Minhajut Thalibin menjadi salah satu kitab yang wajib dibaca oleh para pengkaji madzhab Syafi’i. Kitab ini ditulis oleh Imam Nawawi, seorang Mujtahid bil Madzhab asy-Syafii yang
fatwanya menjadi acuan pengikut madzhab ini.
Minhajut Thalibin merupakan ringkasan (mukhtashar) dari al-Muharrar
karya Imam ar-Rafi’i. Imam ar-Rafi’i sendiri merupakan tokoh penting di
kalangan pengikut madzhab Syafi’i. Bersama Imam an-Nawawi ia dinobatkan sebagai
syaikh. Sehingga jika ada penyebutan kata asy-Syaikhani dalam literatur
fikih Syafi’i maka yang dimaksud adalah Imam an-Nawawi dan ar-Rafi’i.
Menyandang kitab penting di kalangan Madzhab Syafi’i
menjadikan Minhajut Thalibin banyak dilirik oleh ulama setelahnya.
Banyak dari mereka yang menuliskan syarah, mukhtashar, ataupun nadzam
dari kitab ini. Ahmad Maiqary Syumailah al-Ahdal dalam kitabnya yang
berjudul Sulam al-Muta’allim al-Muhtaj ila Ma’rifah Rumuz al-Minhaj, mengatakan
bahwa sekurang-kurangnya terdapat 20 kitab yang memberi syarah atas Minhajut
Thalibin. Dari 20 tersebut terdapat beberapa kitab yang popular dan menjadi
bahan bacaan di kalangan pesantren. Diantaranya Kanzur Raghibin karya Mahally,
Tuhfatul Muhtaj karya al-Haitami, Nihayatul Muhtaj karya ar-Ramli,
dan dengan Mughnil Muhtaj karya asy-Syarbini.
Selain syarah, kitab Minhajut Thalibin juga
diringkas oleh ulama-ulama setelahnya seperti
Abu Hayyan al-Andalusy dengan judul Al-Wahhaj dan Zakariyya al-Anshori
dengan judul Manhajut Thullab. Untuk yang terakhir ini
kemudian di-syarah-in lagi oleh orang yang sama dengan judul Fathul
Wahhab.
Sebagaimana diungkapkan oleh penulisnya, Minhajut
Thalibin memiliki beberapa kelebihan. Imam Nawawi tidak hanya meringkas,
tetapi juga menampilkan permasalahan-permasalahan penting yang tidak
dicantumkan di kitab asal (al-Muharrar).
Di beberapa tema ia juga menjelaskan pendapat-pendapat pilihan (mukhtar)
dalam madzhab Syafi’i, yang dalam kitab asalnya hanya menampilkan pendapat
sebaliknya.
Dari segi bahasa, Imam Nawawi memandang adanya beberapa redaksi
di kitab al-Muharrar yang asing (gharib) dan multi interpretasi.
Karenanya, ia mengganti redaksi-redaksi tersebut dengan bahasa yang jelas dan
ringkas, sehingga dapat dicerna dengan mudah oleh pembaca.
Sebagai kitab yang ditulis pada abad ke-7 hijriyah Minhajut
Thalibin tergolong kuat dari sisi metodologi. Dalam pengantarnya, Imam
Nawawi telah menuliskan metode yang dipakai dalam kitab tersebut secara
gamblang. Hanya saja, pembaca harus mengernyitkan dahi ketika berjumpa dengan banyaknya
istilah-istilah fikih Syafi’i di sana. Maka disarankan untuk memahami
istilah-istilah tersebut terlebih dahulu.
Imam Nawawi, dalam kitab ini, mengutip pendapat-pendapat
dengan sangat detail. Ia teliti dalam membedakan pendapat Syafi’i dan pengikut
Madzhab Syafi’i. Pendapat-pendapat tersebut dituturkannya secara manthiqi dengan
kata-kata kunci yang cukup banyak. Berikut kami jelaskan.
Al-adzhar dan
al-masyhur. Sebagaimana kita ketahui, dalam permasalahan tertentu terkadang
terdapat dua atau lebih pendapat Imam Syafi’i yang berbeda. Ada kalanya dua
pendapat tersebut dari qoul qodim, atau qoul jadid, atau qoul
qodim dan qoul jadid. Dalam hal ini, ketika Imam Nawawi mengatakan al-adzhar
maka yang dimaksud adalah pendapat yang paling kuat dari pendapat-pendapat lain
yang sama-sama kuat. Sedangkan
bila ia mengatakan al-masyhur
maka
yang dimaksud adalah pendapat yang kuat dari pendapat-pendapat lain yang tidak
kuat.
Al-ashahh dan
al-shahih. Dalam madzhab Syafi’i juga terdapat dua atau lebih pendapat
pengikut Syafi’i yang berbeda dalam permasalahan tertentu, yang diistilahkan
dengan al-wujuh. Pendapat tersebut merupakan hasil ijtihad mereka dengan
menggunakan metode yang dipaki Imam Syafi’i. Dalam hal ini, ketika Imam Nawawi
mengatakan al-asahh maka yang dimaksud adalah pendapat paling kuat dari
pendapat-pendapat lain yang sama-sama kuat. Sedangkan ketika
dikatakan al-shahih maka yang dimaksud adalah pendapat yang kuat dari
pendapat-pendapat lain yang lemah.
Al-madzhab.
Kita
tahu bahwa pendapat-pendapat Imam Syafi’i menyebar melalui periwayatan
murid-muridnya. Terkadang satu sama lain terdapat dua atau lebih perbedaan
periwayatan dalam masalah yang sama, yang dikenal dengan thuruq. Dalam
hal ini, ketika Imam Nawawi mengatakan al-madzhab maka yang dimaksud
adalah periwayatan yang paling kuat dari periwayatan-periwayatan yang lain.
Selain itu, Imam Nawawi juga sering menggunakan istilah an-nash.
Ketika demikian maka yang dimaksud adalah pendapat Imam Syafi’i sendiri, yang
mengindikasikan adanya pendapat pengikut madzhab yang berseberangan. Atau adanya pendapat pengikut Imam Syafi’i yang di-takhrij
terhadap pendapat Imam Syafi’i. Takhrij adalah menganalogikan hukum
baru terhadap hukum yang telah ditetapkan oleh Imam Syafi’i karena adanya
keserupaan.
Untuk menginformasikan dua pendapat yang berbeda Imam Nawawi
tidak menyebutkan keduanya. Ia cukup menyebutkan satu pendapat sebagai
kebalikan dari pendapat yang tak tersebut. Semisal, ketika ia menyebutkan
sebuah hukum lalu dikatakan bahwa hal itu adalah qoul jadid, maka hukum
kebalikannya yang tak tersebut adalah qoul qodim.
Dalam banyak permasalahan Imam Nawawi juga memperlihatkan
kapasitas keilmuannya. Ia menuliskan pendapat pribadinya dengan cara yang
santun. Ia mulai dengan kata qultu dan diakhiri dengan kata wallahu
a’lam. Dalam hal ini ia sesekali berbeda pendapat dengan apa yang ada di
kitab al-Muharrar. Tentu hal itu dilakukan setelah penelitian matang.
Demikianlah apa yang ditulis oleh Imam Nawawi dalam kata
pengantarnya. Pijakan-pijakan metodologis tersebut telah ia sematkan sebelum
memulai menulis kitabnya. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar