Selamat Datang di Dunia olient_online

Selamat Datang di Dunia Mini olient_online

Selasa, 12 Februari 2013

Dunia Sufi: Sebuah Seni Menata Hati

            Lafadz tasawwuf adalah bentuk masdar dari tasawwafa yatasawwafu tasawwuf. Secara etimologi ada banyak teori tentang akar dari kata tersebut. Diantaranya dari kata shafwa, berarti bersih (suci) atau shaffa’. Kemudian Shuffah, yaitu bangku di sebuah ruangan samping masjid Rasulullah di Madinah, dimana mereka yang tinggal disitu adalah orang-orang fakir yang meninggalkan dirinya dan terpisah dari keluarganya. Ada pula shaufanah, sebangsa buah-buahan kecil berbulu. Dan shaff, barisan dalam shalat.
Namun dari teori-teori tersebut mengerucut kepada sebuah devinisi secara terminologi, yakni pensucian diri atau hati. Di dalamnya mengandung makna, yakni upaya keras manusia untuk mempererat hubungan vertikal antara dirinya dengan sang Kholik (lebih jauh lagi). Dimensi hubungan itu berada di luar orbit lahiri, yakni mengambil tempat dalam dimensinya yang esoteris sesuai dengan sifat Tuhan sebagai Dzat yang Maha Ghaib dari segala yang ghaib. Karena Tuhan (Allah SWT) merupakan tujuan utamanya, maka segala hal yang berorientasi lahiri (duniawi) dielakkannya.

Kalau kita baca sejarah kehidupan Nabi Muhammad SAW dapat diketahui bahwa sebenarnya perilaku tasawwuf telah ada dan dimulai sejak zaman Nabi dan diteruskan oleh sahabat-sahabatnya. Hanya saja pengistilahan tasawwuf pada saat itu belum ada. Nabi Muhammad adalah seorang yang menitikberatkan pandangan kepada aspek kerohanian. Kehidupan zuhud beliau tampak dalam kesehariannya, makanannya yang hanya sekerat roti atau sebiji tamar beserta seteguk air, bangunnya tengah malam untuk melakukan ibadah shalat, bahkan juga selalu menangis dalam menunaikan sembahyang.
Kajian tasawwuf berbeda dengan tasawwuf itu sendiri. Kajian tasawwuf adalah upaya untuk memahami tasawwuf, sehingga dapat diketahui dan dicerna dengan intelek. Jika kita membatasi diri sebatas pengkajian, tanpa memasuki wilayah pengamalan, maka kita termasuk sebagai pengamat tasawwuf. Inilah medannya para kaum intelektual.
Akan tetapi, jika kajian kita bukan semata-mata untuk mengetahui, namun lebih jauh juga ikut berpartisipasi dalam aktifitas kesufian, ini berarti kita sekaligus sudah menyediakan diri sebagai calon sufi. Disinilah esensi tasawwuf, yakni berupa pengamalan ajaran-ajaran tasawwuf, sehingga memperoleh pengalaman rohani dalam perjalanan spiritual menuju Ilahi. Dan pengalaman demikian –pada peringkat tertentu- boleh jadi tidak mungkin dapat diungkapkan dengan kata-kata, karena kemiskinan bahasa untuk dapat menggambarkan perjalanan yang dimensinya di luar bahasa itu sendiri. Disinilah akan kita kenal istilah sufi atau salik, yaitu seseorang yang melakukan perjalanan spiritual menuju Ilahi.
Seorang salik yang melakukan perjalanan spiritual menuju akhirat atau Ilahi harus melewati tiga tahapan tingkatan:
Pertama, Syariat, yaitu ajaran-ajaran Islam yang bersifat lahiriah dalam bentuk legal-formal atau identik dengan fikih. Pada tahap ini seorang muslim menghayati dan mengamalkan ajaran-ajaran agamanya sejauh makna yang tersurat di dalam Al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad SAW. Seseorang yang telah mengerti aturan sholat, lalu dia menunaikan shalat sesuai dengan aturan-aturan formal itu, maka orang tersebut dikatakan telah melakukan syari’at agamanya. Dengan demikian dia berhak disebut sebagai seorang muslim, yang akan mendapatkan hak-haknya dalam Islam.
Jadi, syariat adalah menjalankan apa yang diperintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Orang yang menaatinya akan mendapatkan ganjaran pahala dan yang melanggarnya diancam dengan sanksi dosa. Penghayatan Muslim pada tahap ini baru pada peringkat awal, dimana ia menerima ajaran agama karena adanya ancaman dosa dan balasan pahala.
Kedua, Tarikat, yaitu mengaplikasikan syariat secara lebih utuh dan hati-hati tanpa memperdulikan adanya keringanan. Yakni mengamalkan apa yang diwajibkan dan disunnahkan, serta meninggalkan segala larangan dan bahkan segala yang mubah. Seorang Muslim tidak hanya menunaikan shalat lima waktu yang menjadi kewajiban, tapi dibarengi dengan shalat rawatib, perilaku wira’i, melatih jiwa dengan mendirikan shalat malam, membiasakan lapar dengan berpuasa dan aktifitas sunnah lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tarikat ialah melaksanakan amal melebihi apa yang distandarkan dalam syari’at. Ia merupakan penyempurnaan pengamalan syariat secara utuh, sehingga syari’at tidak hanya sebagai ajaran teoritis, tetapi merupakan praktik keagamaan yang dapat mengantarkan pemeluknya kepada kesempurnaan hidup.
Ketiga, hakikat, yaitu sampainya seorang salik pada tujuan yang sempurna. Di balik aturan-aturan legal-formal dalam bentuk syari’at terdapat aturan-aturan yang bersifat batini yang bertujuan untuk mensucikan kalbu manusia. Oleh sebab itu, jika amal-amal syari’at lebih menekankan pada kualitas lahir, maka hakikat lebih menekankan pada penghayatan batin. Penghayatan batin inilah yang menjadi tumpuan hakikat. Jika shalat telah dilaksanakan sesuai dengan aturan-aturan formalnya, maka shalat itu dipandang sah secara syari’at. Akan tetapi, hal itu belum tentu sempurna. Sebab, kesempurnaan shalat ialah apabila aturan-aturan syari’atnya dibarengi dengan penghayatan batinnya secara hakikat yang disebut khusu’.Yaitu merasakan pertemuan dengan Allah ketika shalat. Shalat bukan lagi menjadi tujuan, melainkan Allah lah tujuan yang hakiki. Sehingga shalat dapat menjauhkan dari perbuatan keji dan inkar pun akan pula tercapai. Dan inilah yang disebut mendirikan shalat, bukan mewujudkan shalat. Kalau syari’at adalah perintah menjalankan ibadah, maka hakikat adalah merasakan wujudnya Allah dalam hatinya.
            Para sufi menganalogikan syari’at sebagai kapal, tarikat sebagai samudera dan hakikat sebagai mutiara. Maka seorang salik tidak akan mencapai tahap hakikat kecuali setelah mencapai tengah samudera dan menyelam. Dan dia tidak akan mencapai tengah samudera kecuali berlayar dengan kapal. Ketiganya harus ditempuh secara berurutan dan tidak bisa menafikan salah satu. Karena hakikat tanpa syari’at batal dan syari’at tanpa hakikat kosong. Contoh yang pertama misalnya anda memerintahkan shalat kepada seseorang. Kemudian ia menjawab: “tidak ada gunanya shalat, karena keberuntungan ialah keberuntungan zaman azali. Jika saya beruntung maka masuk surga meskipun tidak shalat, atau jika tidak saya masuk neraka meskipun shalat”. Artinya orang tersebut sudah tidak peduli dengan masuk surga dan neraka. Karena shalat bukan menjadi penyebab seseorang masuk surga, maka tidak perlu menunaikan shalat. Perkataan seperti ini jelas batal, konyol dan menyesatkan. Karena shalat ialah perintah Allah. Maka bagaimana mungkin seseorang yang ingin menuju kepada-Nya menolak apa yang diperintahkan-Nya. Contoh yang kedua misalnya seseorang yang melakukan amal karena ingin masuk surga. Kemudian dia berkata: “andai saya tidak melakukan amalanku ini, maka saya tidak akan masuk surga”. Maka syari’at ini adalah kosong, artinya ada dan tidaknya sama saja. Sebab tujuan utamanya ialah Allah. Maka masuk surga pun sebab fadhal Allah.
            Ketika seorang salik telah mampu melaksanakan syari’at secara benar dan diiringi dengan penghayatan batin secara hakikat, maka ia akan mencapai apa yang disebut makrifat. Makrifat adalah akhir pengalaman spiritual seorang sufi, di mana ia dapat melihat Allah dengan mata batinnya. Al-Ghazali, pada satu tempat, menyebut makrifat ini dengan ‘ilm mukasyafah (pengetahuan illuminatif), yang didefinisikan sebagai “terungkapnya cahaya yang memancar di dalam kalbu pada waktu ia suci dan bersih dari segala sifat-sifat tercela. Dari cahaya itu tersingkap pula banyak hal yang nama-namanya telah pernah didengar sebelumnya, tapi masih berupa makna-makna yang tak jelas.” Dia mengumpamakan kalbu sebagai cermin, jika cermin kalbu itu dibersihkan dari noda-noda, ia akan mampu menangkap gambar-gambar dari alam gaib, sebagaimana cermin fisik mampu menangkap gambar-gambar yang bersifat fisikal.
            Makrifat bukanlah pengetahuan inklusif, tetapi hanya didapatkan oleh orang-orang tertentu saja. Derajat makrifat merupakan hak prerogatif Allah. Hanya orang-orang yang dipanggil oleh-Nya yang dapat meraih derajat tersebut. Terkadang Allah memanggil mereka yang telah melewati tahapan syari’at, tarikat dan hakikat. Tapi terkadang Allah memanggil secara langsung tanpa melalui tahapan. Hal ini bisa dianalogikan dengan seorang presiden. Untuk menjadi orang terdekat beliau terkadang seseorang harus melewati tahapan menjadi kepala desa, camat, bupati dan gubernur. Dengan begitu presiden akan mempertimbangkannya untuk menjadi menteri. Tapi bisa saja presiden mengundang seorang petani kampung ke istananya hanya karena suka. Maka biasanya model orang yang seperti ini akan kebingungan dan salah tingkah karena kaget dan tidak terbiasa. Begitu pula orang yang mendapat derajat makrifat tanpa melewati tahapan. Ia akan bertingkah yang tidak wajar dan bahkan terkadang mirip orang gila. Fenomena inilah yang dalam kalangan sufistik dikenal dengan orang “jadzab”, yaitu orang yang ditarik mata batinnya untuk menjadi kekasih Allah.
            Seorang salik yang telah mencapai derajat makrifat akan mampu melihat rahasia-rahasia alam malakut dan sifat-sifat alam jabarutnya Allah. Maka pada titik ini pendengarannya ibarat pendengaran Allah, penglihatannya ibarat penglihatan Allah, serta tangannya ibarat kuasa Allah. Ia menjadi kekasihAllah, jika meminta pasti diberi dan jika berlindung pasti dilindungi oleh-Nya.
            Makrifat adalah wilayah intim antara seorang hamba dan Allah. Ia memiliki alam tersendiri yang sangat rahasia. Alam yang tidak dapat dijangkau oleh akal atau rasio yang terbatas di alam dunia. Sedangkan wilayah makrifat tidak butuh lagi dengan itu. Makrifat hanya bisa dipahami dengan ilmu Allah. Sedangkan ilmua Allah hanya orang makrifat yang memilikinya. Maka wajar ketika Syekh Siti Jenar memperkenalkan konsep “manunggaling kawula gusti”nya, ia dianggap sesat. Sebab tidak mungkin rahasia pribadinya dengan Allah yang berada di wilayah makrifat dibawa ke alam dunia.
            Pada akhirnya tasawwuf merupakan dimensi tersendiri dalam kehidupan ini. Ia memiliki dunia tersendiri. Memiliki seni tersendiri yang teramat istimewa. Seni menjernihkan hati dari segala kotoran nafsu duniawi. Seni menata hati agar selalu condong kepada Ilahi. Seni menata hati untuk mentauhidkan Robbani. Maka bagaimana mungkin Allah yang lebih dekat daripada urat leher lebih banyak kita lalaikan keberadaannya? Maka ber-tasawwuflah! Dan temukan sebuah seni menata hati.Wallahu a’lam.

Disusun dari berbagai sumber

Brakas, liburan musim hujan 12022013.

Tidak ada komentar :