Ribuan
orang berbondong-bondong menuju gedung itu. Setelah menyelesaikan jama’ah
shalat Maghrib, seakan tak mau ketinggalan, dengan berbekal sebuah buku catatan
kecil aku bergegas mempercepat langkah. Karena luas gedung yang terbatas maka
jama’ah pun mengular di jalanan. Aku berjejal-jejal mencari posisi agak depan.
Sejenak kemudian kami para jama’ah berdiri memberi sambutan seraya melantunkan
bait-bait “thola’al badru”. Seremonial itu berhenti ketika seseorang memasuki ruangan
dan duduk paling depan menghadap kami.
Penuh wibawa beliau mengucap
salam. Dengan sorot wajah yang teduh kemudian mengumandangkan tilawah beberapa
ayat Al-Qur’an. Ujud dan umur yang telah renta menjadikan nafasnya tak kuat
lagi melengkingkan suara panjang. Tapi tak mengurangi kefasihan dan kekhidmatan
kami yang mendengarkan. Tilawah kini usai. Dilanjutkan pembacaan doa yang
kuketahui di kemudian hari adalah “hizbun nashr”. Kami membaca
bersama-sama dengan dipimpin oleh beliau. Pembacaan selesai dan dilanjutkan
dengan pengajian inti.
Kali ini pengajian tafsir menginjak awal surat An-Nur. Sang Kiai menguraikan penjelasan beberapa ayat dengan gamblang nan jelas. Sesekali humor jenaka serat makna disisipkan, menghadirkan gelak tawa para jama’ah tak terkira. Retorika balaghah dan mantiq yang terukur menambah kemantaban para jama’ah. Kala jarum jam menunjuk angka delapan malam, pengajian diakhiri dengan konsultasi agama bagi para jama’ah yang memiliki permasalahan. Shalat Isya’ berjama’ah didirikan. Dan majlis malam itu benar-benar berakhir dengan menyempatkan bersalaman dengan sang Kiai seraya mengecup tangannya. Para jama’ah pulang dengan membawa oleh-oleh nilai agama dan kehidupan. Demikianlah sepenggal rutinitas Sang Kiai. Seorang KH. Sya’roni Ahmadi di tengah rutinitas lain yang padat.
Nasabnya yang dari keluarga
santri, menjadikan seorang Sya’roni kecil telah dikenal sebagai anak yang
gandrung mengkaji agama, mulai dari al-Quran sampai tauhid, fikih, tasawuf dan
sebagainya. Strata ekonomi keluarga yang pas-pasan tidak lantas menyurutkan
niatnya menimba ilmu. Kota Kudus, tempat beliau tinggal, sejak dulu terkenal
sebagai kota yang agamis. Sumber daya masyayikh yang tersebar ketika itu
tidak disia-siakan.Beliau rajin mengikuti pengajian-pengajian yang diadakan di
sekitar kota tersebut.Sya’roni kecil termasuk anak yang cerdas. Pada usia 11
tahun berliau sudah hafal kitab Alfiyah Ibnu Malik.Bahkan hafal al-Quran
pada usianya yang ke-14 dan Qira’ah Sab’iyyah pada usia 17 tahun.
Kiai Sya’roni merupakan anak yang
ke tujuh dari delapan bersaudara. Ketika usianya menginjak delapan tahun
ibundanya telah tiada. Sepeninggal ibunya kiai Sya’roni di asuh oleh sang ayah.
Namun masa ini pun tidak berlangsung lama. Karena menginjak usiannya yang ke 13
tahun, ayahnya pun juga tiada. Maka lengkap sudah duka kiai Sya’roni karena
sejak saat itu ia menjadi anak yatim piatu.
Kiai Sya’roni sempat mengenyam
pendidikan formal di Madrasah Diniyah Mu’awanah di Madrasah Ma’ahid lama -(pada
masa KH. Muchit). Sedangkan pendidikan non formalnya, baliau banyak belajar
dari satu tempat ke tempat lain. Untuk belajar al-Qur’an utamanya Qira’ah
al-Sab’iyyah berliau berguru kepada KH. Arwani Amin Kudus, seorang ulama besar
alim Al-Qur’an, pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Tahfidh Yanbu’ul Qur’an
Kudus. Beliau juga sempat berguru kepada KH. Turaikhan Ajhuri, seorang alim
fikih dan maestro astronom dari kalangan santri. Sedangkan guru-gurunya yang
lain adalah KH. Turmudzi dan KH. Asnawi dan lain-lain.
Kiai Sya’roni banyak dikenal
sebagai sosok yang menguasai ilmu agama secara interdisipliner. Beliau tidak
hanya mahir dalam ilmu tafsir, tetapi juga dalam ushul al-fiqh, fikih, mantiq,
balaghah dan sebagainya. Dalam hal Al-Qur’an, baliau tidak hanya hafal dan pandai
membacanya namun juga pintar melantunkannya. Maka tak heran jika beliau pernah
menjadi dewan Musabaqah Tilawatil al-Qur’an (MTQ) tingkat nasional.
Setelah sekian lama bergumul
dengan ilmu dan pengajian-pengajian, Kiai Sya’roni akhirnya menikah pada tahun
1962. Beliau menyunting seorang gadis bernama Afifah. Dari pernikahan itu
beliau dianugerahi 8 anak anak, 2 anak laki-laki dan 6 anak perempuan. Salah
satunya diperistri oleh KH. Ulil Albab Arwani, putra kedua KH. Arwani Amin,
guru beliau sendiri.
Pada masa penjajahan Belanda Kiai
Sya’roni sempat terlibat dalam perang perang gerilya dalam rangka pengusiran
Belanda dari muka bumi Indonesia. Tahun 1965 yakni masa pemberontakan PKI beliau
juga merupakan salah seorang yang menjadi target operasi yang dilakukan oleh
PKI. Hal ini karena Kiai Sya’roni merupakan sosok yang rajin berkampanye dan
membuat pengajian-pengajian. Kiai Sya’roni dengan tegas menolak ideologi
komunisme PKI.
Dari Masjid Hingga ke Mimbar
Setelah sekian lama belajar, Kiai
Sya’roni mulai berdakwah di masyarakat dalam usianya yang sangat muda. Dalam
melaksanakan dakwah Islamiyah ini, beliau menggunakan dua model. Pertama yakni
model dakwah di masjid-masjid atau di sebuah rumah warga yang dijadikan tempat
untuk mengaji; Kedua adalah pengajian umum atau tabligh akbar. Metode
pertama ini biasanya dipakai dan dikonsumsi oleh masyarakat sekitar tempat
tinggalnya. Pengajian yang dilakukan sudah ditetapkan jadwalnya dan proses
pengajarannya pun dilakukan secara berkesinambungan. Sedang model kedua
biasanya dipakai untuk berdakwah di luar daerah. Hal ini karena di samping
masalah waktu yang tidak memungkinkan untuk berdakwah dengan model pertama juga
terkadang karena permintaan dari penduduk setempat.
Pada dekade sekitar tahun 1960
sampai 1970-an, Kiai Sya’roni dikenal sebagai tokoh yang sangat keras. Apalagi
saat itu adalah masa-masa gencarnya ideologi komunisme yang dilancarkan PKI.Gaya
yang “keras” ini selalu dipakai Kiai Sya’roni dalam berbagai kesempatan karena
keadaan waktu itu menuntut demikian. Baik ketika khutbah maupun
pengajian umum atau tabligh akbar beliau selalu tampil dengan mengambil
hukum yang tegas ketika dihadapkan pada suatu permasalahan yang terjadi dalam
masyarakat (waqi’iyyah). Konon gaya seperti ini sering dipakai KH.
Turaikhan dalam berdakwah.
Seiring dengan hangusnya PKI,
lambat laun gaya dakwah Kiai Sya’roni mulai berubah. Gaya dakwah yang selama
ini dilakukan dengan nada keras dirubah total dengan memakai gaya yang melunak.
Perubahan gaya dalam berdakwah ini dilakukan dengan pendekatan komparatif yakni
merujuk kepada pergeseran masyarakat dari waktu ke waktu serta logika kebutuhan
masyarakat yang tiap saat berubah. Karena masyarakat dari waktu ke waktu
berubah maka metode berdakwah pun mesti berubah.
Khidmah Al-Qur’an
Sepanjang Hayat
Kepakaran Al-Qur’an yang dimiliki
sang maha guru, KH. Arwani Amin, ternyata menitis ke jiwa Kiai Sya’roni. Sejak
muda beliau telah dikenal sebagai alim di semua keilmuan Al-Qur’an. Maka
tak heran jika beliau diminta untuk mentashih Al-Qur’an cetakan Menara Kudus,
bersama KH. Arwani Amin dan KH. Hisyam Hayat. Inilah termasuk salah satu
khidmah beliau di bidang Al-Qur’an.
Sepeninggal KH. Arwani Amin dan KH.
Hisyam Hayat, kini KH. Sya’roni menjadi seorang alim Al-Qur’an yang amat
tersohor di kota Kudus, bahkan se-Jawa Tengah. Kealiman dan kecintaannya
tersebut menjadikan aktifitasnya kini tidak jauh dari hal-hal yang berhubungan
dengan Al-Qur’an. Bahkan di usianya yang senja dan diantara kesibukannya yang
padat beliau masih menyempatkan mengisi pengajian tafsir sebanyak tiga kali
dalam seminggu. Senin pagi di Masjid Mu’ammar Janggalan. Rabu Malam di gedung
Wisma Muslimin. Dan Jum’at pagi di Masjid Al-Aqsha Menara Kudus. Ketiga-tiganya
dihadiri oleh ribuan jama’ah dari kota Kudus dan sekitarnya.
Khusus untuk hari Jum’at KH.
Sya’roni meluangkan waktunya hanya untuk Al-Qur’an. Begitu selesai mengisi
pengajian tafsir di Menara Kudus pukul enam pagi, beliau menyempatkan ziarah ke
makam KH. Arwani Amin. Kemudian menerima para tamu sejenak dan dilanjutkan
dengan menerima setoran Al-Qur’an puluhan santri, baik bil ghaib maupun bin
nadzar. Bahkan banyak dari mereka yang telah berumah tangga dan menjadi
Kiai di daerah masing-masing. Mereka rela datang jauh-jauh dari luar kota Kudus
sekedar tabarukan Al-Qur’an. Majlis ini berlangsung hingga kira-kira
pukul sembilan pagi. Saking begitu pentingnya majlis iniKH. Sya’roni sering
menolak bila ada acara-acara yang lain.
Bila
bulan Ramadhan tiba beliau akan lebih sibuk lagi. Mulai Subuh sampai siang hari
beliau luangkan waktunya untuk berkhidmah Al-Qur’an. Beliau mengisi pengajian
Tafsir di Masjid Menara dan setoran Al-Qur’an di ndalemnya setiap hari selama
sebulan penuh. Tidak sedikit santri yang bahkan mampu mengkhatamkan setorannya
selama sebulan itu. Demikian wujud khidmah Al-Qur’an KH. Sya’roni Ahmadi.
Ulama Pemersatu
Umat
Suatu ketika salah seorang jama’ah
mengajukan sebuah pertanyaan, “Pak Kiai, dalam penentuan awal bulan ramadhan
kan ada yang dengan cara rukyah dan ada yang dengan cara hisab, manakah yang
harus kita ikuti?”. KH. Sya’roni pun menjawab singkat, “yang cocok”.
Demikianlah cara beliau menanggapi permasalahan di kalangan umat. Sekalipun
beliau dari kalangan NU, tidak lantas mendoktrinkan ajaran-ajarannya. Beliau
tidak memperlihatkan kefanatikannya dan cenderung memberikan kebebasan kepada
umat untuk memilih yang diyakininya. Bahkan di kalangan NU sendiri beliau tidak
menonjolkan afiliasi kepartaiannya. Beliau lebih senang tampil netral.
Demikian cara KH. Sya’roni
mengupayakan persatuan umat. Bukan berarti beliau tidak punya pegangan. Akan
tetapi lebih memilih kemaslahatan yang lebih besar bagi umat. Seringkali beliau
menyampaikan, baik ketika pengajian tafsir maupun menjadi pembicara, tentang
kesalahpahaman umat. Pertikaian antarormas tentang ajaran-ajaran yang dianut
mereka sebenarnya sebagian besar hanya kesalahpahaman. Masing-masing merasa
benar dan menyalahkan yang lain. Padahal kalau dijelaskan dengan sekasama tidak
ada perbedaan yang signifikan.
Di lain kesempatan ada lagi yang
bertanya, “bolehkah berdoa setelah shalat lima waktu secara bersama dengan
dipimpin imam atau berdoa sendiri-sendiri?”. Dengan ringan beliau menjawab,
“tidak berdoa juga tidak apa-apa”. Itulah seorang KH. Sya’roni Ahmadi. Maksud
beliau adalah agar umat Islam yang terpecah-pecah di berbagai ormas tidak
mempermasalahkan perihal yang spele. Terlalu mahal persatuan umat ini untuk
gadaikan dengan isu-isu perbedaan kecil. Selama ini umat Islam lebih sibuk
bertikai dengan saudaranya sendiri dibanding memikirkan kemajuan Islam di masa
yang akan datang.
Untuk itulah, hampir di setiap
pengajian tafsir beliau selalu berpesan, “wong Islam seng rukun, senajan
omahe bedo-bedo”. Artinya umat Islam hiduplah yang rukun, meskipun rumahnya
(ormasnya/partainya) beda-beda. Demikian cara beliau menyederhanakan masalah
yang besar dan meniadakan masalah yang kecil. Kendati demikian, bukan berarti
beliau seenaknya saja mempermudah masalah agama. Beliau tetap berpegang teguh
pada dalil-dalil yang shahih. Bahkan tidak jarang beliau mencontohkan dalil
dari logika sederhana dan kehidupan sehari-hari.
Model dakwah yang demikian ini menjadikan KH. Sya’roni mampu diterima oleh semua kalangan. Tidak
sedikit jama’ah dari kalangan Muhammadiyah yang mengikuti pengajiannya. Beliau
menjadi sosok yang mampu mengayomi umat tanpa memandang latar belakangnya. Sehingga
beliau disegani oleh semua kalangan.
Humoris Yang
Kritis
“Ilmu itu tidak harus diperoleh di
bangku sekolah. Ilmu bisa juga diperoleh dengan bertanya. Malah biasanya dengan
bertanya kepada orang yang ahli itu lebih cepat merasuk dan mudah diingat. Ilmu
itu dicapai ‘bi lisanin sa’ul wa qolbin ‘aquul’. Kadang-kadang saya
bertanya kepada murid saya seorang kolonel di Jakarta tentang masalah keamanan.
Kadang pula bertanya kepada Dr. X tentang masalah kesehatan. Saya juga
bertanya, apakah ada obat penawar ngantuk?”. Seketika seluruh jama’ah bergelak
tawa mendengarkan guyonan jenaka dari KH. Sya’roni. Dan yang tadinya ngantuk
pun terbangun dan merasa salah tingkah.
Humor-humor ringan serat makna akan
kehidupan sehari-hari tidak pernah ketinggalan di setiap pengajian. Beliau
selalu menyisipkannya baik berupa cerita, sindiran maupun kisahnya sendiri. Dan
gaya seperti inilah yang menjadikan pengajian terasa hidup dan tidak
membosankan. Beliau sangat lihai mengemaskan dalam retorika mantiq dan balaghah
yang mumpuni. Ini sangat berbeda dengan para muballigh kebanyakan, yang
lebih banyak menjadi tontonan dengan humor-humornya. Di tangan KH. Sya’roni
semua humor menjadi tuntunan dan memiliki nilai-nilai universal tentang arti
hidup.
Meskipun terkesan humoris, beliau
tetap kritis terutama mengenai fenomena-fenomena yang berkembang di masyarakat.
Pernah suatu ketika beliau mengkritisi tentang penggunaan istilah ‘kerukunan
beragama dan kerukunan antarumat beragama’. “Kalau kerukunan beragama haram,
sedangkan kerukunan antarumat beragama bisa diterima. Suatu ketika Nabi
Muhammad SAW pernah ditawari Abu Lahab dan Abu Jahal untuk bertukar Tuhan. Nabi
Muhammad menyembah berhala satu tahun. Abu Jahal dan Abu Lahab menyembah Allah
satu tahun. Kemudian turunlah surat Al-Kafirun yang menjelaskan tentang
keharaman kerukunan bergama. Artinya kalau kerukunan dalam masalah aqidah
haram. Sedangkan kerukunan dalam masalah dunia bisa dipertimbangkan”.
Karya-Karya
Menulis merupakan tradisi yang
banyak digeluti oleh ulama-ulama Islam sejak dulu kala. Sudah tidak terhitung
lagi karya-karya ulama’ klasik yang menjadi rujukan umat Islam hingga sekarang.
KH. Sya’roni merupakan sosok yang bukan hanya pandai membaca kitab dan
berpidato, namun beliau juga tergolong produktif dalam berkarya. Kepakarannya
dalam bidang agama mencoba diabadikan melalui kitab-kitabnya. Tercatat beliau
kerap menulis, mensyarah dan menterjemah beberapa kitab yang digunakan untuk
mengajar. Kitab-kitab tersebut banyak dikonsumsi oleh madrasah-madrasah di kota
Kudus. Adapun karya-karya tersebut adalah :
1. Al-Faraid al-Saniyah
Kitab ini banyak mengupas tentang doktrin ahlusunnah
wal jama’ah. Penyusunan kitab ini konon diilhami oleh kitab Bariqat
al-Muhammadiyah ‘ala Tariqat al-Ahmadiyah milik KH. Muhammadun Pondowan, Tayu,
Pati yang saat itu rajin berpidato dan mengisi pengajian untuk menolak gerakan
Muhammadiyah di kota Kudus. Kiai Sya’roni menulis kitab ini selama kurang lebih
dua tahun.
2.
Faidl al-Asany
Kitab ini terbagi ke dalam tiga juz dan banyak
membahas tentang Qira’ah al-Sab’iyyah.
3.
Al-Tashrih al-Yasir fi ‘ilmi
al-Tafsir
Kitab ini banyak mengupas tentang tafsir al-Qur’an
mulai dari pembacaan, lafal-lafalnya, sanad, arti-arti yang berhubungan dengan
hukum dan sebagainya. Kitab setebal 79 halaman ini ditulis pada tahun 1972
M/1392 H
4.
Tarjamah Tashil al-Turuqat
Kitab ini membahas ilmu manthiq
5.
Tarjamah al-Ashriyyah
Kitab ini membahas ilmu Ushul al-Fiqh yang banyak
mengupas tentang lafadz ‘amm dan khas, mujmal dan mubayyan, ijma, qiyas dan
sebagainya. Kitab ini disusun pada hari ahad siang tanggal 29 Juni 1986 M/21
Syawal 1406 H
6.
Qira’ah al-Ashriyyah
Kitab ini terdiri dari tiga juz. Penyusunan kitab
ini dimaksudkan, sebagaimana penuturan Kiai Sya’roni, untuk memudahkan para
santri atau para siswa dalam mempelajari kitab kuning.
Kekinian
Rasanya tidak akan habis
membicarakan sosok KH. Sya’roni Ahmadi yang sangat membumi di kota Kudus dan
sekitarnya. Perjuangan dan kiprah beliau harum tercatat oleh tinta emas
sejarah. Sosok kiai yang toleran, mengayomi dan pemersatu umat. Selama
perjuangannya di Kudus, beliau telah memberikan banyak hal. Tradisi santri yang
sekarang ini lekat dengan masyarakat Kudus rasanya tak bisa dilepaskan dari
jasa beliau. Dalam bidang pengembangan fisik, Kiai Sya’roni banyak memberikan
jasa dalam mengembangkan madrasah-madrasah di kota Kudus, seperti Madrasa Banat
NU, Muallimat, Qudsiyyah, Tasywiq al-Thullab al-Salafiyah (TBS), dan Madrasah
Diniyah Keradenan Kudus. Kiai Sya’roni juga tercatat sebagai penasehat Rumah
Sakit Islam YAKIS dan menjabat mustasyar PBNU. Beliau juga mengisi pengajian
rutin tiap ahad pagi di Masjid Jama’ah Haji Kudus (JKH).
Di usianya yang kini menginjak
80-an lebih, beliau masih sibuk melayani umat melalui pengajian dan
aktifitas-aktifitas lainnya. Semoga Allah memberkahi umur beliau, memudahkan urusan-urusannya,
dan ilmunya bermanfaat bagi umat Islam. Amin.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar