Tidak dipungkiri
lagi bahwa menghafal al-Quran adalah hal yang luar biasa. Kita dapat menemukan ribuan atau bahkan jutaan umat islam yang hafal
al-Quran. Padahal, kitab ini tergolong besar dan surat-suratnya panjang. Kitab
yang tersusun dalam 6.666 ayat, 114 surat, dan 30 juz menurut sebagian ulama
ini sangatlah istimewa. Belum ada sebuah kitab – baik kitab samawi maupun yang
bukan kitab samawi – di muka bumi ini yang dihafal oleh umat manusia
sebagaimana mereka menghafal al-Quran.
Lebih mencengangkan lagi, begitu
banyak beragamnya tingkatan usia, suku dan bangsa dari kaum muslimin yang mampu
menghafal al-Quran. Realita yang ada banyak dari anak-anak kecil di bawah usia
sepuluh tahun, bahkan ada yang baru berumur tujuh tahun telah hafal al-Quran 30
juz. Inilah kenyataan yang terjadi. Padahal mereka tidak mengerti apa makna
kalimat-kalimat yang mereka hafal itu.
Kita juga sering melihat orang yang
tidak dikaruniai nikmat penglihatan (buta), tetapi Allah swt karuniakan atasnya
nikmat al-Quran. Meskipun mereka tidak dapat melihat kitab al-Quran, bahkan
bentuk dan hurufnya pun mereka tidak mengetahui, tetapi Allah swt
menganugerahkan nikmat menghafal al-Quran. Barangkali hafalan mereka lebih
melekat dan lebih matang daripada orang-orang yang memiliki penglihatan
sempurna.
Lebih unik lagi, dapat kita jumpai
kaum yang sama sekali tidak bisa berbicara dengan bahasa Arab, tetapi mereka mampu menghafal kitab yang berbahasa Arab ini. Bahkan mereka bisa
membacanya secara tartil sebagaimana ia diturunkan, dengan bacaan yang
bisa jadi lebih baik daripada bacaan orang-orang Arab sendiri, yang notabenenya
berbicara bahasa Arab setiap hari.
Semua ini mengisyaratkan bahwa kemudahan menghafal al-Quran merupakan salah satu bukti kekuasaannya. Allah swt berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan al-Qur'an, dan sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya.” (QS. Al-Hijr: 9)
Sarana penjagaan yang paling agung dan efektif
terhadap klitab yang mulia ini ialah dengan dihafalkannya di
hati sanubari umat muslimin. Sebab, hati merupakan tempat penyimpanan yang
paling aman, terjamin, serta tak bisa dijangkau oleh musuh dan para pendengki.
Allah swt menjamin kemudahan bagi
mereka yang menghafal al-Quran, sebagaimana dalam firman-Nya:
وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِن مُّدَّكِرٍ
“Dan sesungguhnya telah Kami
mudahkan al-Qur'an untuk pelajaran
(dihafal), maka adakah orang yang mengambil pelajaran” (QS. Al-Qamar: 17)
Dari
sini, benar kata salah seorang ustadz, “Menghafal al-Quran itu mudah. Cukup sehari
satu ayat.” Kata ustadz yang lain, “Kita bisa mengajak anak-anak jalan-jalan
keliling komplek sambil menghafal al-Quran. Atau sambil memasak ibu-ibu
menghafal al-Quran.” Ada juga yang berkata demikian, “Cobalah waktu setelah
subuh yang selama ini kita gunakan untuk tidur dimanfaatkan untuk menghafal. Nggak
usah lama-lama. Cukup satu jam saja.”
Di siaran televisi dan event-event yang lain, dewasa ini banyak bertebaran
acara yang intinya mengajak menghafal al-Quran. Ada acara Indonesia Menghafal.
Lalu ada juga One Day One Ayat. Kemudian ada yang hanya membaca al-Quran dengan
tajuk One Day One Juz. Dan acara lain sebagainya.
Dari satu sisi ini
merupakan angin segar bagi dunia menghafal al-Quran. Dimana dulu dunia itu
hanya terdengar di pesantren-pesantren tahfidz dan kurang mendapat perhatian. Sekarang
hal itu telah membumi di Indonesia yang notebenenya berpenduduk muslim terbesar
di dunia. Lebih jauh lagi, jika bulan ramadhan tiba, hampir semua mata umat
islam tertuju pada acara hafiz di televisi yang menampilkan anak-anak
berbakat yang telah hafal al-Quran sejak usia dini. Siapa orang tua yang tidak
berkeinginan buah hatinya seperti mereka penghafal al-Quran?
Menghafal al-Quran memang mudah sebagaimana statemen
beberapa ustadz di atas. Tetapi hemat saya, kemudahan
menghafalkannya tidak semudah perjalanannya. Ini merupakan proyek agung dan tanggung jawab besar. Kebesarannya sepadan
dengan kemuliaan penghafalnya. Ketika baru menghafal satu juz dan baru berjalan
seminggu atau sebulan mungkin semuanya terasa mudah. Tetapi al-Quran tidak
hanya satu juz melainkan 30 juz. Terlebih ketika kita telah sampai pada fase
antara mengingat yang telah dihafal serta menambah tabungan hafalan pada juz
20-an ke atas.
Namun,
tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Menghafal al-Quran merupakan kemuliaan dan penghargaan besar bagi kita.
Penghafal al-Quran adalah pembawa bendera islam. Tidak ada yang lebih mulia
selain ikut menjaga ayat-ayat-Nya. Insya Allah semua itu akan menjadi mudah dan
lancar hingga purna jika dibarengi dengan metode, kunci, adab, serta sarana
prasana yang lain dalam menghafal al-Quran.
Sebelum
memulai kegiatan menghafal al-Quran, seyogyanya penghafal memperhatikan hal-hal
mendasar yang harus dipahami dengan baik. Hal ini dimaksudkan agar apa yang
dilakukannya nanti ketika menghafal berjalan dengan baik dan tidak sia-sia.
Berikut beberapa hal mendasar yang harus dipersiapkan oleh seorang calon penghafal
al-Quran.
1. Mengikhlaskan
Niat
Menata
niat menjadi sangat penting sebelum terjun pada apa yang diniatkan. Menata niat
atau tujuan menghafal al-Quran ternyata susah-susah gampang. Susah, lantaran
tidak mudah menjawab apa sebenarnya dan seharusnya motif kita menghafalnya?
Mudah, karena sangat banyak sekali alasan yang dapat dijadikan motif kita
menghafal al-Quran.
Tapi belum tentu juga. Suatu ketika
saya pernah sowan ke ndalem (rumah) guru kami, KH. Nafi’ Abdillah
Kejen-Pati. Beliau merupakan Kiai khas yang sangat istimewa bagi kami
para santrinya. Ketika itu saya masih dalam masa-masa menghafal al-Quran di pesantren dan bermaksud
meminta motivasi
dan doa dari beliau agar diberi kemudahan.
“Apa tujuanmu menghafal al-Quran?,” tiba-tiba sebuah pertanyaan meluncur dari
ucapan beliau yang membuatku tercengang dan diam seribu bahasa. Aku tak bisa
menjawab apa-apa. Karena, memang ternyata aku tidak tahu sebenarnya atas tujuan
apa menghafal al-Quran? Apa sebenarnya dan seharusnya niat dan tujuan para penghafal
al-Quran? Dan itu baru aku sadari ketika hampir khatam 30 juz menghafal
al-Quran.
“Apakah karena ingin pamer dan
bangga telah hafal al-Quran? Atau agar di kuburan nanti mayatnya utuh dan tidak
membusuk?” tuturnya melanjutkan, membuatku makin merunduk dan serasa diinterogasi. Jleb… Mulutku merapat tanpa suara,
hatiku berdesir, pandanganku kosong, dan takut. Takut jangan-jangan selama ini
aku salah menata niat dan
tujuan menghafal al-Quran.
Pada dasarnya, banyak tujuan yang
bisa kita rujuk untuk mengungkapkan motif kita menghafal al-Quran.
Tujuan-tujuan itu adalah baik selama tidak ada unsur sifat tercela di dalamnya.
Toh, menghafal al-Quran itu perbuatan baik. Untuk itu saya mencoba melakukan survey sederhana kepada
beberapa
penghafal al-Quran. Apa yang menjadi alasan
mereka menghafal al-Quran?
“Awalnya
itu (alasan menghafal al-Quran) terlontar dari lisan Ummi (Ibu) ketika saya
masih duduk di bangku kelas empat MI,” tutur Isna Rahmah Sholihatin, salah
seorang penghafal al-Quran dari Lampung.
Benar.
Kebanyakan mereka yang menghafal al-Quran dari kecil berawal dari dorongan dan
keinginan orang tua. Mereka belum mengerti apa tujuan sebenarnya dari menghafal
al-Quran. Mereka hanya menuruti apa yang diinginkan oleh orang tua mereka.
Tidak lebih. Ini pula yang diungkapkan oleh Nur Atiqah, penghafal dari Kediri,
dan Hikmiyah, penghafal dari Gresik.
“Ketika
saya telah duduk di bangku sekolah menengah, barulah timbul motivasi dari diri
sendiri. Saya berfikir betapa beruntungnya orang yang menghafal al-Quran. Dan
saya ingin itu,” tutur Isna.
Sementara
itu tujuan berbeda disampaikan oleh Azmi Hasyim Ali, penghafal dari Pemalang
yang berhasil menyelesaikan hafalan al-Quran disela-sela aktifitasnya sebagai mahasiswa.
“Ingin lebih dekat dengan Allah, mengharapkan ridho-Nya, dan ingin ikut
berpartisipasi menjaga al-Quran dengan cara membaca serta menghafalnya setiap
hari,” ungkap Azmi.
Jawaban
sederhana tapi syarat makna diutarakan oleh M. Faidur Rahman, penghafal
al-Quran dari Kajen-Pati. Dia menyitir sebuah ayat:
اقْرَأْ كِتابَكَ كَفى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ
حَسِيباً
"Bacalah
kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai penghisap
terhadapmu". (QS. Al-Isra’: 14)
Sekilas memang sederhana apa yang
dilontarkan oleh Faidur Rahman. Hanya karena ada perintah membaca al-Quran,
sebagaimana arti ayat di atas. Tapi kalau ditelusuri lebih lanjut kandungan
ayat tersebut bisa lebih dalam lagi maksudnya.
Faidur Rahman berasal dari keluarga
penghafal al-Quran. Dari delapan saudaranya hanya dua yang belum menyelesaikan
hafalan al-Quran 30 juz. Ketika ditanya apa motivasi orang tua mengkader huffadz
anak-anaknya, ia menjawab, “Itu semua demi kepentingan masa depan kami dan
kepentingan Abah dan Ibu tentunya, lebih-lebih untuk kehidupan akhirat nanti.”
Sebenarnya ada banyak niat atau tujuan yang dapat ditanamkan oleh para
penghafal al-Quran. Seperti berniat memperbanyak bacaan al-Quran, melaksanakan qiyamul lail (shalat Tahajjud) dengan hafalannya, memperoleh kemuliaan sebagai seorang hafiz al-Quran di
sisi Allah, agar
kedua orang tua kita dikenakan mahkota kemuliaan pada hari kiamat kelak, serta
niat dan tujuan lainnya. Sesederhana
apapun niat itu jika tujuannya baik maka tidak ada balasan selain kebaikan
pula.
Dalam
sebuah hadis, Rasulullah saw pernah berpesan:
“Pelajarilah al-Quran dan memohonlah surga kepada Allah
swt sebagai balasannya, sebelum datang suatu kaum yang mempelajari al-Quran
dengan maksud untuk meminta materi duniawi sebagai imbalannya. Sesungguhnya
al-Quran itu dipelajari oleh tiga macam golongan: (1) orang yang berbangga
dengannya; (2) orang yang mencari makan dengannya; dan (3) orang yang
membacanya karena Allah swt.” (HR.
Hakim)
2. Meneguhkan
Tekad
Menghafal al-Quran adalah tugas yang agung dan besar.
Tekad yang kuat dan bulan menjadi syarat utama bagi mereka yang ingin
meraihnya. Tidak ada yang sanggup melakukannya selain ulul azmi, yakni
orang-orang yang bertekad kuat dibarengi dengan keinginan yang bulat. Orang-orang
yang sangat antusias dan berobsesi merealisasikan apa saja yang telah ia
niatkan dan menyegerakannya sekuat tenaga.
Tekad ini menjadi lanjutan dari niat yang tulus
sebagaimana telah dipaparkan di atas. Niat yang tulus tanpa adanya tindak
lanjut berupa tekad yang sungguh hasilnya akan nihil. Sebab, tekad inilah nanti
yang akan menggerakkan seluruh daya upaya, jiwa dan raga dalam memperoleh
cita-cita yang diinginkan.
Sebenarnya, setiap muslim memiliki keinginan untuk
menghafal al-Quran. Namun, berapa banyak dari mereka yang kemudian benar-benar
membulatkan tekad untuk mewujudkannya? Di sinilah peran tekad yang menuntut
kesungguhan (mujahadah). Tidak cukup hanya berhenti pada sebatas
keinginan. Dibutuhkan kemauan dan kehendak yang kuat untuk melakukan tugas suci
ini.
Yang paling penting dari tekad ini ialah kesinambungan
dari memulai menghafal hingga purna. Jangan biarkan hawa nafsu menggembosi
tekad kuat ini di tengah proses, sehingga cita-cita suci ini menjadi stagnan
atau bahkan berhenti di tengah jalan. Maka yang harus dilakukan ialah
memupuknya setiap waktu.
Tekad ini dapat direalisasikan misalnya dengan
menyempatkan diri untuk menghafalkan al-Quran. Tiada hari berlalu, melainkan ia
akan menyempatkan diri untuk menghafal dan mematangkan hafalan sebelumnya.
Dengan tekad kuat seperti inilah seseorang benar-benar akan menjadi penghafal
al-Quran dengan baik.
Orang yang mengharap kepada Allah swt supaya ia hafal
al-Quran, tetapi tanpa dibarengi tekad yang kuat dengan melakukan tindakan
nyata hanyalah orang yang lemah dan berandai-andai. Karena itu, begitu anda
selesai membaca buku ini, segeralah untuk menghafal.
Jangan menunda-nunda pekerjaan hari ini hingga hari esok.
Jangan sekali-kali anda berkata, “Nanti, besok.” Sebab, banyak kesempatan amal
saleh yang hilang sia-sia karena seseorang mengatakan, “Saya akan
mengerjakannya besok atau besoknya lagi, atau setelah saya selesai melakukan
ini dan itu.”
Mulailah sekarang juga! Ajak seluruh anggota keluarga
untuk menghafal al-Quran. Serta jadilah diri anda orang yang memiliki tekad
yang kuat dan bulat.
3. Menguasai Ilmu Tajwid
Tajwid merupakan komponen terpenting dalam membaca
al-Quran. Dalam salah satu ayat Allah swt menyeru agar kita membaca al-Quran
secara tartil.
وَرَتِّلِ الْقُرْءَانَ تَرْتِيلاً
“Dan bacalah al-Qur'an itu dengan perlahan-lahan.” (QS.
Al-Muzammil: 4)
Tartil bisa diartikan dengan tajwid, yaitu membaguskan
bacaan dengan memberikan hak-hak bagi setiap huruf baik dari segi makhraj
(tempat keluar)nya maupun sifatnya. Hukum men-tajwid-kan bacaan al-Quran
adalah wajib. Dalam sebuah syair Imam al-Jazari berkata:
وَالأَخْذُ بِالتَّجْوِيدِ حَتْمٌ لاَزِمُ # مَنْ
لَمْ يُجَوِّدِ الْقُرَآنَ آثِمُ
Menggunakan
tajwid hukumnya wajib
Siapa
yang tidak mentajwidkan (bacaan) al-Qurannya dia berdosa
Ilmu tajwid tidak hanya diperuntukkan bagi mereka yang
menghafal al-Quran saja melainkan semua orang yang ingin membaca al-Quran.
Allah swt menghendaki agar kita membaca al-Quran sebagaimana yang diajarkan
Nabi Muhammad saw. Beliau juga mengajarkannya kepada para sahabat sebagaimana
apa yang beliau dengar dari malaikat Jibril as. Ilmu yang sangat agung ini
senantiasa diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya hingga
sekarang.
Ilmu
tajwid seyogyanya diajarkan kepada anak-anak kita sejak usia dini. Sebab,
sangat sulit memperbaiki bacaan yang terlanjur dihafal, apalagi jika hafalannya
telah kuat dan matang. Sekiranya bacaan mereka salah, hafalannya akan terus
berlanjut dalam kesalahan. Maka alangkah baiknya jika anak kita telah menguasai
ilmu tajwid dan membenarkan bacaannya sebelum memulai menghafal al-Quran.
Kalaupun tidak bisa, setidaknya mereka menghafal al-Quran sembari membetulkan
bacaan tajwid.
Menguasai
ilmu tajwid akan membantu dan mempermudah dalam menghafal al-Quran. Karena,
tajwid sendiri memiliki keunikan dan menjadi penghias bacaan yang akan
menjadikannya mudah di terima oleh otak dan hati. Sehingga hafalan tersebut
menjadi mudah dan terpatri kuat dalam ingatan. Hal ini sesuai dengan teori
memori yang disepakati dalam dunia psikologi kognitif, bahwa memori akan
bertahan kuat dalam pikiran manusia, jika didalamnya terdapat faktor-faktor yang menarik, berkesan, unik, dan
tidak monoton.
Orang
yang menghafal al-Quran dengan ilmu tajwid yang baik dan benar dijanjikan akan
memperoleh pahala yang besar dari Allah swt. Rasulullah saw bersabda:
“Orang
yang mahir (membaca) al-Quran akan dikumpulkan bersama para utusan yang mulia
dan agung. Dan orang yang membaca al-Quran dengan tersendat-sendat, dan ia
merasa kesulitan (dalam membacanya) akan memperoleh dua pahala.” (HR.
Bukhari-Muslim)
Imam al-Nawawi mengatakan, “Maksud
dari mahir (membaca) al-Quran adalah orang yang benar-benar fasih dan
hafalannya sempurna. Para utusan adalah utusan-utusan Allah swt, baik berupa
malaikat maupun manusia, dan keduanya sangat mulia.”
Yang perlu menjadi catatan penting
di sini, bahwa mempelajari kaidah-kaidah tajwid harus melalui talaqqi (berguru
secara langsung) dari seorang yang benar-benar menguasai ilmu tajwid secara
baik dan benar. Tidak dibenarkan mempelajarinya hanya dengan menggunakan
buku-buku dan kaset. Yang pertama kali harus dilakukan adalah belajar dan
mendengarkannya dari seorang guru. Selanjutnya, ia bisa memanfaatkan buku-buku
dan kaset sebagai sarana pendukung.
4. Memilih Waktu dan Tempat
yang Tepat
Disadari atau tidak, pemilihan waktu yang tepat untuk
menghafal al-Quran juga turut membantu dan mempermudah dalam proses
penghafalan. Jangan memaksakan diri menghafal dalam suasana yang tidak nyaman.
Apalagi dalam keadaan sempit, tidak konsentrasi, tertekan, jenuh, dan
sebagainya. Hendaklah memilih waktu yang kondusif dan pastikan jiwa serta raga
dalam keadaan yang mendukung pula.
Ada banyak waktu yang ideal bagi penghafal al-Quran,
dimana dia dapat memaksimalkan waktu tersebut untuk menghafal. Di antara waktu
tersebut, sebagaimana disebutkan oleh Dr. Yahya al-Ghautsani, adalah waktu Sahur
dan setelah salat Subuh. Hal ini didasarkan pada pengalaman beliau sendiri
dalam menghafal al-Quran serta nasihat para ulama, seperti al-Khatib al-Baghdadi
dan lain-lain.
Pada dasarnya, pemilihan waktu dalam menghafal al-Quran
sifatnya kondisional. Kita bisa memilih waktu pagi, siang, malam, sebelum atau
sesuadah tidur. Yang terpenting adalah kondusifitas waktu tersebut. Sedangkan
kondusifitas tersebut sangat dipengaruhi oleh kegiatan masing-masing orang.
Terlebih bagi penghafal yang juga memiliki tanggung jawab aktifitas lain. Maka
harus pintar memilih-milah waktu yang terbaik baginya. Terutama waktu setelah shalat
lima waktu menjadi waktu yang tepat. Tapi kembali lagi bahwa waktu sebelum dan
setelah Subuh menjadi sangat favorit. Saya jadi teringat ucapan ayah.
“Setelah semalaman jiwa dan raga tertidur dan istirahat,
maka alangkah baiknya jika yang pertama kali diucapkan setelah tidur adalah
ayat-ayat Allah. Dengan membaca al-Quran pikiran kalian akan cerah dan
mendapatkan sinar al-Quran. Ketika sinar tersebut telah merasuk ke dalam hati
dan pikiran kalian maka aktifitas yang akan dijalani pada hari itu pun menjadi
positif.”
Yang juga turut membantu dalam proses penghafalan
al-Quran adalah pemilihan tempat. Pastikan tempat yang kita pilih adalah tempat
yang hening, jauh dari kebisingan, serta terhindar dari pemandangan-pemandangan
yang mengganggu konsentrasi. Memang ada juga orang yang justru merasa enjoy di
tempat yang sedikit ramai. Ia merasa tempat yang seperti itu membantunya dalam
menghafal.
Tentu saja tempat yang paling ideal untuk menghafal
adalah masjid atau musholla. Sebab, di tempat inilah mata, telinga, dan hati
kita bisa lebih terjaga. Masjid adalah rumah Allah yang mulia, sehingga ideal
untuk dijadikan tempat membaca dan menghafal kitab-Nya.
Tempat yang juga dapat memotivasi penghafal adalah halaqah-halaqah
tahfiz. Dalam hal ini pesantren tahfiz menjadi bagian dari itu. Dengan
berkumpul bersama para penghafal yang lain kita akan terpacu dan terpicu
semangat kita untuk berlomba-lomba dalam menghafal al-Quran. Meskipun pada
praktik menghafalnya mungkin kita menyendiri. Tapi dengan banyaknya teman para
penghafal kita dapat saling sharing, bertukar pendapat dan solusi dalam
proses penghafalan.
5. Gunakan Satu Jenis Mushaf
Mushaf yang beredar di sekeliling kita tergolong sangat
banyak. Meskipun ada mushaf yang resmi diterbitkan oleh kementerian agama,
namun masih banyak terdapat mushaf yang diterbitkan oleh penerbit lain dan
tersebar di berbagai daerah. Belum lagi khath dan ukuran yang
bervariasi, sekalipun sama-sama dengan standar rasm utsmani.
Ada mushaf yang setiap halamannya berjumlah lima belas
baris dan ada pula yang delapan belas baris. Konsekuensinya, permulaan dan
akhir ayat di masing-masing halaman pun akan berbeda, berikut letak
surat-suratnya. Karena itulah, perlu memilih satu jenis mushaf untuk dijadikan
pegangan menghafal agar tidak kesulitan dan kebingungan.
Dari sekian jenis varian, mushaf yang direkomendasikan
untuk dijadikan sebagai mushaf hafalan adalah mushaf pojok. Yaitu mushaf yang
di setiap halamannya berakhir penulisan ayat. Artinya tidak ada ayat yang
bersambung ke halaman berikutnya. Sedangkan mushaf paling ideal untuk dijadikan
mushaf hafalan ini adalah mushaf yang setiap halamannya berisi lima belas
baris, dan setiap juznya berisi dua puluh halaman, kecuali juz pertama (21
halaman) dan juz terakhir (23 halaman). Total halaman mushaf ini adalah 604
halaman.
Silakan memilih jenis terbitan mushaf mana saja yang anda
suka. Yang penting kriterianya sesuai dengan apa yang telah disebutkan di atas.
Dulu, saya sering memakai mushaf terbitan Menara Kudus. Selain memang
dianjurkan di pesantren-pesantren tahfiz Kudus, juga karena saya telah terbiasa
dengan mushaf tersebut. Tapi, itu semua kembali kepada pribadi masing-masing.
Kemudian, silakan juga memiliki banyak ukuran mushaf.
Namun harus satu standar, yaitu mushaf pojok dengan format layout yang
sama. Ukuran boleh beda, namun khath dan layout-nya harus tetap
sama. Jangan lupa juga meletakkan banyak mushaf di banyak tempat. Di mobil, di
ruang kerja, di sekolah, dan tempat-tempat lainnya. Belakangan, banyak model handphone
yang bisa diisi aplikasi al-Quran digital. Tentu ini akan lebih mempermudah
kita dalam menghafal. Cukup buka aplikasi tersebut maka anda dapat menghafal di
mana saja berada. Tapi hemat saya mushaf dalam bentuk cetakan lebih praktis dan
mempermudah.
6. Berdoa
Manusia adalah makhluk yang lemah. Tidak ada daya dan
kekuatan baginya kecuali karena bantuan dan pertolongan dari Allah swt.
Karenanya, hendaklah para penghafal al-Quran senantiasa berdoa kepada-Nya agar
diberi kemudahan dalam menjalani tugas yang mulia ini. Memohon kepada-Nya agar
menjadikan amalan dan kegiatan ini ikhlas semata-mata karena mencari ridha-Nya.
Allah swt menyatakan bahwa Dia dekat kepada
hamba-hamba-Nya yang meminta. Dia akan mengabulkan doa-doa hamba-Nya yang mau
meminta. Maka berusahalah menjadi sebenar-benarnya hamba yang senantiasa
menjalankan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya.
Untuk itu, pandai-pandailah mengejar waktu-waktu yang
tepat dalam berdoa, dimana Allah swt menjanjikan dikabulkannya doa pada waktu
tersebut. Di antaranya adalah pada waktu akhir malam (waktu sahur), usai
menjalankan shalat fardhu, waktu antara adzan dan iqamah, sepuluh malam
terakhir bulan ramadan, dan lain sebagainya.
Ketika kecil, ayah sering mengajari kami sebuah doa yang
biasa kami baca setelah membaca atau menghafal al-Quran:
اَللَّهُمَّ ارْحَمْنَا بِالْقُرْأَنِ
وَاجْعَلْهُ لَنَا إِمَامًا وَنُوْرًا وَهُدًى وَرَحْمَةً اَللَّهُمَّ ذَكِّرْنَا
مِنْهُ مَا نُسِيْنَا وَعَلِّمْنَا مِنْهُ مَا جَهِلْنَا وَارْزُقْنَا تِلَاوَتَهُ أَنَاءَ اللَّيْلِ وَأَطْرَافَ النَّهَارِ
وَاجْعَلْهُ لَنَا حُجَّةً يَا رَبَّ الْعَالَمِيْنَ
“Ya Allah,
rahmatilah kami dengan al-Quran. Jadikanlah dia imam, cahaya, petunjuk, dan
rahmat bagi kami. Ya Allah, ingatkanlah apa-apa yang kami lupa dari al-Quran
dan ajarkanlah apa-apa yang tidak kami ketahui darinya, dan rizkikanlah kami
untuk membacanya di tengah malah dan penghujung siang, dan jadikanlah ia
sebagai pedoman bagi kami wahai Tuhan semesta alam.”
Tidak ada komentar :
Posting Komentar