Beberapa tahun silam, ada orang
yang melempar sebuah gagasan tentang penggiliran waktu haji. Gagasan itu
berangkat dari realita lonjakan gelombang jumlah jamaah haji yang semakin hari
semakin meningkat, yang menimbulkan masyaqqat oleh karena adanya
ketimpangan antara jumlah jamaah dan lokasi yang tidak seimbang dalam waktu
yang bersamaan. Kemudian ia melempar wacana pembagian shift haji selama
tiga bulan dan tidak memusatkan pada bulan Zulhijjah saja. Argumen yang ia
bangun adalah sebuah ayat yang secara jelas menyebutkan bahwa waktu haji ialah
beberapa bulan yang telah maklum, bukan 5 hari sebagaimana praktik yang selama
ini berlaku. Menurutnya, selama ini umat Islam mempersempit tafsiran mengenai
cakrawala haji. Oleh karena Nabi Saw hanya sekali berhaji pada jam dan
waktu-waktu tertentu, kemudian disimpulkan bahwa tidak ada keabsahan haji di
luar waktu tersebut.
Salah satu Hadis yang menurut penggagas perlu dipahami
ulang adalah,
الْحَجُّ عَرَفَةُ فَمَنْ أَدْرَكَ لَيْلَةَ عَرَفَةَ قَبْلَ طُلُوعِ
الْفَجْرِ مِنْ لَيْلَةِ جَمْعٍ فَقَدْ تَمَّ حَجُّهُ
“Inti Haji adalah wukuf di Arafah, siapa yang mendapatkan malam Arafah
sebelum terbit fajar dari malam jam’ (malam mabit di Muzdalifah) maka hajinya
telah sempurna.”
Takhrij Hadis dan Studi Matan
Hadis di atas dapat di temukan dalam beberapa kitab
Sunan dan Musnad, seperti Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa’i, Sunan Ibnu
Majah, dan Musnad Ahmad bin Hanbal. Jalur sanad yang semuanya
melalui seorang sahabat bernama Abdurrahman bin Ya’mar al-Dailiy menunjukkan
bahwa Hadis tersebut merupakan Hadis gharib, yaitu Hadis yang
diriwayatkan oleh satu rawi baik hanya di satu tingkatan maupun seluruhnya.
Tetapi, tidak menutup kemungkinan terdapat jalur lain di kitab yang belum kami
sebutkan di muka.
Mengenai rantai sanad, mayoritas ulama, seperti Prof.
Dr. Syekh Mustafa Azamy, menilai Hadis tersebut sahih, meskipun ada juga yang
menghukuminya hasan-sahih. Kendati demikian, status-status tersebut tetap mengarah
pada kebolehan mengamalkannya.
Redaksi lengkap dari Hadis di atas memuat asbabul
wurud (sebab-sebab keluarnya Hadis), dimana ketika itu Nabi Muhammad Saw
sedang menjalani bagian dari prosesi haji; wukuf di Arafah. Abdurrahman bin
Ya’mar yang sedang berada di dekat beliau melihat beberapa orang dari penduduk
Makkah (dalam riwayat lain: penduduk Najd) mendatangi Nabi Saw. Salah seorang
dari mereka kemudian bertanya, “Bagaimanakah kami melaksanakan haji?”. Nabi pun
menjawab, “Inti haji adalah wukuf di Arafah.”
Beberapa ulama, seperti Imam Badruddin al-Aini dalam Umdat
al-Qori Syarah Sohih al-Bukhari dan Imam al-Sindi dalam Hasyiyah Sunan
Ibnu Majah memahami bahwa maksud dari Hadis di atas adalah wukuf di Arafah
merupakan rukun haji yang paling agung. Ia menjadi penyangga dan amalan paling
berharga dalam ibadah haji. Namun perlu dicatat, dalam memahami Hadis tersebut
tidak berlaku حصر المبتدأ على الخبر (pembatasan mubtada’ pada khabar),
yang berarti membatasi haji pada wukuf saja. Sebab, sebagaimana kita ketahui
bahwa rukun yang harus ditunaikan dalam berhaji tidak hanya wukuf belaka.
Terdapat beberapa Hadis lain yang memiliki redaksi
senada dengan gaya bahasa Hadis di atas, diantaranya,
الدِّينُ النَّصِيحَةُ
“Agama adalah Nasehat.” (HR. Muslim)
Agama disini tidak bisa dipersempit hanya pada nasihat
belaka, karena kita tahu bahwa banyak aspek dan ibadah di dalamnya. Adapun jika
dikatakan bahwa nasihat menjadi aspek utama dan penyokong agama, hal itu dapat
diterima.
Pendapat berbeda diutarakan oleh Imam Izzuddin bin
Abdussalam dalam Amali-nya. Ia mengatakan bahwa rukun haji paling utama
adalah Thawaf. Hal ini berdasar pada sebuah Hadis,
الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلَاةٌ فَأَقِلُّوا مِنْ الْكَلَامِ
“Thawaf di Ka’bah adalah salat, maka persedikitlah berbicara.” (HR.
al-Nasa’i)
Kedudukan Thawaf yang serupa dengan salat menjadikan
derajatnya lebih utama daripada wukuf. Bahkan salat sendiri lebih utama
daripada haji. Karenanya, mengenai Hadis di atas, Imam Izzuddin lebih cenderung pada
pemaknaan bahwa seseorang yang memperoleh haji ialah mereka yang berwukuf di
Arafah.
Menengahi dua pendapat di atas, Ibnu Hajar dalam Fath
al-Bari lebih condong pada menyamakan kedudukan wukuf dan thawaf. Tidak ada
posisi lebih utama dari keduanya. Sebab, sesuatu yang karenanya haji menjadi
bernilai maka hal itu menjadi utama. Sementara wukuf dan thawaf sama dalam hal
itu, maka tidak ada sebutan lebih utama dari keduanya.
Arafah: Waktu-Tempat?
Salah satu point penting dari gagasan tadi adalah
ketidakadaan dalil yang menyebutkan bahwa wukuf harus dilaksanakan pada hari
Arafah atau tanggal 9 Zulhijjah. Menurutnya, Hadis al-Hajju Arafah hanya
memuat perintah untuk wukuf di Arafah. Sedangkan waktunya tidak terkandung di
dalamnya, melainkan mengekor pada kandungan sebuah ayat,
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.” (QS. Al-Baqarah
197)
Artinya, menurutnya, wukuf dapat dilakukan kapanpun
selama masih dalam rentang bulan-bulan dimaksud, yakni Syawal, Zulqo’dah, dan
Zulhijjah. Tidak ada keharusan melakukannya pada hari Arafah. Keumuman (mujmal)
ayat di atas menunjukkan bahwa prosesi haji managable dan bisa
digilir. Benarkah demikian?
Agaknya kesimpulan di atas masih terlalu prematur.
Pemahaman yang ia bangun hanya bersumber dari satu ayat tanpa mengorelasikan
dengan ayat lainnya, seperti firman Allah pada ayat setelahnya,
فَإِذَا أَفَضْتُمْ مِنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِنْدَ الْمَشْعَرِ
الْحَرَامِ
“Maka apabila kamu telah bertolak dari ‘Arafat, berzikirlah
kepada Allah di Masy’aril haram.” (QS. Al-Baqarah: 198)
Ayat di atas, oleh beberapa pendapat dalam kitab
tafsir dijadikan dalil ke-manshus-an ritual wukuf di Arafah, termasuk
waktunya. Dalam hal ini, Syekh Wahbah Zuhaili dalam Tafsir-nya,
mendefinisikan kata عرفات sebagai tempat wukuf, sedangkan
kata عرفة adalah hari dimana para jamaah haji wukuf di Arafah,
yaitu 9 Zulhijjah.
Jika demikian, maka Hadis al-Hajju Arafah menunjukkan
keharusan wukuf pada hari Arafah. Hal ini tidak berlebihan jika melihat
lanjutan Hadis tersebut yang menyinggung masalah batas waktu wukuf.
Pada ayat yang lain disebutkan tentang hikmah haji
berikut ini,
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ
مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا
وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
“Supaya mereka mempersaksikan berbagai manfa’at bagi mereka dan supaya
mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezki yang
Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah
sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan
orang-orang yang sengsara lagi fakir.” (QS. Al-Hajj: 28)
Bahwa salah satu manfaat haji ialah menyebut nama
Allah pada hari-hari yang telah dipermaklumkan, yang menurut Imam Malik adalah
hari nahr. Jika prosesi haji, khususnya ritual wukuf, dilaksanakan pada
bulan Syawal misalnya, bukankah jamaah haji tidak akan menemukan manfaat
tersebut?
Lebih
khusus, Jamal Ma’mur, dalam
artikelnya, menyebutkan kelemahan penggagas pemikiran. Menurutnya, “Asyhurun
Ma’lumat” merupakan lafadz makhshus (dikhususkan), dimana kata asyhurun
memuat informasi tentang wukuf yang harus dilakukan pada hari Arafah, yaitu
9 Zulhijjah. Pengkhususan itu dikarenakan adanya lafadz setelahnya, yaitu ma’lumat
yang berdasarkan tradisi, waktu Arafah ialah pada tanggal 9 Zulhijjah.
Asyhurun adalah bentuk plural dari syahr,
sedangkan ma’lumat adalah qayyid lazim (batasan tetap) dalam
ilmu Balaghah. Artinya, kemakluman bulan-bulan haji di sini kembali pada
kebiasaan atau tradisi yang sudah berlaku selama berabad-abad sebelum turunnya
ayat tersebut. Adapun Hadis Nabi al-Hajju Arafah hanya sekedar
menguatkan tradisi yang sudah ada. Jadi, mubayyan-nya adalah syar’u
man qoblana, syariat orang sebelum turunnya ayat.
Jika merujuk pendapat ulama madzhab, KH. Sahal Mahfudz
dan KH. Ahmad Mustafa Bisri dalam Ensiklopedi Ijma’ menyebutkan pendapat
mayoritas ulama, kecuali Ahmad, bahwa waktu wukuf dimulai dari tergelincirnya
matahari, pada tanggal 9 Zulhijjah, sampai terbit fajar pada tanggal 10
Zulhijjah. Orang yang berhenti di Arafah pada malam ke-10 Zulhijjah, yang
sekiranya dari berhentinya itu ia sempat salat Subuh dengan imam, ia dianggap
telah wukuf. Begitu juga orang yang berhenti di siang hari dan bertolak sebelum
tenggelamnya matahari, dan tidak kembali ke Arafah waktu siangnya, maka itu
telah mencukupi sebagai wukufnya, dan hajinya sah menurut semua ulama, kecuali
Imam Malik.
Tentunya masih banyak lagi dalil pendukung, baik dari
al-Quran maupun Hadis, secara implisit maupun eksplisit, yang menunjukkan
keharusan wukuf pada hari Arafah. Memang, penggiliran haji menjadi tiga shift
akan cukup mengurai permasalahan, akan tetapi penafsiran ayat dan Hadis ke arah
itu dirasa terlalu gegabah. Di sisi lain, batas masyaqqot yang menjadi
dasar pun tampaknya perlu ditinjau lagi mengenai tepat-tidaknya.
Hari Arafah dan Haji Akbar
Tahun lalu, Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia
menetapkan bahwa Idul Adha 1435 Hijriyah jatuh pada hari Sabtu, yang artinya
pelaksanaan wukuf di Arafah jatuh pada hari Jum’at. Bersamaan dengan itu,
beredar Hadis yang menyebutkan bahwa jika wukuf jatuh pada hari Jumat maka
peristiwa tersebut merupakan haji akbar dan pahalanya sama dengan tujuh puluh
kali haji. Menanggapi hal itu, Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA, menyatakan
bahwa Hadis tersebut maudhu’ atau palsu.
Berangkat dari pernyataan itu, penulis mencoba
menelusuri redaksi Hadis dimaksud dalam kitab-kitab Hadis dengan kata kunci
‘haji akbar’. Alhasil, memang terdapat beberapa Hadis yang memakai redaksi
‘haji akbar’, akan tetapi tidak satupun yang menyebutkan adanya pelipatgandaan
pahala haji sebanyak tujuh puluh kali karena berbarengnya hari Arafah dan
Jumat, yang kemudian itu disebut ‘haji akbar’. Lantas, apa sebenarnya ‘haji
akbar’ itu?
Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Sebagian
mengatakan haji akbar adalah hari Arafah, sebagaimana perkataan Khalifah Umar
bin al-Khattab Ra. Sementara Imam Malik, Imam al-Syafi’i, dan mayoritas ulama
berpendapat bahwa haji akbar adalah hari Nahr (Idul Adha). Sebagian yang
lain menjelaskan, dinamakan hari haji akbar, untuk membedakannya dari haji Asghar,
yaitu umrah. Dari perbedaan itu, terdapat korelasi bahwa haji akbar adalah
istilah lain untuk penyebutan ibadah haji, dimana beberapa prosesi ibadah
tersebut harus dilaksanakan pada hari Arafah dan Idul Adha. Berbeda dengan
ibadah umroh, yang diistilahkan dengan haji asghar, tidak ada keharusan
pelaksanaannya pada hari Arafah dan Idul Adha.
Dengan demikian, haji yang dilakukan umat Islam setiap
tahunnya dapat disebut sebagai haji akbar, baik wukufnya bertepatan hari Jum’at
ataupun tidak. Adapun keutamaan wukuf di Arafah yang bertepatan hari Jumat hal
itu dikarenakan hari tersebut memang hari utama dalam Islam. Sedangkan Hadis
yang menyebutkan bahwa pelipatgandaan pahala seperti haji tujuh puluh kali
lantaran berbarengnya wukuf dan hari Jum’at adalah Hadis palsu.
Jika merujuk pada ayat al-Quran, terdapat sebuah ayat
yang menyebut istilah haji akbar:
وَأَذَانٌ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ إِلَى النَّاسِ يَوْمَ الْحَجِّ
الْأَكْبَرِ أَنَّ اللَّهَ بَرِيءٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولُهُ
“Dan (inilah) suatu pemakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada
manusia pada hari haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas
diri dari orang-orang musyirikin.” (QS. Al-Taubah: 3)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa haji akbar adalah haji
terakhir Rasulullah Saw atau haji wada’ pada tahun ke-10 hijriyah. Saat
itu hari Arafah bertepatan dengan hari Jumat, tetapi turunnya ayat tersebut
secara substansi adalah tidak diperkenankannya lagi kaum musyrikin untuk
berhaji dan melakukan thawaf sambil telanjang setelah tahun itu. Wallahu
a’lam.
Sumber Bacaan:
Fath al-Bari,
Ibnu Hajar
al-Asqalani
Ensiklopedi
Ijma’, Sahal Mahfudh
dan Ah. Mustafa Bisri
Tafsir
al-Munir, Wahbah
al-Zuhaili
Telaah Kritis
Pemikiran Masdar, Jamal Ma’mur Asmani
dan sumber-sumber lain
* Tulisan ini dimuat di Majalah Nabawi edisi 112/Zulqa'dah-Zulhijjah 1436 H
Tidak ada komentar :
Posting Komentar