Nabi Ibrahim AS terkejut
mendapati mimpinya yang aneh. Mimpi yang tak seperti mimpi pada lazimnya.
Betapa tidak. Sekian lama dia mendambakan buah hati yang ia sematkan di setiap
munajatnya kepada Allah, “Ya
Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang
saleh.” (QS. Al-Shaffat:
100). Kini, kala pita takdir tergores dalam ujud Ismail yang saleh, tiba-tiba
Allah mendatanginya dalam mimpi untuk memintanya kembali. Anehnya lagi, Allah
menghendaki agar Nabi Ibrahim AS menyembelih putra kesayangannya tersebut.
Nabi Ibrahim segera
memohon ampun dan perlindungan, terlebih dari mimpi yang sedikit banyak
mengguncang hati. Keesokan harinya ia merenungi apa yang ia mimpikan semalam.
Mimpi yang sekali lagi tidak masuk akal baginya. Benarkah mimpi itu dari Allah?
Ataukah bisikan syetan yang melumur dalam mimpi manusia. Ia makin tenggelam
dalam renungan, pikiran (tarwiyah) akan mimpi tersebut yang bertepatan 8
Zulhijjah.
Sekali lagi mimpi itu
mendatangi Nabi Ibrahim AS pada malam ke-9 Zulhijjah. Mimpi yang sama, yang
bahkan lebih gamblang dari sebelumnya. Mimpi yang seolah-olah nyata dan harus
dinyatakan. Mimpi yang teramat berat baginya, yang tak terbayangkan oleh orang
tua manapun di dunia. Mimpi yang benar-benar dari Allah sebagai wahyu yang
harus ditunaikan. Maka ia semakin meneguhkan dirinya bahwa mimpi itu
benar-benar bersumber dari-Nya. Ia mengetahui (Arafah) bahwa ia harus menepati perintah-Nya
sekalipun berat kaki melangkah.
“Jika malam ini mimpi
itu berkunjung kembali, maka cukuplah bagiku untuk menuntaskan perniagaanku
dengan-Nya. Akan aku sembelih ananda Ismail dengan tanganku sendiri,” seru
Ibrahim memantapkan tekad.
Dan benar. Sekali lagi
mimpi itu menghampiri Nabi Ibrahim di sela-sela tidur malam. Ia membulatkan
tekad untuk menunaikan nazar sesembelihannya esok hari. Maka hari itu menjadi
yaumun nahr yang amat krusial baginya.
Sejalan dengan itu,
sebelum menunaikan perintah tersebut, terlebih dahulu Nabi Ibrahim menemui
Hajar, istrinya, yang merupakan ibu dari Ismail. Ia memandanginya dengan
seksama. Merasa iba pada sang istri, yang karenanya ia tak kuasa mengutarakan
maksud hati. Nabi Ibrahim menarik nafas pelan, tersenyum dengan mata yang
sedikit berkaca. Dengan bahasa yang halus berliput rasa, ia bermaksud meminta
izin kepada istrinya.
“Dandanilah putramu,
wahai istriku, dengan pakaian yang paling indah. Sebab aku akan mengajaknya
bertamu kepada Allah.”
Hajar yang saat itu
belum mengerti maksud sebenarnya dari perkataan suaminya pun segera mendandani
Ismail dengan pakaian paling bagus serta meminyaki dan menyisir rambutnya.
Kemudian sang ayah membawanya berangkat menuju suatu lembah di daerah Mina.
Tidak lupa ia menyuruh Ismail agar membawa tali dan sebilah pedang tajam.
Ismail tidak mengetahui bahwa peralatan tersebut sedianya akan digunakan untuk
menyembelih dirinya. Ibrahim tak kuasa menatap wajah Ismail, membayangkan jika
ia mengetahui hal itu. Tentu ia akan sangat sedih. Ia disembelih oleh ayahnya
sendiri. Ayah kandungnya.
Ketika itu Iblis
terkutuk menjadi sangat luar biasa sibuknya. Ia mondar-mandir ke sana ke mari
memikirkan bagaimana supaya nabi Ibrahim menangguhkan perniagaannya. Seharusnya
ia bergembira karena ada seorang ayah yang akan membunuh anak kandungnya, yang
itu merupakan perbuatan dosa. Berhubung itu perintah Allah maka tidak ada dosa
dan justru wajib dilaksanakan. Karenanya, Iblis tidak ingin Ibrahim menaati
perintah tersebut. Ia mencari-cari cara untuk itu.
“Hai Ibrahim! Ketahuilah
bahwa yang datang dalam mimpimu adalah syetan. Tidakkah kau perhatikan anakmu
yang demikian tampan nan lucu itu? Sungguh tega nian jika engkau tunaikan
niatmu. Bagaimana mungkin kamu tega membunuh anakmu sendiri?” bujuk Iblis yang
menjelma dalam perawakan seorang kakek nan bijak.
“Benar, namun itulah
perintah Allah. Dia memerintahkanku untuk menyembelihnya,” jawab Ibrahim AS.
Ia pun berdoa kepada
Allah agar diberi petunjuk dan perlindungan. Akhirnya Ibrahim mengambil tujuh
batu kerikil dan melemparkan Jamroh (kerikil) tersebut ke arah
Iblis.
“Sial,” gerutu Iblis.
Ternyata bujuk rayunya tidak sedikit pun menggoyahkan tekad bulat sang Nabi.
Sekali lagi ia harus memutar pikirannya. Memeras ide serta menimbangnya.
Semangat untuk meruntuhkan keimanan para kekasih Allah tidak pernah surut dari
dirinya. Kalaupun Nabi Ibrahim gagal dirayu tentunya masih ada jalan lain.
Masih ada Ismail, orang yang menjadi tokoh sentral dalam prosesi penyembelihan
ini. Lantas Iblis mundur beberapa langkah ke belakang menghampiri Ismail.
“Hai Ismail, mengapa kau
hanya bermain-main dan bersenang-senang? Sementara ayahmu mengajakmu ke tempat
ini hanya untuk menyembelihmu. Lihatlah apa yang berada di tanganmu. Tidak
tahukah engkau bahwa seutas tali dan sebilah pedang tersebut akan digunakan
untuk menyembelihmu?”
“Jangan berdusta! Apa
alasan ayah menyembelih diriku?”.
“Ayahmu menyangka bahwa
Allah memerintahkannya untuk itu.”
“Demi perintah Allah!
Aku siap mendengar, patuh, dan melaksanakan dengan sepenuh jiwa ragaku,” jawab
Ismail dengan mantap.
Tipu rayu Iblis dimentahkan
oleh Ismail, seorang anak yang baru menginjak remaja. Sebagai seorang anak yang
saleh, Ismail tahu betul bahwa dia harus siap untuk selalu menaati
perintah-Nya, sekalipun nyawa taruhannya. Siap berkurban untuk-Nya semata-mata
karena mencari ridho-Nya.
Kedua kalinya Iblis
gagal menggelincirkan para kekasih Allah dalam lembah dosa. Ia tak jua hengkang
dari samping Ismail. Hampir-hampir bujuk rayu meluncur lagi dari mulut laknat
Iblis, hingga Ismail memungut beberapa kerikil dan melempar Jamroh (kerikil) tersebut ke arahnya.
Namun bukan Iblis
namanya jika menyerah dan menyurutkan langkah. Upaya menggagalkan penyembelihan
Ismail sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah harus tetap berlanjut. Kali
ini perhatiannya tertuju kepada Hajar, ibunda Ismail. Segera Iblis menghampiri
sasarannya.
“Mengapa pula engkau
hanya duduk tenang saja, wahai Hajar. Sementara suamimu membawa putra
terkasihmu untuk ia sembelih.”
“Jangan engkau berdusta
kepadaku. Tidakkah kau pikir, bagaimana mungkin seorang ayah membunuh anaknya?
Ibrahim sangat menyayangi anakku, Ismail,” jawab Hajar.
“Justru engkau yang
harus berpikir sekali lagi. Tidakkah kau lihat apa yang dibawa suamimu dan
anakmu?! Mengapa ia membawa tali dan sebilah pedang kalau bukan untuk
menyembelih putranya?” jawab Iblis.
“Untuk apa seorang ayah
membunuh anaknya?”
“Itu dia. Suamimu
menyangka bahwa Allah memerintahkannya untuk menyembelih Ismail.”
“Ketahuilah! Seorang
Nabi tidak akan pernah ditugasi untuk berbuat kebatilan. Seandainya itu benar,
jangankan putraku, saya sendiri siap dikorbankan demi sebuah tugas mulia dari
Allah,” jawab Hajar penuh yakin.
Lalu Hajar mengambil
tujuh Jamroh (kerikil) dan melemparkannya ke arah
Iblis. Tidak henti-hentinya Iblis melontarkan sumpah serapah. Rayuan dan
godanya berujung kegagalan untuk ketiga kalinya. Segala upaya Iblis gagal total
hari itu.
Sesampainya di Mina,
Nabi Ibrahim AS memutuskan untuk berterus terang kepada puteranya. Meskipun
berat tetapi harus diungkapkan. Meskipun tidak lazim jika itu merupakan
perintah Allah maka wajib ditunaikan. Untuk itu ia perlu mengutarakannya terlebih
dahulu. Ia ingin berbicara dari hati ke hati perihal itu, agar ada keridaan di
antara keduanya.
“Wahai ananda!
Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah
apa pendapatmu? (QS. Al-Shaffat: 102),” ujar Nabi Ibrahim kepada Ismail.
“Wahai ayahanda!
Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah, kamu akan mendapatiku
sebagai orang-orang yang sabar (QS. Al-Shaffat: 102),” jawab Ismail yakin.
Ibrahim tidak menduga
Ismail memberikan jawaban yang demikian bijak nan penuh taat. Sebuah jawaban
yang mengejutkan. Sebuah ketaatan dan kepasrahan dari seorang hamba semata-mata
karena-Nya. Jawaban Ismail ini menjadikan hati sang ayah lega seraya bertahmid
(mengucapkan Alhamdulillah) kepada Allah sebanyak-banyaknya. Kini tidak ada
lagi yang memberatkan hatinya untuk melaksanakan wahyu Tuhannya. Tetapi,
sebelum sang ayah benar-benar menuntaskan perniagaannya, terlebih dahulu Ismail
menyampaikan pesannya. Pesan terakhir yang niscaya kita semua akan menitikkan
air mata karenanya.
“Wahai ayahanda! Ikatlah
tanganku supaya tidak bergerak dan merepotkan proses penyembelihan.
Telungkupkanlah wajahku agar tidak terlihat oleh ayah, yang sehingga dengan itu
tidak akan memunculkan rasa iba ayah. Singsingkanlah lengan baju ayah agar
tidak sedikitpun terkena percikan darah sehingga itu bisa mengurangi pahalaku.
Saya khawatir jika ibu melihatnya tentu akan berduka.”
Nabi Ibrahim hanya diam
mematung menyimak pesan-pesan Ismail. Hatinya bergemuruh meresapi kata demi
kata anaknya. Tanpa disadari buliran-buliran kecil menjuntal dari pelupuk mata.
Ia menatap lekat-lekat wajah sang buah hati. Jantungnya berdesir kencang. Darah
mengalir demikian deras. Ia tersenyum bersimbah tangis. Menangis karena Allah
demikian sayang kepadanya, sehingga mengujinya dengan meminta kembali orang
tersayangnya.
“Tajamkanlah pedang ayah
dan goreskan segera dileherku ini, agar ananda lebih mudah dan cepat menemui
ajal. Bawalah pulang bajuku dan berikan kepada ibunda agar menjadi kenangan
baginya. Serta sampaikan pula salamku kepadanya seraya berkata, ‘Wahai ibu!
Bersabarlah dalam melaksanakan perintah Allah’. Terakhir, janganlah ayah
mengajak anak-anak lain ke rumah, sehingga itu akan semakin menambah
belasungkawa ibu padaku. Dan ketika ayah melihat anak lain yang sebaya
denganku, janganlah dipandang seksama sehingga menimbulkan rasa sedih di hati
ayah.”
“Sungguh, sebaik-baik
kawan dalam melaksanakan perintah Allah SWT adalah engkau, wahai putraku
tercinta!,” pungkas Nabi Ibrahim.
Tatkala keduanya telah
berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah
kesabaran keduanya) (QS. Al-Shaffat: 103).
Nabi Ibrahim kemudian mengecup kening Ismail, mengikat tangan dan kakinya
diiringi tangis yang mengharu biru. Nabi Ibrahim menyebut asma-Nya dan
bertakbir. Maka pedang pun segera digoreskan ke leher. Hatinya bergetar hebat
dan perasaannya bergemuruh tak karuan. Sementara semesta tak henti-hentinya
bertasbih. Namun entah apa yang terjadi.
Ismail berkata,
“Ayahanda, lepaskan tali pengikat tangan dan kakiku ini agar aku tidak dinilai
terpaksa dalam menjalankan perintah-Nya. Goreskan lagi ke leherku agar para
malaikat megetahui bahwa diriku taat kepada Allah swt dalam menjalankan
perintah semata-mata karena-Nya.”
Ikatan dilepas dan
pedang kembali digorekan. Tidak mampu. Pedang terpental. Pedang dihujamkan ke
arah sebuah batu dan terbelah.
“Hai pedang! Kau dapat
membelah batu, tapi mengapa kau tak mampu menembus daging?”
Atas izin Allah swt,
pedang menjawab, “Wahai Nabiyyullah Ibrahim! Engkau menghendakiku untuk
menyembelih, sementara Allah penguasa semesta alam berfirman, ‘jangan
disembelih’. Hamba tidak dapat menentang perintah-Nya”.
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya ini benar-benar suatu
ujian yang nyata (bagimu). Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan
yang besar.” (QS. Al-Shaffat:
106). Sebuah domba kibas yang konon dulu pernah dikurbankan oleh Habil, putra
Nabiyyullah Adam as.
Ketika itu malaikat
Jibril telah datang membawakan domba tersebut dari surga. Ia masih sempat
melihat Nabi Ibrahim AS menggoreskan pedangnya ke leher putranya. Malaikat
Jibril lalu berseru mengagungkan Allah SWT dan merasa takjub (kagum)
menyaksikan apa yang dilakukan Nabi Ibrahim as seraya berucap, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu
Akbar.”
Nabi Ibrahim AS membalas
ucapan Jibril, “La ilaaha
illallaahu Wallahu Akbar.”
Dan Ismail menimpalinya, “Allahu akbar wa lillahil hamd.”
Maka semesta pun
bertakbir dan bertasbih, bersama syiar Islam yang berkumandang di setiap
tanggal 10 Zulhijjah tiba. “Kami
abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang
datang kemudian” (QS.
Al-Shaffat: 108). Wallahu
A’lam. ***
Tidak ada komentar :
Posting Komentar