Selamat Datang di Dunia olient_online

Selamat Datang di Dunia Mini olient_online

Sabtu, 01 Oktober 2016

Kunci Membaca Minhajut Thalibin


            Minhajut Thalibin menjadi salah satu kitab yang wajib dibaca oleh para pengkaji madzhab Syafi’i. Kitab ini ditulis oleh Imam Nawawi, seorang Mujtahid bil Madzhab asy-Syafii yang fatwanya menjadi acuan pengikut madzhab ini.
Minhajut Thalibin merupakan ringkasan (mukhtashar) dari al-Muharrar karya Imam ar-Rafi’i. Imam ar-Rafi’i sendiri merupakan tokoh penting di kalangan pengikut madzhab Syafi’i. Bersama Imam an-Nawawi ia dinobatkan sebagai syaikh. Sehingga jika ada penyebutan kata asy-Syaikhani dalam literatur fikih Syafi’i maka yang dimaksud adalah Imam an-Nawawi dan ar-Rafi’i.
Menyandang kitab penting di kalangan Madzhab Syafi’i menjadikan Minhajut Thalibin banyak dilirik oleh ulama setelahnya. Banyak dari mereka yang menuliskan syarah, mukhtashar, ataupun nadzam dari kitab ini. Ahmad Maiqary Syumailah al-Ahdal dalam kitabnya yang berjudul Sulam al-Muta’allim al-Muhtaj ila Ma’rifah Rumuz al-Minhaj, mengatakan bahwa sekurang-kurangnya terdapat 20 kitab yang memberi syarah atas Minhajut Thalibin. Dari 20 tersebut terdapat beberapa kitab yang popular dan menjadi bahan bacaan di kalangan pesantren. Diantaranya Kanzur Raghibin karya Mahally, Tuhfatul Muhtaj karya al-Haitami, Nihayatul Muhtaj karya ar-Ramli, dan dengan Mughnil Muhtaj karya asy-Syarbini.
Selain syarah, kitab Minhajut Thalibin juga diringkas oleh ulama-ulama  setelahnya seperti Abu Hayyan al-Andalusy dengan judul Al-Wahhaj dan Zakariyya al-Anshori dengan judul Manhajut Thullab. Untuk yang terakhir ini kemudian di-syarah-in lagi oleh orang yang sama dengan judul Fathul Wahhab.
Sebagaimana diungkapkan oleh penulisnya, Minhajut Thalibin memiliki beberapa kelebihan. Imam Nawawi tidak hanya meringkas, tetapi juga menampilkan permasalahan-permasalahan penting yang tidak dicantumkan di kitab asal (al-Muharrar). Di beberapa tema ia juga menjelaskan pendapat-pendapat pilihan (mukhtar) dalam madzhab Syafi’i, yang dalam kitab asalnya hanya menampilkan pendapat sebaliknya.
Dari segi bahasa, Imam Nawawi memandang adanya beberapa redaksi di kitab al-Muharrar yang asing (gharib) dan multi interpretasi. Karenanya, ia mengganti redaksi-redaksi tersebut dengan bahasa yang jelas dan ringkas, sehingga dapat dicerna dengan mudah oleh pembaca.
Sebagai kitab yang ditulis pada abad ke-7 hijriyah Minhajut Thalibin tergolong kuat dari sisi metodologi. Dalam pengantarnya, Imam Nawawi telah menuliskan metode yang dipakai dalam kitab tersebut secara gamblang. Hanya saja, pembaca harus mengernyitkan dahi ketika berjumpa dengan banyaknya istilah-istilah fikih Syafi’i di sana. Maka disarankan untuk memahami istilah-istilah tersebut terlebih dahulu.
Imam Nawawi, dalam kitab ini, mengutip pendapat-pendapat dengan sangat detail. Ia teliti dalam membedakan pendapat Syafi’i dan pengikut Madzhab Syafi’i. Pendapat-pendapat tersebut dituturkannya secara manthiqi dengan kata-kata kunci yang cukup banyak. Berikut kami jelaskan.
Al-adzhar dan al-masyhur. Sebagaimana kita ketahui, dalam permasalahan tertentu terkadang terdapat dua atau lebih pendapat Imam Syafi’i yang berbeda. Ada kalanya dua pendapat tersebut dari qoul qodim, atau qoul jadid, atau qoul qodim dan qoul jadid. Dalam hal ini, ketika Imam Nawawi mengatakan al-adzhar maka yang dimaksud adalah pendapat yang paling kuat dari pendapat-pendapat lain yang sama-sama kuat. Sedangkan bila ia mengatakan al-masyhur maka yang dimaksud adalah pendapat yang kuat dari pendapat-pendapat lain yang tidak kuat.
Al-ashahh dan al-shahih. Dalam madzhab Syafi’i juga terdapat dua atau lebih pendapat pengikut Syafi’i yang berbeda dalam permasalahan tertentu, yang diistilahkan dengan al-wujuh. Pendapat tersebut merupakan hasil ijtihad mereka dengan menggunakan metode yang dipaki Imam Syafi’i. Dalam hal ini, ketika Imam Nawawi mengatakan al-asahh maka yang dimaksud adalah pendapat paling kuat dari pendapat-pendapat lain yang sama-sama kuat. Sedangkan ketika dikatakan al-shahih maka yang dimaksud adalah pendapat yang kuat dari pendapat-pendapat lain yang lemah.
Al-madzhab. Kita tahu bahwa pendapat-pendapat Imam Syafi’i menyebar melalui periwayatan murid-muridnya. Terkadang satu sama lain terdapat dua atau lebih perbedaan periwayatan dalam masalah yang sama, yang dikenal dengan thuruq. Dalam hal ini, ketika Imam Nawawi mengatakan al-madzhab maka yang dimaksud adalah periwayatan yang paling kuat dari periwayatan-periwayatan yang lain.
Selain itu, Imam Nawawi juga sering menggunakan istilah an-nash. Ketika demikian maka yang dimaksud adalah pendapat Imam Syafi’i sendiri, yang mengindikasikan adanya pendapat pengikut madzhab yang berseberangan. Atau adanya pendapat pengikut Imam Syafi’i yang di-takhrij terhadap pendapat Imam Syafi’i. Takhrij adalah menganalogikan hukum baru terhadap hukum yang telah ditetapkan oleh Imam Syafi’i karena adanya keserupaan.
Untuk menginformasikan dua pendapat yang berbeda Imam Nawawi tidak menyebutkan keduanya. Ia cukup menyebutkan satu pendapat sebagai kebalikan dari pendapat yang tak tersebut. Semisal, ketika ia menyebutkan sebuah hukum lalu dikatakan bahwa hal itu adalah qoul jadid, maka hukum kebalikannya yang tak tersebut adalah qoul qodim.
Dalam banyak permasalahan Imam Nawawi juga memperlihatkan kapasitas keilmuannya. Ia menuliskan pendapat pribadinya dengan cara yang santun. Ia mulai dengan kata qultu dan diakhiri dengan kata wallahu a’lam. Dalam hal ini ia sesekali berbeda pendapat dengan apa yang ada di kitab al-Muharrar. Tentu hal itu dilakukan setelah penelitian matang.

Demikianlah apa yang ditulis oleh Imam Nawawi dalam kata pengantarnya. Pijakan-pijakan metodologis tersebut telah ia sematkan sebelum memulai menulis kitabnya. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar :