A.
PENGANTAR
Secara umum ayat-ayat al-Quran dapat kita kelompokkan
dalam dua sub menu. Pertama ialah ayat-ayat yang diturunkan tanpa didasari
sebab-sebab kejadian tertentu. Ia semata-mata sebagai petunjuk bagi manusia
menuju kebenaran. Ini dapat kita temui di banyak ayat al-Quran. Kedua ialah
ayat-ayat yang turun karena ada sebab-sebab kejadian tertentu yang
melatarbelakanginya. Dan inilah yang akan menjadi kajian kita dalam makalah ini.
Sebab-sebab turunnya ayat al-Quran atau yang dalam
istilah ilmu al-Quran dikenal dengan asbabun nuzul merupakan komponen
penting dalam rangka memahami isi al-Quran. Betapa tidak? Tidak semua ayat
al-Quran dapat kita pahami hanya setelah mengetahui arti katanya saja. Tidak
menutup kemungkinan kita justru akan terjerumus pada kesalahan pemahaman jika
mengabaikan asbabun nuzul-nya.
Untuk itu, kajian asbabun nuzul
kiranya menjadi sebuah keniscayaan guna memahami isi kandungan al-Quran. Pada
realitanya, kajian ini telah dipelopori oleh banyak ulama terdahulu.
Diantaranya ialah Maimun bin Mahrawan (w. 117 H) dengan Tafsil li Asbabit
Tanzil, Ali bin al-Madini (w. 234 H) dengan Asbabun Nuzul, Abdurrahman
bin Muhammad bin Isa bin Futhais (w. 402 H) dengan al-Qashash wal Asbab
allaty Nazala min Ajallihal Quran.
Kemudian
disiplin ilmu ini mengalami tumbuh kembang ketika al-Wahidi (w. 468 H)
menelurkan karya Asbabu Nuzulil Quran, Abu al-Faraj ibn al-Jauzi (w. 597
H) dengan Asbabun Nuzul, al-Ja’bari (w. 732 H) dengan ‘Ajaibun Nuqul
fi Asbabin Nuzul, Ibnu Hajar (w. 852 H) dengan al-Ajab fi Bayanil Asbab,
al-Suyuthi (w. 911 H) dengan Lubabun Nuqul fi Asbabin Nuzul, dan lain
sebagainya.[1]
Sampai di sini kita tahu bahwa perhatian ulama terhadap Asbabun Nuzul telah nampak sejak lama. Bahkan sejak zaman Nabi perhatian itu telah ada. Hanya saja itu masih sebatas pada koleksi hadis yang masih terpisah di hati para sahabat dan belum terkodifikasi. Maka disiplin ilmu ini menjadi kaya, menyeluruh dan populer ketika tangan dingin al-Wahidi merintis proyek Asbabu Nuzulil Quran-nya. Untuk itu, sekiranya layak bagi kita untuk membaca lebih jauh buah penanya tersebut. Terlebih jika melihat signifikansinya dalam konteks kekinian.
Alwahidi nama
lengkapnya adalah ali bin ahmad bin Muhammad bin ali bin mattuyah, beliau wafat
pada abad ke 5 tepatnya pada tahun 468 h/1076 m. Abu hasan alwahidi adalah
seorang mufassir,dan sastrawan, adzahabi menyifati alwahidi sebagai imam ulama
tafsier, beliau terlahir dari golongan pedagang, beliau berasal dari sawah
(antara arroy dan hamdzaan) beliau lahir dan juga wafat di naysabur. Beliau
mempunyai kitab yg bernama albasith dan alwasiith juga alwajiiz semuanya adalah
kitab tafsier, dan imam alghozali mengambil nama-nama ini dan menjadikan
nama-nama ini menjadi kitab karangannya. Alwahidi menerangkan kitab diwannya
almutanabbi, dan asbabunnujul, dan menjelaskan asmaaulhusna dan lain-lain dan
itubanyak. Dan alwahidi nisbah kepada alwahid bin addayl bin mahroh alwahidii.
Ibnu kholkan ( pengarang
kitab wafayatula’ayan menyebut : abu hasan ali bin ahmad bin Muhammad bin ali
bin mattuyah alwahidi yg memilik ikitab-kitab tafsier yang mashuur, pada
jamannya beliau adalah pakar nahwu dan tafsier, danbeliau dianugrahi
kebahagiaan dalam karangan-karangannya, dan banyak sekali manusia yg mengambi l
manfaat dari hasil karangannya, diantaranya karangan beliau yg dipakai oleh
para mudarris ialah albasiith fii tafsiirilqur’anilkarim, al-wasiith,
al-wajiiz, dan dari nama itu abu hamid al-ghozali mengambilnya untuk 3 kitab
karangan beliau. Al-wahidi mempunyai kitab asbabunnuzuul, attahjiiz fii syarhi
asmaaillahita’ala alhusna, danbeliau menjelaskan kitab diwannya abi thoib
almutanabbi dengan penjelasan yg jelas dan lugas, dan diantara penjelasannya
disamping banyaknya penjelasan yg lain tidak ada yg sama seperti penjelasan
la-wahidi.
Al-wahidi adalah
seorang murid dari as-sa’labi, (pengarang tafsier), darinyalah beliau belajar
dan menimba ilmu tafsier, dan beliau wafat disebabkan sakit yg berkepanjangan
pada jumadil akhiroh tahun 468 h, di kota naisabur, rahimahullah.
1.
Definisi Asbabun Nuzul
Banyak definisi yang dikemukakan para
ulama tentang asbab an-Nuzul, salah satu yang cukup populer ialah peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada masa turunnya ayat, baik sebelum maupun sesudah turunnya, di
mana kandungan ayat tersebut berkaitan / dapat dikaitkan dengan peristiwa itu.[2]
Definisi ini serupa dengan apa yang ditulis al-Zarqony; Sesuatu yang
menyebabkan turunnya ayat atau beberapa ayat yang menceritakan tentang sesuatu
peristiwa atau menjelaskan hukumnya pada masa terjadinya peristiwa tersebut.[3]
Definisi di atas dirumuskan seperti itu
oleh para ulama untuk menghindari pemahaman makna kata sebab dalam
konteks sebab dan akibat. Memang diyakini oleh semua pihak bahwa
firman Allah swt bersifat Qadim (tidak didahului oleh sesuatu),
sedangkan sebab bersifat Hadits (baru). Jika ia dipahami dalam
arti sebab, maka itu mengesankan bahwa Kalam Allah itu turun
setelah terjadinya sebab dan tanpa sebab ia tidak akan turun padahal kalam-Nya
diyakini qadim.[4]
Terlepas dari definisi di atas,
riwayat-riwayat menunjukkan bahwa sabab an-Nuzul dapat merupakan jawaban
atas pertanyaan yang diajukan dan dapat juga berupa komentar/petunjuk hukum atas
satu atau lebih kejadian, baik komentar itu hadir sesaat sebelum maupun sesudah
turunnya ayat. Dari sini bila ada satu peristiwa yang terjadi pada masa
kerasulan, yang kandungan ayatnya dapat menjelaskan hukumnya atau ayat itu
merupakan tuntunan menyangkut peristiwa itu, betapapun banyaknya peristiwa,
maka ini pun masing-masing dapat dinamai Sabab an-Nuzul.
Menurut Bassam al-Jamal, kajian
mengenai konsep asbab al-Nuzul ternyata hampir semuanya sama dan tidak
berkembang. Hal ini kemudian berimplikasi pada munculnya kesan bahwa asbab
al-nuzul sebagai wacana yang mandeg. Faktor itulah yang kemudian mendorongnya
menulis disertasi dengan judul Asbab al-Nuzul: 'Ilman min 'Ulum al-Qur'an. Ia
juga menganggap bahwa peluang kritik asbab an-nuzul dalam studi islam kekinian
sangat sedikit sekali. Bahkan yang sedikit itu menurutnya tidak memberikan
catatan yang berarti. Ia tidak menemukan satu buku pun yang khusus mengkritisi
studi asbab an-Nuzul dewasa ini.
Hasan Hanafi dalam salah satu bukunya
yang berjudul Wahyu dan Realitas, berkesimpulan bahwa semua ayat
al-Quran diturunkan karena adanya sebab yang mendahuluinya. Pendapat ini
bertolak belakang dengan pandangan para ulama klasik yang mengatakan bahwa
tidak semua ayat al-Quran turun karena ada sebabnya. Ada beberapa ayat
al-Quran, dan ini lebih banyak jumlahnya, yang turun semata sebagai petunjuk
Allah kepada umat manusia, bukan karena sebab tertentu. Oleh Bassam al-Jamal pendapat
Hasan Hanafi di atas tidak dapat diterima karena tidak memiliki dasar dan
alasan.[5]
Sementara orang beranggapan bahwa tidak
ada faidahnya mendalami kajian Asbabun Nuzul. Toh, itu hanya sebatas
sejarah yang tidak ada hubungannya dengan masa sekarang. Maka anggapan tersebut
sangat salah. Karena pada kenyataannya mengetahui asbabun nuzul sangatlah
penting, khususnya bagi mereka yang ingin mendalami kandungan isi al-Quran. Menurut
al-Wahidi penafsiran ayat al-Quran tidak akan mungkin dapat diketahui tanpa
mendalami kisah yang melatarbelakanginya serta penjelasan atas turunnya ayat
itu.[6] Seperti
firman Allah swt:
وَعَلَى
الثَّلاَثَةِ الَّذِينَ خُلِّفُوا حَتَّى إِذَا ضَاقَتْ عَلَيْهِمُ اْلأَرْضُ بِمَا
رَحُبَتْ وَضَاقَتْ عَلَيْهِمْ أَنفُسُهُمْ وَظَنُّوا أَن لاَّمَلْجَأَ مِنَ اللهِ
إِلآَّ إِلَيْهِ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ لِيَتُوبُوا إِنَّ اللهَ هُوَ التَّوَّابُ
الرَّحِيمُ[7]
“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan
taubat) kepada mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi meraka,
padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh
mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa)
Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar
mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat
lagi Maha Penyayang.”
(QS. At-Taubah: 118)
Ayat ini tidak dapat dipahami secara
baik tanpa mengetahui sebabnya, karena aneka pertanyaan dapat muncul. Misalnya,
siapa ketiga orang itu? Mengapa mereka ditinggal? Ditinggal dari mana dan dalam
perjalanan ke mana? Apa makna sempitnya bumi bagi mereka dan mengapa
mereka merasa bahwa bumi telah sempit? Dan lain-lain pertanyaan yang jawabannya
hanya ditemukan melalui sabab an-Nuzul.
Az-Zarqony dalam Manahil al-Irfan,
menyebutkan tujuh faidah mengetahui sabab an-Nuzul.[8]
Ketujuh faidah itu sebenarnya telah banyak disinggung dalam literatur-literatur
klasik. Pertanyaannya, adakah kepentingan lain khususnya bila dikaitkan dengan
perkembangan studi al-Quran kontemporer? Pembahasan itulah yang akan kami
ketengahkan dalam makalah ini, dan akan kami bahas pada pembahasan selanjutnya.
3.
Epistimologi Asbab an-Nuzul
Asbabun nuzul merupakan pertalian antara ulumul
quran dan ulumul hadis. Sebagai bagian dari disiplin ulumul quran ia bergantung
pada sumber yang notabenenya berada di wilayah hadis. Ketika itu, otoritasnya
diserahkan kepada cabang ilmu kritik hadis. Sumber yang ada difilterisasi oleh
piranti-piranti yang ada pada ilmu hadis untuk ditinjau kesahihannya baik sanad
maupun matan. Jika hadis tersebut kedapatan palsu maka pembedahannya
diberhentikan dan hadisnya pun tidak dapat jadi pegangan. Jika hadisnya dapat
diterima maka diserahkan kembali kepada ilmu al-Quran.
Al-Wahidi mengatakan bahwa tidak
boleh kita menyatakan tentang sebab-sebab turunnya al-Quran melainkan dengan
riwayat dan mendengar dari orang-orang yang menyaksikan ayat-ayat itu
diturunkan dan mengetahui sebab-sebabnya serta membahas tentang pengertiannya.[9]
Dalam hal ini ucapan sahabat atau yang kita kenal dengan hadis
mauquf dalam perkara yang tidak ada celah untuk berijtihad, hukumnya sama
dengan hadis marfu’ yang disandarkan pada Nabi saw. Karena memang tidak
mungkin para sahabat memalsukan hadis. Adapun hadis yang mursal (terputus di
tingkatan sahabat), maka tidak bisa diterima. Kecuali hadis tersebut sahih dan
diperkuat oleh hadis mursal yang lain. Selain itu perawinya juga harus dari
kalangan mufassir yang meriwayatkan dari para sahabat, seperti Mujahid,
Ikrimah, dan Sa’id bin Jubair.[10]
Cara mengetahui asbab an-nuzul di
atas dapat dilihat melalui ungkapan (shigot) perawi. Ada dua model dalam
hal ini; Pertama, ungkapan yang tertulis secara jelas, misalnya rawi
menjelaskan dengan kata ‘sebab’ dengan berkata: “Sebab turunnya ayat ini
adalah seperti ini”, juga huruf fa’ yang berarti ‘maka’ yang tertera
setelah penuturan suatu kejadian dengan mengatakan misalnya: “Rasulullah saw
ditanya tentang masalah ini, maka turunlah ayat…”. Kedua, ungkapan yang
tidak jelas namun masih mengindikasikan sebagai sebab-sebab turunnya ayat,
seperti ucapan rawi: “Saya kira ayat ini turun pada keadaan ini…”, atau “Saya
kira ayat ini tidak turun kecuali pada kejadian ini…”.[11]
Yang harus digarisbawahi dan merupakan
kaidah tafsir adalah: sabab an-Nuzul haruslah berdasar pada riwayat yang
sahih. Tidak ada peranan akal dalam menetapkannya. Peranan akal dalam
bidang ini hanya dalam men-tarjih riwayat-riwayat yang ada. Syekh
Muhammad Abduh dikritik oleh banyak ulama karena berpendapat bahwa al-Fatihah
adalah wahyu pertama yang diterima Nabi mendahului Iqra’ Bismi Rabbika. Alasan
yang dikemukakannya adalah argument logika bersama satu riwayat yang lemah.
Riwayat yang dikemukakannya itu bertentangan dengan aneka riwayat yang kuat
sehingga secara otomatis gugur, sedang argumentasinya, walau sepintas terbaca
logis, tetapi karena sabab an-Nuzul tidak dapat ditetapkan berdasar
logika, maka alasan ulama pembaru itu pun gugur demi kaidah ini.[12]4.
Asbab an-Nuzul dalam Bingkai
Hermeneutika
Dewasa ini, gagasan dan tuntutan untuk
melakukan pembacaan sekaligus pemaknaan ulang teks-teks primer agama Islam
disuarakan dengan lantang. Tujuannya adalah agar teks-teks primer Islam, yang
telah menjadi pedoman dan panduan lebih dari satu miliar umat Islam, dapat
ditundukkan untuk mengikuti irama nilai-nilai modernitas sekuler yang
didiktekan dalam berbagai bidang. Dalam perkembangan metodologi studi al-Qur’an
muncul alat bantu memahami al-Qur’an disamping tafsir, yaitu hermeneutika. Pada
dasarnya keduanya hampir sama, bahkan oleh sebagian orang, hermeneutika
dimiripkan dengan ta’wil. Hermeneutika yang diusung seorang tokoh boleh jadi
berbeda dengan tokoh lain, tergantung pada metodologinya, hal ini pun juga
terdapat dalam setiap penafsiran.
Di sini kami akan mencoba menarik
benang merah antara hermeneutika dan asbab an-Nuzul melalui kacamata
beberapa tokoh pembaharu islam. sehingga dengan ini kita akan mengetahui
seberapa pentingkah asbab an-Nuzul dalam pemikiran kontemporer.
a.
Fazlurrahman dan teori double movement
Fazlurrahman
menawarkan metodologi baru dalam menafsirkan al-Quran, yaitu dengan teori double
movement (gerak ganda) dengan pendekatan ‘sosio-historis’ dan ‘sintesis-logis’.
Pendekatan historis disertai dengan pendekatan sosiologis, yang khusus
memotret kondisi sosial yang terjadi pada masa al-Quran diturunkan. Pendekatan
ini digunakan untuk menafsirkan ayat-ayat hukum. Sedangkan sintesis-logis
adalah pendekatan yang membahas suatu tema dengan cara mengevaluasi ayat-ayat
yang berhubungan dengan tema yang dibahas. Pendekatan ini digunakan untuk
menafsirkan ayat-ayat metafisis-teologis. Jelas, di sini ditekankan keterpaduan
wahyu.
Gerakan
ganda (double movement) adalah masuk ke akar sejarah untuk menemukan
ideal moral suatu ayat dan membawanya ke dalam konteks kekinian. Gerak pertama
pada teori ini menghendaki pemahaman makna al-Quran dalam konteks
kesejarahannya baik secara spesifik dimana kejadian itu berlangsung (mikro) maupun
secara global bagaimana kondisi sekitar kejadian itu pada umumnya (makro). Di
sinilah peran asbab an-Nuzul dibutuhkan. Kemudian gerak kedua adalah
upaya untuk menerapkan prinsip dan nilai-nilai sistematik dan umum dalam
konteks penafsiran pada era kontemporer yang tentunya mensyaratkan sebuah
pemahaman yang kompleks terhadap suatu permasalahan. Dalam hal ini kepentingan asbab
an-Nuzul adalah substansi historis asbab an-Nuzul yang kemudian
diadaptasikan dengan era kekinian.[13]
b.
Nasr Hamid Abu Zaid dan “Khususus sabab”
Dalam
konteks pemahaman makna ayat-ayat dikenal luas kaidah yang menyatakan:
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
Maksudnya:
patokan dalam memahami makna ayat adalah lafadznya yang bersifat umum, bukan
sebabnya.
Kaidah
ini telah disepakati oleh mayoritas ulama. Dengan kaidah tersebut menjadikan
ayat tidak terbatas berlaku terhadap pelaku, tetapi terhadap siapapun selama
redaksi yang digunakan ayat bersifat umum.
Sementara
ulama masa lampau berpendapat sebaliknya, yakni: pemahaman ayat adalah
berdasar sebabnya bukan redaksinya, kendati redaksinya bersifat umum. Pendapat
ini menjadikan asbab an-Nuzul sebagai sesuatu yang penting. Pendapat ini
dianut oleh cendekiawan Mesir, Nasher Hamid Abu Zaid, salah seorang yang sangat
nyaring menyuarakan ajakan untuk menggunakan hermeneutika dalam memahami
al-Quran. Disadari atau tidak pendapatnya itu mengantarkan pada kesimpulan
bahwa al-Quran adalah produk sejarah yang tidak dapat dapat diterapkan lagi
dewasa ini.
Ia
beranggapan bahwa pendapat mayoritas ulama dapat mengakibatkan terabaikannya hikmah
Tasyri’ dalam soal makanan dan minuman, bahkan mengancam kelanggengan hukum
itu. Ia beranggapan bahwa firman-Nya:
“Janganlah
dekati shalat saat kamu dalam keadaan mabuk”. (QS. An-Nisa’: 43)
Jika
berpegang pada lafaznya yang bersifat umum, dapat menjadikan seseorang menduga
bahwa minum khamar dibolehkan selama seseorang belum akan shalat dan dengan
demikian ketetapan hukum tentang keharaman minuman keras terancam terabaikan.[14]
Salah satu yang menjadi penemuan
kontemporer adalah apa yang disarikan oleh Bassam al-Jamal dalam disertasinya Asbab
an-Nuzul: Ilman min Ulumil Quran. Bahwa asbab an-Nuzul memiliki
signifikansi terhadap penggunaan qiraat. Ia mencoba untuk membahas dan
mengembangkan konsep asbab al-nuzul secara detil dan panjang lebar. Salah satu
pembahasan yang menarik di dalam karya tersebut adalah hubungan asbab al-nuzul
dengan qira'at. Para ulama' pada umumnya meyakini bahwa qira'ah yang
sahih hanya berdasar pada imam tujuh. Lain halnya dengan Bassam, ia berpendapat
bahwa pemilihan qira'ah sangat dipengaruhi oleh asbab al-nuzul.
Berangkat dari fakta di atas, maka
penelitiannya difokuskan pada kajian pengaruh asbab an-nuzul terhadap
qira'ah. Untuk menjawab rumusan masalah sebagai berikut: Pertama, bagaimana
signifikansi asbab al-nuzul terhadap qira'ah menurut pandangan Bassam al-Jamal,
Kedua, Bagaimana kontribusi pemikiran Bassam al-Jamal dalam kajian al-Quran? Metode
yang dipakai adalah deskriptif-analitis di mana selain memberi pemaparan,
penguraian atau penjelasan secara detail tentang pemikiran Bassam al-Jamal, kemudian
dilanjutkan dengan analisa yang mendalam. Berdasarkan metodologi tersebut,
terungkap bahwa riwayat asbab an-Nuzul banyak digunakan oleh ulama
klasik untuk menguatkan pendapat tentang ke-sahih-an suatu mazhab qira'ah,
terlebih qira'ah yang tercakup dalam mushaf Usmani. Hanya saja, Bassam
menyayangkan akan kuatnya subyektifitas masing-masing ulama dalam menghubungkan
riwayat sabab an-Nuzul dan suatu qira'ah, sehingga banyak memunculkan
pendapat yang tak jarang saling bertentangan. Sayangnya, Bassam sendiri tidak
memberikan solusi dengan jelas untuk permasalahan ini. Sehingga kekecewaan
Bassam ini hanya sekedar wacana tanpa adanya tindak lanjut guna menyelesaikan
permasalahan tersebut. Meski demikian, pemikiran Bassam al-Jamal ini patut
diacungi jempol karena, diakui atau tidak, ia telah membuka cakrawala baru
tentang adanya hubungan dan pengaruh riwayat asbab an-Nuzul terhadap
suatu qira'ah.[15]
1.
Motif Penulisan
Mengenai karya al-Wahidi yang sedang
kita kaji ini kiranya kita dapat mengidentifikasi motif penulisannya melalui muqoddimah
yang tidak terlalu panjang. Pertama-tama al-Wahidi mengeluhkan akan kajian
ulumul Quran yang pada masanya ditengarai sedikit melemah. Ia menganggap bahwa
waktu itu para ulama tidak lagi memperhatikan dan memilah mana teks-teks asli
dan palsu, yang sekiranya mereka mengambil yang asli dan membuang jauh-jauh
kabar palsu. Bahkan ia katakan bahwa perhatian ulama-ulama terdahulu terhadap
teks-teks sahih sebab-sebab nuzulul quran jauh dari harapan.
Setiap orang, katanya, menciptakan
sesuatu yang baru. Mereka mendustakan kabar-kabar mengenai sebab turunnya ayat tanpa pernah
berfikir ancaman dari Allah dan rasul-Nya bahwa “barangsiapa berdusta
terhadap al-Quran dengan tanpa ilmu (melalui riwayat yang sahih), maka
hendaklah ia persiapkan tempat duduknya dalam neraka”.[16]
Bertolak dari kenyataan itulah
al-Wahidi menulis kitab ini yang menghimpun sebab-sebab turunnya ayat melalui
pendekatan hadis-hadis Nabi yang ia peroleh guru-gurunya. Ia berharap dengan
adanya kitab yang ia tulis maka kecenderungan umat islam waktu itu pada
kabar-kabar palsu akan berakhir.
2. Metodologi
2. Metodologi
Boleh dibilang karya al-Wahidi yang
satu ini bisa dipertanggungjawabkan keilmiahannya. Ia tidak sembarang mengambil
referensi untuk dicantumkan dalam kitabnya. Setiap hadis dan pendapat yang ia
tuangkan memiliki landasan yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan. Semua
hadis yang ada, selain ia terima dari guru-gurunya juga tercantum dalam
literatur-literatur klasik sebelum eranya, baik dari kitab-kitaf tafsir, hadis,
maghazi maupun sejarah. Mengenai hal ini akan kami paparkan pada
pembahasan selanjutnya.
Sebagaimana kami jelaskan pada
pembahasan yang lalu, bahwa kajian asbabun nuzul bersinggungan langsung
dengan kajian hadis. Maka sebagaimana kitab-kitab hadis, kitab al-Wahidi ini
menggunakan metodologi penulisan hadis dengan penyebutan sanad yang lengkap
kemudian diikuti komentar-komentar dari para ulama. Sampai di sini jelas bahwa
kitab ini dapat menjawab latar belakang dari tujuan penulisan ini. Bahwa
al-Wahidi telah menyebutkan hadis dan sanad secara lengkap hingga para sahabat.
Namun yang menjadi pertanyaan kemudian, sejauh mana otentitas hadis yang ia
kutip dari para gurunya? Sohihkah? Atau daifkah?
3. Sumber
3. Sumber
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya
bahwa penulisan kitab Asbabu Nuzulil Quran tergolong ilmiah. Itu
terlihat dari hadis-hadis yang dimuat dalam kitab ini memiliki sumber yang
nyata dan dapat dipertanggungjawabkan sekalipun kesahihannya masih
dipertanyakan. Begitu juga pendapat-pendapat yang diambil tidak asal memasukkan
pendapat pribadi melainkan kutipan dari kalangan akademisi yang kompeten.
Di sini akan kami sebutkan 477 hadis
yang dapat terlacak dari sumber-sumber literatur klasik:
a.
Literatur Tafsir. Terdapat 310 hadis dari 17
kitab tafsir dengan rincian sebagai berikut:
-
Tafsir as-Sidi (w. 127 H) sebanyak 40
hadis.
-
Tafsir al-Rabi’ al-Bakri (w. 139 H) sebanyak 8 hadis.
-
Tafsir al-Kalbi (w. 146 H) sebanyak 90
hadis.
-
Tafsir Syibl al-Makki (w. 148 H)
sebanyak 3 hadis.
-
Tafsir Muqotil bin Hayyan al-Balkhy (w.
150 H) sebanyak 5 hadis.
-
Tafsir Muqotil bin Sulaiman al-Balkhy
(w. 150 H) sebanyak 34 hadis.
-
Tafsir al-Dhahhak sebanyak 27 hadis.
-
Tafsir Ruh bin Ubadah al-Bashri (w. 205
H) sebanyak 7 hadis.
-
Tafsir Abd al-Razzaq al-Shan’any (w.
211 H) sebanyak 6 hadis.
-
Tafsir Ishaq bin Rahawaih al-Marwazy
(w. 238 H) sebanyak 11 hadis.
-
Tafsir Qira’at al-Nabiy karya Abu Amr
Hafs al-Baghdady (w. 246 H) sebanyak 1 hadis.
-
Tafsir Abu Sa’id al-Asajj al-Kufy (w.
257 H) sebanyak 5 hadis.
-
Tafsir Fadhail al-Quran karya Abu Bakar
Ja’far al-Faryaby (w. 301 H) sebanyak 1 hadis yang diulang sebanyak 3 kali.
-
Tafsir al-Thabary (w. 310 H) sebanyak 3
hadis.
-
Tafsir Ma’ani al-Quran wa I’robuhu
karya Abu Ishaq Ibrahim al-Baghdadi (w. 311 H) sebanyak 1 hadis.
-
Tafsir Ibn Abi Hatim al-Razi (w. 327 H)
sebanyak 4 hadis.
-
Tafsir Abu Muhammad Abdullah
al-Ashbihany (w. 369 H) sebanyak 62 hadis.
b.
Literatur Hadis. Terdapat 128 hadis dari 19 kitab
hadis dengan perincian sebagai berikut:
-
Al-Muwattha’ Imam Malik (w. 179 H) sebanyak
3 hadis.
-
Al-Zuhd wa al-Roqoiq karya Abu
Abdurrahman al-Taimi (w. 181 H) sebanyak 2 hadis.
-
Al-Musnad Muhammad Abdullah al-Mishry
(w. 197 H) sebanyak 3 hadis.
-
Al-Musnad karya Imam al-Syafi’i (w. 204
H) sebanyak 3 hadis.
-
Al-Mushonnaf Abu Bakr al-Shan’ani (w.
211 H) sebanyak 6 hadis.
-
Al-Sunan karya Abu Usman al-Khurosany
(w. 227 H) sebanyak 2 hadis.
-
Al-Musnad Abu al-Hasan Musaddad
al-Bashry (w. 228 H) sebanyak 1 hadis.
-
Al-Musnad Abu al-Hasan al-Jauhari (w.
230 H) sebanyak 3 hadis.
-
Al-Musonnaf Ibn Abi Syaibah (w. 235 H)
sebanyak 1 hadis.
-
Al-Musnad Abu Abdullah Ahmad
al-Baghdady (w. 241 H) sebanyak 10 hadis.
-
Al-Jami’ al-Sahih al-Bukhori (w. 256 H)
sebanyak 7 hadis.
-
Al-Zuhriyyat Abu Abdillah Muhammad
al-Naisaburi (w. 258 H) sebanyak 13 hadis.
-
Al-Sahih Imam Muslim (w. 261 H)
sebanyak 4 hadis
-
Al-Musnad Abu al-Abbas al-Hasan
al-Syaibany (w. 303 H) sebanyak 7 hadis.
-
Al-Musnad Abu Ya’la (w. 307 H) sebanyak
19 hadis.
-
Al-Mu’jam al-Thabrani (w. 360 H)
sebanyak 1 hadis.
-
Al-Sunan al-Daru Quthny (w. 385 H)
sebanyak 12 hadis.
-
Al-Musnad al-Muttafiq al-Sahih ala
Kitab Muslim karya Abu Bakr Muhammad bin Abdullah al-Syaibani (w. 388 H)
sebanyak 14 hadis.
-
Al-Mustadrok karya al-Hakim (w. 405 H)
sebanyak 17 hadis.
c.
Literatur al-Maghazy (Naskah Peperangan) dan Tarikh
(Sejarah) sebanyak 39 hadis dari 5 naskah dengan perincian sebagai berikut:
-
Al-Maghazy Musa bin Uqbah al-Qurosyi
(w. 141 H) sebanyak 3 hadis
-
Al-Maghazy Abu al-Mu’tamir al-Bashry
(w. 143 H) sebanyak 4 hadis
-
Al-Maghazy Muhammad bin Ishaq
al-Qurosyi (w. 150 H) sebanyak 28 hadis
-
Akhbar Makkah Muhammad bin Abdullah
al-Ghassani al-Makky (w. 223 H) sebanyak 3 hadis
-
Al-Awroq fi Akhbar Ali Abbas karya
Muhammad bin Yahya al-Baghdady (w. 335 H) sebanyak 1 hadis[17]
4. “Asbabu Nuzulil Quran” al-Wahidi dan Studi Hadis (Sebuah Blunder?)
4. “Asbabu Nuzulil Quran” al-Wahidi dan Studi Hadis (Sebuah Blunder?)
Sudah kita paparkan di depan bahwa
penulisan kitab al-Wahidi ini merupakan buah dari keluh kesahnya atas
keberadaan hadis-hadis palsu. Kemudian al-Wahidi dating dengan asbab
an-Nuzul-nya yang demikian lengkap hadis dan sanadnya. Hanya saja yang
menjadi blunder baginya ialah hadis-hadis yang dikutipnya banyak yang daif. Tentu
ini menjadi kesalahan yang cukup fatal baginya. Karenanya wajar jika kemudian
banyak ulama yang mengkritik al-Wahidi dalam masalah ini.
Memang sebagai ulama al-Wahidi
memang diakui kepakarannya dalam banyak cabang ilmu. Hanya saja ia bukan pakar
dalam ilmu hadis. Sementara kajian sabab an-Nuzul mensyaratkan pada
penyandaran hadis dan sanad dalam hadis merupakan titik perhatian dalam ilmu
kritik hadis.[18]
Terlepas dari hal itu, kitab al-Wahidi
telah menjawab keresahannya. Adapun keberadaan hadis yang daif itu
menjadi catatan lain. Yang perlu diperhatikan juga, kitab al-Wahidi ini menjadi
sorotan ulama-ulama setelahnya dan banyak pula yang menjadikannya sebagai
rujukan meskipun dengan kritik-kritik yang ada. Wallahu a’lam.
[2] M. Quraish Shihab, Kaidah
Tafsir, (Ciputat: Penerbit Lentera Hati), hlm. 235
[3] Muhammad Abdul Adzim
al-Zarqony, Manahilul Irfan, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), hlm. 64
[4] M. Quraish Shihab, Kaidah
Tafsir, (Ciputat: Penerbit Lentera Hati), hlm. 236
[5] Bassam al-Jamal, Asbab
an-Nuzul, (Maroko: al-Markaz al-Tsaqofy al-Aroby), hlm. 26
[6] Al-Wahidi, Asbab
Nuzul al-Quran, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), hlm. 10
[7] QS. At-Taubah: 118
[8] Lihat Manahilul
Irfan karya Muhammad Abdul Adzim al-Zarqony, (Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah), hlm. 65-68. Ketujuh faidah atau fungsi tersebut ialah; Mengetahui
hikmah disyariatkannya suatu hukum, membantu memahami ayat dan mengurai
kemusykilannya, menghindari dugaan adanya pembatasan hukum, takhsis hukum
sesuai sebab turunnya, menyingkap ketersembunyian makna dan lafadz hukum,
mengetahui kepada siapa sebuah ayat diturunkan, dan memudahkan hafalan.
[9] Al-Wahidi, Asbab
Nuzul al-Quran, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), hlm. 10
[10] Muhammad Abdul Adzim
al-Zarqony, Manahilul Irfan, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah), hlm.
68-69
[12] M. Quraish Shihab, Kaidah
Tafsir, (Ciputat: Penerbit Lentera Hati), hlm. 239.
[13] Hermeneutika
Fazlur Rahman: Double Movement Theory, hlm. 14
[14] M. Quraish Shihab, Kaidah
Tafsir, (Ciputat: Penerbit Lentera Hati), hlm. 242
[15] Wuwun Khoirun Nisya’,
Tesis Signifikansi Asbab Al-Nuzul Terhadap Qira'at (Telaah atas Kitab Asbab
al-Nuzul-Ilman min Ulum al-Qur'an Karya Bassam al-Jamal),
digilib.uin.suka.ac.id
[16] Al-Wahidi, Asbabu
Nuzulil Quran, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, hlm. 11
[17] Al-Wahidi, Asbabin
Nuzul, (Muhaqqiq: Mahir al-Fahl), Maktabah Syamilah, hlm. 29-43
[18] Al-Wahidi, Asbabin
Nuzul, (Muhaqqiq: Mahir al-Fahl), Maktabah Syamilah, hlm. 4
Tidak ada komentar :
Posting Komentar