing (ghorib). Maka para ulama di era beliau datang sebagai
kritikus tingkat pertama yang men-tarjih antara jalur mutaqoddimin dan
muta’akhkhirin yang kontradiktif. Di era beliau fase periwayatan
dianggap telah selesai dengan menyebarnya karya-karya para ulama hadis yang
telah dibukukan. Karenanya, mereka lebih intens pada studi kritik.[41]
Sekalipun tergolong dalam kitab Sunan, namun
al-Baihaqi tidak membatasi isi kitabnya pada pembahasan hukum-hukum fikih saja.
Setidaknya ada beberapa bab yang membahas non-hukum fikih. Diantaranya pembahasan
khushusiyyat an-Nabi[42],
Silaturrahim[43],
amar makruf nahi mungkar[44],
dan hadis-hadis lain.
Dalam mencantumkan hadis, Imam al-Baihaqi memiliki kriteria
sebagaimana para pengarang al-Sunan lainnya. Yakni dengan meniscayakan
hadis shohih terlebih dahulu sebagai hadis yang dapat dijadikan landasan. Ia
berkata, “Sudah menjadi kebiasaanku dalam karangan-karanganku di bidang Ushul
dan Furu’ dengan berpegang pada hadis-hadis yang shohih, tidak dengan yang
dhoif. Atau membedakan dan menjelaskan, mana yang shohih dan mana yang tidak
shohih.”[45]
Maka ketika mencantumkan hadis non-shohih ia memberi catatan dan peringatan
atas hadis tersebut.
- Cara al-Baihaqi Membela Fikih
Syafi’i
Telah dijelaskan di muka bahwa motivasi al-Baihaqi dalam
menulis al-Sunan al-Kubro tidak dijelaskan secara tersurat baik dalam muqoddimah-nya
ataupun dalam karya-karyanya yang lain. Kendati demikian, jika kita amati lebih
mendalam melalui pendekatan sosio-historis dimana beliau hidup pada zaman itu,
serta pembacaan karya-karyanya yang banyak, kesimpulan yang dapat kami tawarkan
adalah bahwa beliau mengarang kitab-kitabnya untuk meng-counter opini
publik yang telah dicuci oleh elit penguasa. Bahwa tuduhan-tuduhan miring
terhadap kelompok Asy’ariyah-Syafi’iyah tidaklah benar. Salah satu cara yang
digunakan al-Baihaqi adalah dengan mengarang al-Sunan al-Kubro, yang
didedikasikan untuk membela fikih Syafi’i. Berikut akan kami paparkan
penjelasannya.
- Metodologi Ala Fikih Syafi’i
Tidak diragukan lagi bahwa al-Sunan al-Kubro adalah
kitab hadis yang ditulis berdasarkan bab-bab fikih. Berbicara tentang fikih
maka tidak lepas dari pembahasan empat madzhab yang masyhur; Hanafi, Maliki,
Syafi’i, dan Hanbali. Masing-masing dari empat madzhab tersebut memiliki ciri
khas tersendiri. Mereka memiliki dasar-dasar cara penetapan hukum yang
independen. Kekhasan mereka juga terlihat dari kitab-kitab yang dikarang oleh
pengikut masing-masing.
Karya-karya besar fikih Syafi’i misalnya disusun berdasarkan
pem-bab-an fikih yang dimulai dengan pembahasan Thaharah (bersuci).
Thaharah menjadi syarat sah yang paling penting dalam rukun-rukun Islam.
Maka syarat harus dikedepankan daripada masyruth (sesuatu yang disyaratkan).
Ia tidak berlaku sebelum syaratnya dipenuhi. Berbeda dengan metodologi Imam
Malik yang memulai kitab Muwattha’-nya dengan pembahasan waktu shalat. Ia
lebih mengkhawatirkan terlewatnya waktu shalat dibanding mendahulukan bersuci
bagi orang yang memiliki air. Karenanya ia berbeda dengan jumhur yang lebih
mendahulukan bersuci.[46]
Al-Sunan al-Kubro merupakan salah satu kitab hadis
yang bercorak fikih Syafi’i. Dari segi tata urutan bab, kitab ini mengadaptasi
pola kitab Mukhtashor al-Muzani sebagaimana dijelaskan pada pembahasan
sebelumnya. Al-Muzani (175-264 H) merupakan ulama Syafi’iyyah tingkatan
pertama. Ia hidup semasa dengan Imam al-Syafi’i dan banyak mengambil ilmu
darinya. Karyanya yang sangat popular adalah al-Mukhtashor.[47]
Adapun al-Baihaqi merupakan ulama yang hidup di abad kelima. Ia masuk dalam
jajaran ulama Syafi’iyyah tingkatan kesepuluh.[48]
Jika kita bandingkan antara Mukhtashor al-Muzani dan al-Sunan
al-Kubro maka dapat kita lihat disana bahwa kedua kitab tersebut sama
persis dari segi urutan pembahasan. Dimulai dari bab al-thaharoh, al-aniyah,
al-siwak, al-wudhu’, dan seterusnya. Ini berbeda dengan kitab-kitab Sunan
pra al-Baihaqi, seperti Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan
al-Nasa’i, Sunan Ibn Majah, Sunan al-Daruquthni, dan lainnya. Sekalipun
kitab-kitab tersebut dimulai dari pembahasan al-Thaharoh, namun pada
pembahasan setelahnya berbeda dengan tata urutan al-Muzani. Dari sini
dapat kita pahami bahwa al-Sunan al-Kubro memang benar-benar kitab yang
bercorak Syafi’i, sekaligus pelopornya.
- Perdebatan Madzhab Syafi’i dan
Hanafi
Lebih kongkrit lagi, apa yang menjadi asumsi kami bahwa al-Sunan
al-Kubro diperuntukkan untuk membela madzhab Syafi’i tampak dalam beberapa
perdebatan di kitab tersebut. Salah satu contoh terlihat pada bab "من
قال لا يقرأ خلف الإمام على الإطلاق" (orang yang berkata, ‘Makmum tidak membaca
al-Fatihah secara mutlak’).[49]
Dari penamaan judul, secara tersirat al-Baihaqi hendak mengkritisi pendapat madzhab
Hanafi tentang permasalahan membaca al-fatihah bagi makmum. Sebagaimana kita
ketahui, pendapat jumhur mengatakan
bahwa membaca surat al-fatihah merupakan bagian dari rukun salat. Bahkan
madzhab Syafi’i memutlakkan rukun tersebut. Sedangkan menurut madzhab Maliki,
itu merupakan fardhu bagi selain makmum pada salat jahriyah (mengeraskan
suara). Ini berbeda dengan madzhab Hanafi yang berpendapat bahwa makmum tidak
membaca surat al-Fatihah secara mutlak.[50]
Dalam permasalahan ini kemudian al-Baihaqi mendebat pendapat
madzhab Hanafi. Ia menghadirkan 17 hadis yang menjadi rujukan madzhab Hanafi. Kemudian
ia mengkritisinya dari segi sanad, pemahaman, dan istidlalnya. Salah satu sanad
yang menjadi sasaran kritik al-Baihaqi adalah hadis berikut:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ
الْحَافِظُ حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ : مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ حَدَّثَنَا الْعَبَّاسُ
بْنُ مُحَمَّدٍ الدُّورِىُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِى بُكَيْرٍ وَإِسْحَاقُ بْنُ
مَنْصُورٍ السَّلُولِىُّ قَالاَ حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ صَالِحِ بْنِ حَىٍّ عَنْ
جَابِرٍ وَلَيْثِ بْنِ أَبِى سُلَيْمٍ عَنْ أَبِى الزُّبَيْرِ عَنْ جَابِرٍ قَالَ قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« مَنْ كَانَ لَهُ إِمَامٌ فَقِرَاءَةُ الإِمَامِ
لَهُ قِرَاءَةٌ ». {ج} جَابِرٌ الْجُعْفِىُّ وَلَيْثُ بْنُ أَبِى سُلَيْمٍ لاَ يُحْتَجُّ
بِهِمَا ، وَكُلُّ مَنْ تَابَعَهُمَا عَلَى ذَلِكَ أَضْعَفُ مِنْهُمَا أَوْ مِنْ أَحَدِهِمَا.[51]
Pada statemen di atas nampak jelas al-Baihaqi mengkritik
sanad hadis yang dipakai madzhab Hanafi. Sekalipun mereka juga memakai hadis
lain sebagai penguatnya. Namun penggunaan sanad di atas menjadi celah kelemahan.
Tidak berhenti di situ, al-Baihaqi pada hadis selanjutnya
mengkritisi pemahaman hadis yang dipakai madzhab Hanafi:
وَالْمَحْفُوظُ عَنْ جَابِرٍ فِى هَذَا
الْبَابِ مَا أَخْبَرَنَا أَبُو أَحْمَدَ الْمِهْرَجَانِىُّ أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرِ
بْنُ جَعْفَرٍ الْمُزَكِّى حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْعَبْدِىُّ حَدَّثَنَا
مَالِكٌ عَنْ أَبِى نُعَيْمٍ : وَهْبِ بْنِ كَيْسَانَ أَنَّهُ سَمِعَ جَابِرَ بْنَ
عَبْدِ اللَّهِ يَقُولُ : مَنْ صَلَّى رَكْعَةً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِأُمِّ الْقُرْآنِ
فَلَمْ يُصَلِّ إِلاَّ وَرَاءَ الإِمَامِ. هَذَا هُوَ الصَّحِيحُ عَنْ جَابِرٍ مِنْ
قَوْلِهِ غَيْرَ مَرْفُوعٍ. {ت} وَقَدْ رَفَعَهُ يَحْيَى بْنُ سَلاَمٍ وَغَيْرُهُ مِنَ
الضُّعَفَاءِ عَنْ مَالِكٍ وَذَاكَ مِمَّا لاَ يَحِلُّ رِوَايَتُهُ عَلَى طَرِيقِ الاِحْتِجَاجِ
بِهِ. {ق} وَقَدْ يُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ مَذْهَبُ جَابِرٍ فِى ذَلِكْ تَرْكَ الْقِرَاءَةِ
خَلْفَ الإِمَامِ فِيمَا يُجْهَرُ فِيهِ بِالْقِرَاءَةِ دُونَ مَا لاَ يُجْهَرُ ، فَقَدْ
رَوَى يَزِيدُ الْفَقِيرُ عَنْ جَابِرٍ قَالَ : كُنَّا نَقْرَأُ فِى الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ
خَلْفَ الإِمَامِ فِى الرَّكْعَتَيْنِ الأُولَيَيْنِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَسُورَةٍ
، وَفِى الأُخْرَيَيْنِ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ. وَكَذَلِكَ يُشْبِهُ أَنْ يَكُونَ
مَذْهَبُ ابْنِ مَسْعُودٍ.[52]
Di situ al-Baihaqi memberikan catatan bahwa kemungkinan
pendapat Jabir mengenai tidak perlunya membaca surat al-Fatihah bagi makmum itu
hanya tertentu pada salat yang jahr (mengeraskan suar), bukan pada salat
non-jahr. Hal ini dikuatkan dengan riwayat Jabir yang lain.
Pada hadis terakhir dari bab tersebut, al-Baihaqi
menyebutkan salah satu riwayat yang dijadikan landasan madzhab Hanafi, kemudian
mendebatnya dari segi sanad dan pemahaman. Beliau juga mengutip pendapat Imam
al-Bukhori.
وَأَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ
الْحَافِظُ وَمُحَمَّدُ بْنُ مُوسَى بْنِ الْفَضْلِ قَالاَ حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ
: مُحَمَّدُ بْنُ يَعْقُوبَ حَدَّثَنَا أَسِيدُ بْنُ عَاصِمٍ حَدَّثَنَا الْحُسَيْنُ
بْنُ حَفْصٍ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عُمَرَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ مُوسَى بْنِ سَعْدٍ عَنِ
ابْنِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ أَبِيهِ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ قَالَ : مَنْ قَرَأَ وَرَاءَ
الإِمَامِ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ. {ق} وَهَذَا إِنْ صَحَّ بِهَذَا اللَّفْظِ وَفِيهِ نَظَرٌ
فَمَحْمُولٌ عَلَى الْجَهْرِ بِالْقِرَاءَةِ وَاللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ. {ت} وَقَدْ
خَالَفَهُ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ الْوَلِيدِ الْعَدَنِىُّ فَرَوَاهُ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ
عُمَرَ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ مُوسَى بْنِ سَعْدٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ زَيْدِ بْنِ ثَابِتٍ
، وَرَوَاهُ دَاوُدُ بْنُ قَيْسٍ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ دَاوُدَ عَنْ عُمَرَ بْنِ مُحَمَّدٍ
عَنْ مُوسَى بْنِ سَعْدٍ عَنْ زَيْدٍ لَمْ يَذْكُرْ أَبَاهُ فِى إِسْنَادِهِ. قَالَ الْبُخَارِىُّ : لاَ يُعْرَفُ بِهَذَا
الإِسْنَادِ سَمَاعُ بَعْضِهِمْ مِنْ بَعْضٍ وَلاَ يَصِحُّ مِثْلُهُ.[53]
Setelah menguraikan kelemahan-kelemahan dalil yang dijadikan
landasan madzhab Hanafi, al-Baihaqi kemudian memaparkan dalam satu bab
dalil-dalil hadis yang dijadikan landasan atas keharusan membaca surat
al-Fatihah bagi makmum. Disinilah bentuk pembelaannya terhadap madzhab Syafi’i.
Dalam bab tersebut beliau menyebutkan 45 hadis, baik itu hadis utama maupun mutabi’at
dan syawahid, berikut ulasan komentar status dan istidlalnya.[54]
- Karya-karya Tentang Syafi’i
Karya al-Baihaqi tak terhitung jumlahnya. Dari sekian karya
tersebut terdapat beberapa yang menunjukkan fanatisme beliau terhadap Madzhab al-Syafi’i. Ia meng-counter
orang-orang yang menuduh dan menyalahkan Imam al-Syafi’i melalui beberapa
karyanya. Berikut karya-karya beliau yang khusus berkaitan dengan madzhab
al-Syafi’i atau pribadi Imam al-Syafi’i itu sendiri.
-
Bayanu Khatha’i man Akhtha’a ala
al-Syafi’i
-
Takhrij Ahadits al-Umm
-
Radd al-Intiqod ala Lafdz al-Imam
al-Syafi’i
-
Al-Mabsuth fi Nushush al-Syafi’i
-
Manaqib al-Imam al-Syafi’i
-
Dan kitab-kitab beliau yang lain.
Dari kitab-kitab tersebut dapat dilihat
bahwa ideologi fikih Syafi’i memang telah mengakar kuat dalam diri al-Baihaqi.
Dia benar-benar menjadi Syafi’iyyan sejati.
- Statemen Para Ulama
Tidak dipungkiri lagi bahwa al-Sunan
al-Kubro menjadi karya monumental Imam al-Baihaqi. Dari karya tersebut
terlihat jelas betapa mendalamnya keilmuan beliau. Dari karya itu tampaklah
kepakarannya sebagai muhaddis yang fakih dan fakih yang muhaddis. Sekalipun
kami belum bisa melacak seberapa kuat counter beliau melalui karyanya
tersebut terhadap opini publik yang telah dicuci oleh penguasa, tetapi
pengaruhnya di mata ulama terlihat jelas. Ini dibuktikan dengan statemen mereka
yang banyak memuji buah penanya tersebut.
Imam al-Haramain pernah berkata,
“Tidak ada ulama madzhab Syafi’i melainkan Imam al-Syafi’i berjasa dan menjadi
anugerah baginya. Kecuali al-Baihaqi, maka beliau sangat berjasa dan menjadi
anugerah bagi Imam Syafi’i berkat karya-karyanya yang membela madzhabnya.”[55]
Imam al-Dzahabi dalam salah satu kitabnya yang khusus
memberi catatan terhadap kitab al-Sunan al-Kubro berkata, “Imam
al-Baihaqi adalah orang yang pertama kali mengumpulkan nash-nash madzhab
Syafi’i. Bahkan ia juga orang terakhir yang mengumpulkannya. Apa yang ditulis
oleh ulama-ulama pendahulu terdapat dalam karya al-Baihaqi. Dan saya tidak
melihat orang setelahnya yang melakukan pengumpulan nash seperti beliau. Karena
semua telah ditulisnya dan peluang bagi orang setelahnya telah tertutup.”[56]
Konon, sebagaimana dikisahkan Abu Ali bin al-Baihaqi, ada
tiga orang yang pernah bermimpi melihat Imam Syafi’i sedang memegang
kitab-kitab al-Baihaqi. Ia memujinya dan menjulukinya sebagai orang yang fakih.[57] Al-Dzahabi berkata, “Itu adalah
mimpi yang haqq (nyata). Karya-karya al-Baihaqi sangat agung dan
berlimpah manfaat. Sangat sedikit sekali orang yang sebanding beliau dalam
berkarya.”[58]
Selain statemen dari kalangan ulama juga terdapat
kitab-kitab ulama setelahnya yang secara khusus mengomentari kitab al-Sunan
al-Kubro. Diantaranya:
1.
Al-Muhadzdzab fi
Ikhtishor al-Sunan al-Kubro karya al-Dzahabi (w. 748 H)
2.
Al-Manhaj al-Mubayyan fi
Bayan Adillat al-Mujtahidin karya al-Sya’roni (w. 973 H)
3.
Ikmal Tahdzib al-Kamal
karya Ibn al-Mulaqqin
4.
Al-Jauhar al-Naqiy fi
al-Rodd ala al-Baihaqi karya Ibn al-Turkimani (w. 750 H)
5.
Dan kitab-kitab lainnya.[59]
Dari
beberapa ulama yang secara khusus memberikan catatan terhadap kitab al-Sunan
al-Kubro, sependek pengetahuan kami hanya Ibn al-Turkimani
mengkritik kitab tersebut. Kritikan yang ia lontarkan cukup menyeluruh.
Terkadang ia memberi koreksi terhadap istilah-istilah yang dipakai al-Baihaqi.
Di kasus yang lain ia juga menunjukkan sanad-sanad yang dhaif atau
bermasalah. Dalam satu misalnya, ia juga memaparkan ikhtilaf yang terjadi
diantara empat madzhab, kemudian menjelaskan istidlal masing-masing
madzhab tersebut dan men-tarjih-nya.
- Komentar
Kami
Setelah menguraikan beberapa
catatan mengenai kitab al-Sunan al-Kubro, ada beberapa komentar atau
sikap kami terhadap kitab tersebut;
Pertama, sebagai
ulama yang ahli hadis-fikih, al-Baihaqi sangat mumpuni dalam menulis al-Sunan
al-Kubro. Sekalipun dalam kitab tersebut masih terdapat hadis yang dhaif,
namun ke-dhaif-annya tertutupi dengan hadis-hadis penguat dan
catatan-catatan beliau. Ini tentu sangat berarti bagi pembaca agar tidak
mentah-mentah dalam mengkonsumsinya.
Kedua, pemilihan
cara al-Baihaqi untuk membela fikih Syafi’i dengan menyusun al-Sunan
al-Kubro cukup tepat. Hanya saja kami tidak terlalu melihat pengaruh dari
penulisan kitab tersebut terhadap masyarakat sezamannya. Hal ini dikarenakan
raja yang menggantikan Tugril Bik beraliran Asy’ariyah-Syafi’iyah. Sehingga
keterpengaruhan aliran masyarakat lebih dikarenakan dinasti yang berkuasa.
Kendati demikian, sebagai kitab yang pertama kali menulis seluruh dalil-dalil
hadis madzhab Syafi’i, kitab ini sangat bermanfaat bagi ulama setelahnya.
terbukti dari statemen banyak ulama yang memujinya.
Ketiga, al-Sunan
al-Kubro merupakan salah satu dwilogi magnum
opus-nya al-Baihaqi. Jika pembelaan fikih Syafi’i beliau wakili dengan al-Sunan
al-Kubro, maka pembelaan aqidah Asy’ariyahnya beliau wakili dengan al-Jami’
Syu’ab al-Iman. Keduanya bercorak kitab hadis. Dan keduanya bermula dari
fitnah penguasa yang melatarbelakanginya.
Keempat, metodologi
yang digunakan al-Baihaqi cukup komprehensif. Ia memadukan metodologi
ulama-ulama hadis sebelumnya. Kelebihan yang lain ialah keilmiahan kitab
tersebut melalui kutipan-kutipan perkataan ulama hadis dan fikih.
Kelima, cara
berdebat al-Baihaqi dalam kitab tersebut cukup arif. Ia memosisikan dirinya
sebagai orang yang netral. Ini terlihat dari beberapa judul bab yang ia pakai
sebagaimana telah kami paparkan sebelumnya. Meskipun pada hakikatnya ia hendak
menggiring pembaca untuk condong kepada pemahaman madzhab Syafi’i, namun hal
itu tidak kentara.
Keenam, dari
sekian kelebihan kitab tersebut, ada beberapa statemen al-Baihaqi yang menurut
kami terkesan menjadi kelemahan. Dalam beberapa kasus ia terlihat ragu dan
belum mampu memberikan kepastian status hadis. Seperti penulisan bab berikut; باب
مَنْ قَالَ يَؤُمُّهُمْ أَحْسَنُهُمْ وَجْهًا إِنْ صَحَّ الْخَبَرُ.[60]
- Kesimpulan
Tidak
dipungkiri lagi bahwa kitab al-Sunan al-Kubro
merupakan kitab hadis-fikih yang sangat
terkenal dan memiliki pengaruh. Terbukti dengan banyaknya kitab-kitab yang
mengomentari karya al-Baihaqi tersebut. Kemampuan al-Baihaqi yang multitalenta
menempatkan dirinya dalam strata ulama yang diperhitungkan pada zamannya. Ia
merupakan ulama bermadzhab Syafii sejati yang membela pendapat-pendapat madzhab
tersebut dari sisi hadis. Lebih spesifik lagi al-Baihaqi menuangkan pembelaan
tersebut di beberapa karangannya sperti Bayanu Man Akhto’a ala al-Syafii,
Takhrij Ahadits al-Umm li al-Syafii, dan kitab-kitab lainnya.
Khusus dalam al-Sunan
al-Kubro al-Baihaqi memperlihatkan otoritasnya sebagai pakar hadis dan
fikih. Disana ia mengolah perdebatan hukum-hukum fikih dengan cerdasnya melalui
hadis-hadis yang komprehenshif dan kuat, disertai sudut pandang pemahaman dan
komentar beliau terhadap hukum hadis-hadis tersebut. Sekalipun terdapat kritikan
dari pengarang al-Jauhar al-Naqiy misalnya, namun kritik tersebut tidak
terlalu signifikan. Selebihnya, kitab ini mendapat pujian dari banyak ulama
kenamaan. Terlebih kitab ini merupakan
pelopor yang mengumpulkan nash-nash hadis yang dijadikan tendensi oleh madzhab
al-Syafi’i.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Quran al-Karim
al-Baihaqi, Abu
Bakar Ahmad, al-Jami’ li Syu’ab al-Iman, (Ed. Abdul Ali Abdul Hamid),
(Bombai: al-Dar al-Salafiyah, 1986)
__________________________, al-Sunan
al-Kubro, (Ed. Muhammad Abdul Qodir ‘Atho), (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 2010)
__________________________, Dalail
al-Nubuwwah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1988)
__________________________, Ma’rifat
al-Sunan wa al-Atsar, (Damaskus: Dar Qutaibah, 1999)
al-Dzahabi, Syamsuddin
Muhammad, Siyar A’lam al-Nubala’, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1993)
al-Subki, Abdul Wahhab al-Kafi,
Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubro, (Mauqi’ Misykat li al-Kutub
al-Islamiyah)
al-Syami,
Sholih Ahmad, Zawaid al-Sunan al-Kubro, (Beirut: al-Maktab al-Islami,
2010)
al-Zahroni,
Muhammad bin Mathar, Tadwin al-Sunnah al-Nabawiyyah, (Riyadh: Maktabah
Dar al-Minhaj, tt)
Khalaf, Najm
Abdurrahman, Mawarid al-Baihaqi fi Kitabihi: al-Sunan al-Kubro ma’a dirasah
naqdiyyah li manhajihi fiha, (al-Maktabah al-Syamilah)
Syuhbah, Ibn
Qodhi, Thabaqat al-Syafi’iyyah, (Mauqi’ al-Waraq)
Thahhan,
Mahmud, Taysir Mustholah al-Hadits, (Damaskus: Dar al-Fikr, tt)
_______________, Ushul al-Takhrij wa
Dirasah al-Asanid, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1996)
http://www.almeshkat.net/vb/showthread.php?t=38592#gsc.tab=0
[1] Mahmud Thohhan, Taysir
Mustholah al-Hadits, (Damaskus: Dar al-Fikr, tt), hlm. 14
[2] Fungsi ini
sebagaimana tersurat dalam QS. Al-Nahl ayat 44:
“Dan Kami turunkan kepadamu
al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka supaya mereka memikirkan.”
[3] Abu Bakar Ahmad
al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubro, (Ed. Muhammad Abdul Qodir ‘Atho),
(Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2010), Jilid 1, hlm. 5
[4] Abu Bakar Ahmad
al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubro, …,
Jilid 1, hlm. 5
[5] Abu Bakar Ahmad
al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubro, …,
Jilid 1, hlm. 6
[6] Abu Bakar Ahmad
al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubro, …,
Jilid 1, hlm. 7
[7] Abu Bakar Ahmad
al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubro, …,
Jilid 1, hlm. 7
[8] Mahmud Thahhan, Ushul
al-Takhrij wa Dirasah al-Asanid, (Riyadh: Maktabah al-Ma’arif, 1996), hlm.
115
[9] Imam al-Baihaqi dalam
Muqoddimah al-Sunan al-Kubro hanya menuliskan pengantar yang sangat singkat dan
tidak menyebutkan alasannya menulis kitab tersebut. Lihat Abu Bakar Ahmad
al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubro, …,
Jilid 1, hlm. 3
[10] Abu Bakar Ahmad
al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubro, …,
Jilid 1, hlm. 10
[11] Abu Bakar Ahmad
al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubro, …,
Jilid 1, hlm. 10
[12] Abu Bakar Ahmad
al-Baihaqi, al-Jami’ li Syu’ab al-Iman, (Ed. Abdul Ali Abdul Hamid),
(Bombai: al-Dar al-Salafiyah, 1986), Jilid 1, hlm. 19
[13] Abu Bakar Ahmad
al-Baihaqi, al-Jami’ li Syu’ab al-Iman, …, Jilid 1, hlm. 20-21
[14] Abu Bakar Ahmad
al-Baihaqi, al-Jami’ li Syu’ab al-Iman, …, Jilid 1, hlm. 21
[15] Abu Bakar Ahmad
al-Baihaqi, al-Jami’ li Syu’ab al-Iman, …, Jilid 1, hlm. 21
[17] Abu Bakar Ahmad
al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubro, …, Jilid 1, hlm. 9
[18] Abu Bakar Ahmad
al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubro, …, Jilid 1, hlm. 9
[19] Abu Bakar Ahmad
al-Baihaqi, Ma’rifat al-Sunan wa al-Atsar, (Damaskus: Dar Qutaibah,
1999), hlm. 212
[20] Abu Bakar Ahmad
al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubro, …, Jilid 1, hlm. 13-20
[21] Abu Bakar Ahmad
al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubro, …, Jilid 1, hlm. 20-22
[22] Abu Bakar Ahmad
al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubro, …, Jilid 1, hlm. 12-13
[23] Syamsuddin
Muhammad al-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, (Beirut: Muassasah
al-Risalah, 1993), Jilid 18, hlm. 169
[24] Abu Bakar Ahmad
al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubro, …, Jilid 1, hlm. 22
[25] Abu Bakar Ahmad
al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubro, …, Jilid 1, hlm. 23
[26] Lihat catatan
penghitungan hadis terakhir. Abu Bakar Ahmad al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubro,
…, Jilid 10, hlm. 586
[27] Sholih Ahmad
al-Syami, Zawaid al-Sunan al-Kubro, (Beirut: al-Maktab al-Islami, 2010),
Jilid 1, hlm. 21
[28] Sholih Ahmad
al-Syami, Zawaid al-Sunan al-Kubro, …, Jilid 1, hlm. 11-12
[29]
http://www.almeshkat.net/vb/showthread.php?t=38592#gsc.tab=0
[30] Najm Abdurrahman
Khalaf, Mawarid al-Baihaqi fi Kitabihi: al-Sunan al-Kubro ma’a dirasah
naqdiyyah li manhajihi fiha, (al-Maktabah al-Syamilah), hlm. 2
[32] Misalnya pada bab
“Membaca Basmalah sebelum Wudhu’”, dalam hadis yang diriwayatkan Ayyub bin
Najjar dari Yahya bin Abi Katsir dari Abu Salamah dari Abu Hurairah. Di sana
al-Baihaqi memberikan komentar bahwa, sebagaimana yang dikatakan Ayyub bin
Najjar, ia hanya mendengar satu hadis dari Yahya bin Abi Katsir, namun hadis
tersebut bukan hadis tentang membaca basmalah sebelum wudhu’. Maka dengan
demikian al-Baihaqi menghukumi hadis tersebut dengan munqothi’. Lihat
Abu Bakar Ahmad al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubro, …, Jilid 1, hlm. 73
[33] Al-Baihaqi tidak
hanya men-tarjih matan hadis yang kontradiktif (mukhtalaf), namun
dalam beberapa hadis ia juga men-tarjih sanad yang mukhtalaf.
Lihat Abu Bakar Ahmad al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubro, …, Jilid 1, hlm. 59
[35] Abu Bakar Ahmad
al-Baihaqi, Ma’rifat al-Sunan wa al-Atsar, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah, 2001), hlm. 82
[36]
http://www.almeshkat.net/vb/showthread.php?t=38592#gsc.tab=0
[37] Lihat misalnya cara
al-Baihaqi menjelaskan tentang kewajiban mengusap kepala (rambut) bagi orang
memakai Imamah (penutup kepala). Lihat Abu Bakar Ahmad al-Baihaqi, al-Sunan
al-Kubro, …, Jilid 1, hlm. 101
[38] Misalnya tentang
hadis yang menjelaskan tentang mengulangi usapan kepala dalam wudhu’ sebanyak
tiga kali. Lihat Abu Bakar Ahmad al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubro, …, Jilid
1, hlm. 103.
[39] Misalnya tentang
hadis larangan mengambil manfaat rambut bangkai hewan. Lihat Abu Bakar Ahmad
al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubro, …, Jilid 1, hlm. 34-39.
[40]
http://www.almeshkat.net/vb/showthread.php?t=38592#gsc.tab=0
[41]
http://www.almeshkat.net/vb/showthread.php?t=38592#gsc.tab=0
[42] Lihat Abu Bakar Ahmad
al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubro…, Jilid 7, hlm. 58.
[45] Abu Bakar Ahmad
al-Baihaqi, Dalail al-Nubuwwah, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1988),
hlm. 47
[46]
http://www.almeshkat.net/vb/showthread.php?t=38592#gsc.tab=0
[47] Ibn Qodhi Syuhbah, Thabaqat
al-Syafi’iyyah, (Mauqi’ al-Waraq), hlm. 1
[48] Ibn Qodhi Syuhbah, Thabaqat
al-Syafi’iyyah,…, hlm. 34
[49] Abu Bakar Ahmad
al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubro, …, Jilid 2, hlm. 227.
[50] Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh
al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, tt), jilid 2, hlm. 2
[52] Abu Bakar Ahmad
al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubro, …, Jilid 2, hlm. 228-229
[53] Abu Bakar Ahmad
al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubro, …, Jilid 2, hlm. 233
[54] Baca Abu Bakar Ahmad
al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubro, …, Jilid 2, hlm. 233-245
[55] Ibn Qodhi Syuhbah, Thabaqat
al-Syafi’iyyah, (Mauqi’ al-Waraq), hlm. 34
[56] Abdul Wahhab al-Kafi
al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyyah al-Kubro, (Mauqi’ Misykat li al-Kutub
al-Islamiyah), Jilid 4, hlm. 3
[59] Muhammad bin Mathar
al-Zahroni, Tadwin al-Sunnah al-Nabawiyyah, (Riyadh: Maktabah Dar
al-Minhaj, tt), hlm. 155
Tidak ada komentar :
Posting Komentar