Lafadz tasawwuf adalah bentuk masdar dari
tasawwafa yatasawwafu tasawwuf. Secara etimologi ada banyak teori
tentang akar dari
kata tersebut. Diantaranya dari kata shafwa, berarti bersih (suci) atau shaffa’.
Kemudian Shuffah, yaitu bangku di sebuah ruangan samping masjid
Rasulullah di Madinah, dimana mereka yang tinggal disitu adalah orang-orang
fakir yang meninggalkan dirinya dan terpisah dari keluarganya. Ada pula shaufanah,
sebangsa buah-buahan kecil berbulu. Dan shaff, barisan dalam shalat.
Namun dari
teori-teori tersebut mengerucut kepada sebuah devinisi secara terminologi,
yakni pensucian diri atau hati. Di dalamnya mengandung makna, yakni upaya keras
manusia untuk mempererat hubungan vertikal antara dirinya dengan sang Kholik
(lebih jauh lagi). Dimensi hubungan itu berada di luar orbit lahiri, yakni mengambil tempat dalam
dimensinya yang esoteris sesuai dengan sifat Tuhan sebagai Dzat yang Maha Ghaib
dari segala yang ghaib.
Karena Tuhan (Allah SWT) merupakan tujuan utamanya, maka segala hal yang
berorientasi lahiri (duniawi) dielakkannya.
Kalau kita baca sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW dapat diketahui bahwa sebenarnya perilaku tasawwuf telah ada dan dimulai sejak zaman Nabi dan diteruskan oleh sahabat-sahabatnya. Hanya saja pengistilahan tasawwuf pada saat itu belum ada. Nabi Muhammad adalah seorang yang menitikberatkan pandangan kepada aspek kerohanian. Kehidupan zuhud beliau tampak dalam kesehariannya, makanannya yang hanya sekerat roti atau sebiji tamar beserta seteguk air, bangunnya tengah malam untuk melakukan ibadah shalat, bahkan juga selalu menangis dalam menunaikan sembahyang.
Kajian
tasawwuf berbeda dengan tasawwuf itu sendiri. Kajian tasawwuf adalah upaya
untuk memahami tasawwuf, sehingga dapat diketahui dan dicerna dengan intelek.
Jika kita membatasi diri sebatas pengkajian, tanpa memasuki wilayah pengamalan,
maka kita termasuk sebagai pengamat tasawwuf. Inilah medannya para kaum
intelektual.
Akan tetapi,
jika kajian kita bukan semata-mata untuk mengetahui, namun lebih jauh juga ikut
berpartisipasi dalam aktifitas kesufian, ini berarti kita sekaligus sudah
menyediakan diri sebagai calon sufi. Disinilah esensi tasawwuf, yakni berupa
pengamalan ajaran-ajaran tasawwuf, sehingga memperoleh pengalaman rohani dalam
perjalanan spiritual menuju Ilahi. Dan pengalaman demikian –pada peringkat
tertentu- boleh jadi tidak mungkin dapat diungkapkan dengan kata-kata, karena
kemiskinan bahasa untuk dapat menggambarkan perjalanan yang dimensinya di luar
bahasa itu sendiri. Disinilah akan kita kenal istilah sufi atau salik,
yaitu seseorang yang melakukan perjalanan spiritual menuju Ilahi.
Seorang salik
yang melakukan perjalanan spiritual menuju akhirat atau Ilahi harus
melewati tiga tahapan tingkatan:
Pertama, Syariat, yaitu
ajaran-ajaran Islam yang bersifat lahiriah dalam bentuk legal-formal atau
identik dengan fikih. Pada tahap ini seorang muslim menghayati dan mengamalkan
ajaran-ajaran agamanya sejauh makna yang tersurat di dalam Al-Qur’an dan Hadis
Nabi Muhammad SAW. Seseorang yang telah mengerti aturan sholat, lalu dia
menunaikan shalat sesuai dengan aturan-aturan formal itu, maka orang tersebut
dikatakan telah melakukan syari’at agamanya. Dengan demikian dia berhak disebut
sebagai seorang muslim, yang akan mendapatkan hak-haknya dalam Islam.
Jadi, syariat adalah
menjalankan apa yang diperintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Orang
yang menaatinya akan mendapatkan ganjaran pahala dan yang melanggarnya diancam
dengan sanksi dosa. Penghayatan Muslim pada tahap ini baru pada peringkat awal,
dimana ia menerima ajaran agama karena adanya ancaman dosa dan balasan pahala.
Kedua, Tarikat, yaitu mengaplikasikan
syariat secara lebih utuh dan hati-hati tanpa memperdulikan adanya keringanan. Yakni
mengamalkan apa yang diwajibkan dan disunnahkan, serta meninggalkan segala
larangan dan bahkan segala yang mubah. Seorang Muslim tidak hanya menunaikan
shalat lima waktu yang menjadi kewajiban, tapi dibarengi dengan shalat rawatib,
perilaku wira’i, melatih jiwa dengan mendirikan shalat malam, membiasakan
lapar dengan berpuasa dan
aktifitas sunnah lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tarikat ialah
melaksanakan amal melebihi apa yang distandarkan dalam syari’at. Ia merupakan
penyempurnaan pengamalan syariat secara utuh, sehingga syari’at tidak hanya
sebagai ajaran teoritis, tetapi merupakan praktik keagamaan yang dapat
mengantarkan pemeluknya kepada kesempurnaan hidup.
Ketiga, hakikat, yaitu sampainya
seorang salik pada tujuan yang
sempurna. Di balik aturan-aturan legal-formal dalam bentuk syari’at terdapat
aturan-aturan yang bersifat batini yang bertujuan untuk mensucikan kalbu
manusia. Oleh sebab itu, jika amal-amal syari’at lebih menekankan pada kualitas
lahir, maka hakikat lebih menekankan pada penghayatan batin. Penghayatan batin
inilah yang menjadi tumpuan hakikat. Jika shalat telah dilaksanakan sesuai
dengan aturan-aturan formalnya, maka shalat itu dipandang sah secara syari’at.
Akan tetapi, hal itu belum tentu sempurna. Sebab, kesempurnaan shalat ialah
apabila aturan-aturan syari’atnya dibarengi dengan penghayatan batinnya secara
hakikat yang disebut khusu’.Yaitu merasakan pertemuan dengan Allah
ketika shalat. Shalat bukan lagi menjadi tujuan, melainkan Allah lah
tujuan yang hakiki. Sehingga shalat
dapat
menjauhkan
dari perbuatan keji dan inkar pun akan pula tercapai. Dan inilah yang disebut
mendirikan shalat, bukan mewujudkan shalat. Kalau syari’at adalah perintah
menjalankan ibadah, maka hakikat adalah merasakan wujudnya Allah dalam hatinya.
Para sufi menganalogikan syari’at sebagai kapal, tarikat
sebagai samudera dan hakikat sebagai mutiara. Maka seorang salik tidak
akan mencapai tahap hakikat kecuali setelah mencapai tengah samudera dan
menyelam. Dan dia tidak akan mencapai tengah samudera kecuali berlayar dengan
kapal. Ketiganya harus ditempuh secara berurutan dan tidak bisa menafikan salah
satu. Karena hakikat tanpa syari’at batal dan syari’at tanpa hakikat kosong.
Contoh yang pertama misalnya anda memerintahkan shalat kepada seseorang.
Kemudian ia menjawab: “tidak ada gunanya shalat, karena keberuntungan ialah
keberuntungan zaman azali. Jika saya beruntung maka masuk surga meskipun tidak
shalat, atau jika tidak saya masuk neraka meskipun shalat”. Artinya orang
tersebut sudah tidak peduli dengan masuk surga dan neraka. Karena shalat
bukan menjadi penyebab seseorang masuk surga, maka tidak perlu
menunaikan shalat.
Perkataan seperti ini jelas batal,
konyol dan menyesatkan. Karena shalat ialah perintah Allah. Maka bagaimana mungkin
seseorang yang ingin menuju kepada-Nya menolak apa yang diperintahkan-Nya. Contoh yang kedua
misalnya seseorang yang melakukan amal karena ingin masuk surga. Kemudian dia
berkata: “andai saya tidak melakukan amalanku ini, maka saya tidak akan masuk surga”.
Maka syari’at ini adalah
kosong, artinya ada dan tidaknya sama saja. Sebab tujuan utamanya ialah Allah.
Maka masuk
surga pun sebab
fadhal Allah.
Ketika seorang salik telah
mampu melaksanakan syari’at secara benar dan diiringi dengan penghayatan batin
secara hakikat, maka ia akan mencapai apa yang disebut makrifat. Makrifat
adalah akhir pengalaman spiritual seorang sufi, di mana ia dapat melihat Allah
dengan mata batinnya. Al-Ghazali, pada satu tempat, menyebut makrifat ini
dengan ‘ilm mukasyafah (pengetahuan illuminatif), yang didefinisikan
sebagai “terungkapnya cahaya yang memancar di dalam kalbu pada waktu ia suci
dan bersih dari segala sifat-sifat tercela. Dari cahaya itu tersingkap pula
banyak hal yang nama-namanya telah pernah didengar sebelumnya, tapi masih
berupa makna-makna yang tak jelas.” Dia mengumpamakan kalbu sebagai cermin,
jika cermin kalbu itu dibersihkan dari noda-noda, ia akan mampu menangkap
gambar-gambar dari alam gaib, sebagaimana cermin fisik mampu menangkap
gambar-gambar yang bersifat fisikal.
Makrifat bukanlah pengetahuan
inklusif, tetapi hanya didapatkan oleh orang-orang tertentu saja. Derajat
makrifat merupakan hak prerogatif Allah. Hanya orang-orang yang dipanggil
oleh-Nya yang dapat meraih derajat tersebut. Terkadang Allah memanggil mereka yang
telah melewati tahapan syari’at, tarikat dan hakikat. Tapi terkadang Allah
memanggil secara langsung tanpa melalui tahapan. Hal ini bisa dianalogikan
dengan seorang presiden. Untuk menjadi orang terdekat beliau terkadang
seseorang harus melewati tahapan menjadi kepala desa, camat, bupati dan
gubernur. Dengan begitu presiden akan mempertimbangkannya untuk menjadi
menteri. Tapi bisa saja presiden mengundang seorang petani kampung
ke istananya hanya karena suka. Maka biasanya model orang yang seperti ini akan kebingungan
dan salah tingkah karena kaget dan tidak terbiasa. Begitu pula orang yang
mendapat derajat makrifat tanpa melewati tahapan. Ia akan bertingkah yang tidak
wajar dan bahkan terkadang mirip orang gila. Fenomena inilah yang dalam
kalangan sufistik dikenal dengan orang
“jadzab”, yaitu orang yang ditarik mata batinnya
untuk menjadi kekasih Allah.
Seorang salik yang telah
mencapai derajat makrifat akan mampu melihat rahasia-rahasia alam malakut
dan sifat-sifat alam jabarutnya Allah. Maka pada titik ini
pendengarannya ibarat pendengaran Allah, penglihatannya ibarat penglihatan
Allah, serta tangannya ibarat kuasa Allah. Ia menjadi kekasihAllah, jika
meminta pasti diberi dan jika berlindung pasti dilindungi oleh-Nya.
Makrifat adalah wilayah intim antara
seorang hamba dan Allah. Ia memiliki alam tersendiri yang sangat rahasia. Alam
yang tidak dapat dijangkau oleh akal atau rasio yang terbatas di alam dunia.
Sedangkan wilayah makrifat tidak butuh lagi dengan itu. Makrifat hanya bisa
dipahami dengan ilmu Allah. Sedangkan ilmua Allah hanya orang makrifat yang
memilikinya. Maka wajar ketika Syekh Siti Jenar memperkenalkan konsep “manunggaling
kawula gusti”nya, ia dianggap sesat. Sebab tidak mungkin rahasia pribadinya
dengan Allah yang berada di wilayah makrifat dibawa ke alam dunia.
Pada akhirnya tasawwuf merupakan dimensi tersendiri dalam
kehidupan ini. Ia memiliki dunia tersendiri. Memiliki seni tersendiri yang teramat
istimewa. Seni menjernihkan hati dari segala kotoran nafsu duniawi. Seni menata hati agar selalu condong kepada Ilahi. Seni menata hati untuk
mentauhidkan Robbani.
Maka bagaimana mungkin Allah yang lebih dekat daripada urat leher lebih banyak kita lalaikan
keberadaannya? Maka ber-tasawwuflah! Dan temukan sebuah seni menata hati.Wallahu
a’lam.
Disusun dari
berbagai sumber
Brakas, liburan
musim hujan 12022013.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar