Selamat Datang di Dunia olient_online

Selamat Datang di Dunia Mini olient_online

Minggu, 05 Oktober 2014

Balada Mimpi Sang Nabi


Nabi Ibrahim AS terkejut mendapati mimpinya yang aneh. Mimpi yang tak seperti mimpi pada lazimnya. Betapa tidak. Sekian lama dia mendambakan buah hati yang ia sematkan di setiap munajatnya kepada Allah, “Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh.” (QS. Al-Shaffat: 100). Kini, kala pita takdir tergores dalam ujud Ismail yang saleh, tiba-tiba Allah mendatanginya dalam mimpi untuk memintanya kembali. Anehnya lagi, Allah menghendaki agar Nabi Ibrahim AS menyembelih putra kesayangannya tersebut.
Nabi Ibrahim segera memohon ampun dan perlindungan, terlebih dari mimpi yang sedikit banyak mengguncang hati. Keesokan harinya ia merenungi apa yang ia mimpikan semalam. Mimpi yang sekali lagi tidak masuk akal baginya. Benarkah mimpi itu dari Allah? Ataukah bisikan syetan yang melumur dalam mimpi manusia. Ia makin tenggelam dalam renungan, pikiran (tarwiyah) akan mimpi tersebut yang bertepatan 8 Zulhijjah.
Sekali lagi mimpi itu mendatangi Nabi Ibrahim AS pada malam ke-9 Zulhijjah. Mimpi yang sama, yang bahkan lebih gamblang dari sebelumnya. Mimpi yang seolah-olah nyata dan harus dinyatakan. Mimpi yang teramat berat baginya, yang tak terbayangkan oleh orang tua manapun di dunia. Mimpi yang benar-benar dari Allah sebagai wahyu yang harus ditunaikan. Maka ia semakin meneguhkan dirinya bahwa mimpi itu benar-benar bersumber dari-Nya. Ia mengetahui (Arafah) bahwa ia harus menepati perintah-Nya sekalipun berat kaki melangkah.
“Jika malam ini mimpi itu berkunjung kembali, maka cukuplah bagiku untuk menuntaskan perniagaanku dengan-Nya. Akan aku sembelih ananda Ismail dengan tanganku sendiri,” seru Ibrahim memantapkan tekad.
Dan benar. Sekali lagi mimpi itu menghampiri Nabi Ibrahim di sela-sela tidur malam. Ia membulatkan tekad untuk menunaikan nazar sesembelihannya esok hari. Maka hari itu menjadi yaumun nahr yang amat krusial baginya.
Sejalan dengan itu, sebelum menunaikan perintah tersebut, terlebih dahulu Nabi Ibrahim menemui Hajar, istrinya, yang merupakan ibu dari Ismail. Ia memandanginya dengan seksama. Merasa iba pada sang istri, yang karenanya ia tak kuasa mengutarakan maksud hati. Nabi Ibrahim menarik nafas pelan, tersenyum dengan mata yang sedikit berkaca. Dengan bahasa yang halus berliput rasa, ia bermaksud meminta izin kepada istrinya.
“Dandanilah putramu, wahai istriku, dengan pakaian yang paling indah. Sebab aku akan mengajaknya bertamu kepada Allah.” 
Hajar yang saat itu belum mengerti maksud sebenarnya dari perkataan suaminya pun segera mendandani Ismail dengan pakaian paling bagus serta meminyaki dan menyisir rambutnya. Kemudian sang ayah membawanya berangkat menuju suatu lembah di daerah Mina. Tidak lupa ia menyuruh Ismail agar membawa tali dan sebilah pedang tajam. Ismail tidak mengetahui bahwa peralatan tersebut sedianya akan digunakan untuk menyembelih dirinya. Ibrahim tak kuasa menatap wajah Ismail, membayangkan jika ia mengetahui hal itu. Tentu ia akan sangat sedih. Ia disembelih oleh ayahnya sendiri. Ayah kandungnya.
Ketika itu Iblis terkutuk menjadi sangat luar biasa sibuknya. Ia mondar-mandir ke sana ke mari memikirkan bagaimana supaya nabi Ibrahim menangguhkan perniagaannya. Seharusnya ia bergembira karena ada seorang ayah yang akan membunuh anak kandungnya, yang itu merupakan perbuatan dosa. Berhubung itu perintah Allah maka tidak ada dosa dan justru wajib dilaksanakan. Karenanya, Iblis tidak ingin Ibrahim menaati perintah tersebut. Ia mencari-cari cara untuk itu.
“Hai Ibrahim! Ketahuilah bahwa yang datang dalam mimpimu adalah syetan. Tidakkah kau perhatikan anakmu yang demikian tampan nan lucu itu? Sungguh tega nian jika engkau tunaikan niatmu. Bagaimana mungkin kamu tega membunuh anakmu sendiri?” bujuk Iblis yang menjelma dalam perawakan seorang kakek nan bijak.
“Benar, namun itulah perintah Allah. Dia memerintahkanku untuk menyembelihnya,” jawab Ibrahim AS.
Ia pun berdoa kepada Allah agar diberi petunjuk dan perlindungan. Akhirnya Ibrahim mengambil tujuh batu kerikil dan melemparkan Jamroh (kerikil) tersebut ke arah Iblis. 
“Sial,” gerutu Iblis. Ternyata bujuk rayunya tidak sedikit pun menggoyahkan tekad bulat sang Nabi. Sekali lagi ia harus memutar pikirannya. Memeras ide serta menimbangnya. Semangat untuk meruntuhkan keimanan para kekasih Allah tidak pernah surut dari dirinya. Kalaupun Nabi Ibrahim gagal dirayu tentunya masih ada jalan lain. Masih ada Ismail, orang yang menjadi tokoh sentral dalam prosesi penyembelihan ini. Lantas Iblis mundur beberapa langkah ke belakang menghampiri Ismail.
“Hai Ismail, mengapa kau hanya bermain-main dan bersenang-senang? Sementara ayahmu mengajakmu ke tempat ini hanya untuk menyembelihmu. Lihatlah apa yang berada di tanganmu. Tidak tahukah engkau bahwa seutas tali dan sebilah pedang tersebut akan digunakan untuk menyembelihmu?”
“Jangan berdusta! Apa alasan ayah menyembelih diriku?”. 
“Ayahmu menyangka bahwa Allah memerintahkannya untuk itu.”
“Demi perintah Allah! Aku siap mendengar, patuh, dan melaksanakan dengan sepenuh jiwa ragaku,” jawab Ismail dengan mantap.
Tipu rayu Iblis dimentahkan oleh Ismail, seorang anak yang baru menginjak remaja. Sebagai seorang anak yang saleh, Ismail tahu betul bahwa dia harus siap untuk selalu menaati perintah-Nya, sekalipun nyawa taruhannya. Siap berkurban untuk-Nya semata-mata karena mencari ridho-Nya.
Kedua kalinya Iblis gagal menggelincirkan para kekasih Allah dalam lembah dosa. Ia tak jua hengkang dari samping Ismail. Hampir-hampir bujuk rayu meluncur lagi dari mulut laknat Iblis, hingga Ismail memungut beberapa kerikil dan melempar Jamroh (kerikil) tersebut ke arahnya.
Namun bukan Iblis namanya jika menyerah dan menyurutkan langkah. Upaya menggagalkan penyembelihan Ismail sebagai bentuk pendekatan diri kepada Allah harus tetap berlanjut. Kali ini perhatiannya tertuju kepada Hajar, ibunda Ismail. Segera Iblis menghampiri sasarannya.
“Mengapa pula engkau hanya duduk tenang saja, wahai Hajar. Sementara suamimu membawa putra terkasihmu untuk ia sembelih.”
“Jangan engkau berdusta kepadaku. Tidakkah kau pikir, bagaimana mungkin seorang ayah membunuh anaknya? Ibrahim sangat menyayangi anakku, Ismail,” jawab Hajar.
“Justru engkau yang harus berpikir sekali lagi. Tidakkah kau lihat apa yang dibawa suamimu dan anakmu?! Mengapa ia membawa tali dan sebilah pedang kalau bukan untuk menyembelih putranya?” jawab Iblis.
“Untuk apa seorang ayah membunuh anaknya?” 
“Itu dia. Suamimu menyangka bahwa Allah memerintahkannya untuk menyembelih Ismail.”
“Ketahuilah! Seorang Nabi tidak akan pernah ditugasi untuk berbuat kebatilan. Seandainya itu benar, jangankan putraku, saya sendiri siap dikorbankan demi sebuah tugas mulia dari Allah,”  jawab Hajar penuh yakin.
Lalu Hajar mengambil tujuh Jamroh (kerikil) dan melemparkannya ke arah Iblis. Tidak henti-hentinya Iblis melontarkan sumpah serapah. Rayuan dan godanya berujung kegagalan untuk ketiga kalinya. Segala upaya Iblis gagal total hari itu.
Sesampainya di Mina, Nabi Ibrahim AS memutuskan untuk berterus terang kepada puteranya. Meskipun berat tetapi harus diungkapkan.  Meskipun tidak lazim jika itu merupakan perintah Allah maka wajib ditunaikan. Untuk itu ia perlu mengutarakannya terlebih dahulu. Ia ingin berbicara dari hati ke hati perihal itu, agar ada keridaan di antara keduanya.
“Wahai ananda! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu? (QS. Al-Shaffat: 102),” ujar Nabi Ibrahim kepada Ismail.
“Wahai ayahanda! Kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah, kamu akan mendapatiku sebagai orang-orang yang sabar (QS. Al-Shaffat: 102),” jawab Ismail yakin.
Ibrahim tidak menduga Ismail memberikan jawaban yang demikian bijak nan penuh taat. Sebuah jawaban yang mengejutkan. Sebuah ketaatan dan kepasrahan dari seorang hamba semata-mata karena-Nya. Jawaban Ismail ini menjadikan hati sang ayah lega seraya bertahmid (mengucapkan Alhamdulillah) kepada Allah sebanyak-banyaknya. Kini tidak ada lagi yang memberatkan hatinya untuk melaksanakan wahyu Tuhannya. Tetapi, sebelum sang ayah benar-benar menuntaskan perniagaannya, terlebih dahulu Ismail menyampaikan pesannya. Pesan terakhir yang niscaya kita semua akan menitikkan air mata karenanya.
“Wahai ayahanda! Ikatlah tanganku supaya tidak bergerak dan merepotkan proses penyembelihan. Telungkupkanlah wajahku agar tidak terlihat oleh ayah, yang sehingga dengan itu tidak akan memunculkan rasa iba ayah. Singsingkanlah lengan baju ayah agar tidak sedikitpun terkena percikan darah sehingga itu bisa mengurangi pahalaku. Saya khawatir jika ibu melihatnya tentu akan berduka.”
Nabi Ibrahim hanya diam mematung menyimak pesan-pesan Ismail. Hatinya bergemuruh meresapi kata demi kata anaknya. Tanpa disadari buliran-buliran kecil menjuntal dari pelupuk mata. Ia menatap lekat-lekat wajah sang buah hati. Jantungnya berdesir kencang. Darah mengalir demikian deras. Ia tersenyum bersimbah tangis. Menangis karena Allah demikian sayang kepadanya, sehingga mengujinya dengan meminta kembali orang tersayangnya. 
“Tajamkanlah pedang ayah dan goreskan segera dileherku ini, agar ananda lebih mudah dan cepat menemui ajal. Bawalah pulang bajuku dan berikan kepada ibunda agar menjadi kenangan baginya. Serta sampaikan pula salamku kepadanya seraya berkata, ‘Wahai ibu! Bersabarlah dalam melaksanakan perintah Allah’. Terakhir, janganlah ayah mengajak anak-anak lain ke rumah, sehingga itu akan semakin menambah belasungkawa ibu padaku. Dan ketika ayah melihat anak lain yang sebaya denganku, janganlah dipandang seksama sehingga menimbulkan rasa sedih di hati ayah.” 
“Sungguh, sebaik-baik kawan dalam melaksanakan perintah Allah SWT adalah engkau, wahai putraku tercinta!,” pungkas Nabi Ibrahim.
Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya) (QS. Al-Shaffat: 103). Nabi Ibrahim kemudian mengecup kening Ismail, mengikat tangan dan kakinya diiringi tangis yang mengharu biru. Nabi Ibrahim menyebut asma-Nya dan bertakbir. Maka pedang pun segera digoreskan ke leher. Hatinya bergetar hebat dan perasaannya bergemuruh tak karuan. Sementara semesta tak henti-hentinya bertasbih. Namun entah apa yang terjadi.
Ismail berkata, “Ayahanda, lepaskan tali pengikat tangan dan kakiku ini agar aku tidak dinilai terpaksa dalam menjalankan perintah-Nya. Goreskan lagi ke leherku agar para malaikat megetahui bahwa diriku taat kepada Allah swt dalam menjalankan perintah semata-mata karena-Nya.”
Ikatan dilepas dan pedang kembali digorekan. Tidak mampu. Pedang terpental. Pedang dihujamkan ke arah sebuah batu dan terbelah.
“Hai pedang! Kau dapat membelah batu, tapi mengapa kau tak mampu menembus daging?” 
Atas izin Allah swt, pedang menjawab, “Wahai Nabiyyullah Ibrahim! Engkau menghendakiku untuk menyembelih, sementara Allah penguasa semesta alam berfirman, ‘jangan disembelih’. Hamba tidak dapat menentang perintah-Nya”.
Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata (bagimu). Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar.” (QS. Al-Shaffat: 106). Sebuah domba kibas yang konon dulu pernah dikurbankan oleh Habil, putra Nabiyyullah Adam as.
Ketika itu malaikat Jibril telah datang membawakan domba tersebut dari surga. Ia masih sempat melihat Nabi Ibrahim AS menggoreskan pedangnya ke leher putranya. Malaikat Jibril lalu berseru mengagungkan Allah SWT dan merasa takjub (kagum) menyaksikan apa yang dilakukan Nabi Ibrahim as seraya berucap, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.”
Nabi Ibrahim AS membalas ucapan Jibril, “La ilaaha illallaahu Wallahu Akbar.”
Dan Ismail menimpalinya, “Allahu akbar wa lillahil hamd.”
Maka semesta pun bertakbir dan bertasbih, bersama syiar Islam yang berkumandang di setiap tanggal 10 Zulhijjah tiba. “Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian” (QS. Al-Shaffat: 108). Wallahu A’lam. ***

Tidak ada komentar :