Selamat Datang di Dunia olient_online

Selamat Datang di Dunia Mini olient_online

Rabu, 13 Maret 2013

Studi Hadis Hasan

PENDAHULUAN

Dilihat dari sudut pandang kualitas, hadis dapat diklasifikasikan menjadi hadis sahih, hasan, dan dha’if. Pembahasan tentang hadis hasan selalu bersinggungan dengan hadis sahih. Tidak hanya karena keduanya berstatus sebagai hadis maqbul, dapat diterima sebagai hujjah dan dalil agama, tetapi juga dilihat dari segi persyaratan dan kriteria-kriterianya yang hampir sama. Dari itu pula Imam Baiquni mendefinisikannya secara singkat dalam sebuah bait. Karena pendefinisiannya pun telah dipaparkan pada bait sebelumnya, yakni pada penjelasan hadis sahih. Hanya saja ada persyaratan hadis sahih yang tidak dimiliki oleh hadis hasan.
Para ulama memberikan definisi yang beragam mengenai hadis hasan. Perbedaan ini terletak pada lingkup takaran kriteria sebuah hadis dikatakan hasan. Ada yang mempersyaratkan sangat ketat penerimaan hadis, terutama di kalangan ushuliyyin. Ada pula yang mempermudah persyaratan hadis hasan. Hal ini tidak mengherankan bila memandang posisi hadis hasan yang mengambang diantara kriteria sahih dan dha’if. Maka wajar jika kriteria hasan menjadi relatif diantara kalangan muhaddisin. Ia tidak memiliki parameter yang pasti sebagaimana hadis sahih.
Sejarah mencatat bahwa hadis hasan pertama kali mencuat ke publik, terutama khalayak Muhaddisin, dibawa oleh Imam at-Tirmidzi melalui kitabnya, Sunan at-Tirmidzi. Buku tersebut sering menjadi sumber utama berkaitan dengan hadis hasan. Pada awal mula hadis dari segi kualitasnya hanya dua, yakni hadis sahih dan dha’if. Kemudian setelah mempertimbangkan cacat sedikit saja misalnya dhabith yang kurang sempurna (ghayr tamm) sedikit dimasukkan ke bagian dha’if, maka diambillah jalan tengah yaitu hadis hasan.
Pada realitanya hadis hasan lebih banyak beredar di kalangan pengkaji hadis. Sementara masyarakat kebanyakan hanya menerima hadis sahih atau menolak hadis dha’if. Terlebih kriterianya yang masih menjadi ikhtilaf di antara kalangan ulama.
Demikian selayang pandang perihal hadis hasan. Semoga bermanfaat.


PEMBAHASAN

الحسن المعروف طرقا وغدت # رجاله لا كالصحيح اشتهرت

A. DEFINISI HADIS HASAN
Kata hasan secara etimologi merupakan sifat musyabbahah dari kata al-husn, yang berarti al-jamal (bagus). Sedangkan secara istilah para ulama memiliki definisi yang berbeda mengenai hadis hasan. Disini akan kami coba paparkan beberapa pendapat tersebut:
Pertama, Definisi hadis hasan menurut Imam Baiquni ialah ‘al-ma’ruf thuruqon’, yakni hadis yang telah diketahui silsilah rawi yang mengeluarkannya. Artinya sanadnya sampai pada Nabi Muhammad SAW. Kemudian diikuti dengan kata ‘wa ghodat rijaluhu’, yakni periwayatnya terkenal adil dan dhabith. Akan tetapi Imam Baiquni membatasinya dengan kata selanjutnya, ‘la kasshahih isytaharot’, yakni keterkenalan (ke-dhabith-an) rawinya di bawah kualitas sahih. Definisi ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh al-Khattabi, yaitu hadis yang diketahui tempat keluarnya, para perawinya masyhur (dikenal), menjadi tempat beredarnya banyak hadis, diterima oleh banyak ulama, dan digunakan oleh sebagian besar fuqoha’.
Kedua, Definisi menurut at-Tirmidzi, yaitu setiap hadis yang pada sanadnya tidak terdapat periwayat yang tertuduh dusta, tidak terdapat kejanggalan dan diriwayatkan pula melalui jalan yang lain.
Ketiga, Definisi menurut Ibn al-Shalah, yaitu hadis yang disandarkan kepada Nabi yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh periwayat yang adil dan dhabith, diterima dari paeriwayat yang adil dan dhabith hingga akhir sanad, tidak ada syadz (kejanggalan) dan tidak mengandung illat (cacat).
Keempat, Definisi menurut Ibn Hajar al-Asqalani, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang adil, kurang kuat hafalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung illat, dan tidak pula mengandung syadz. Definisi ini yang kemudian banyak diikuti oleh para ulama hadis.
Dengan demikian, hadis hasan pada dasarnya hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil, yang derajat dhabithnya lebih ringan dari orang yang serupa hingga puncak (akhir) sanad, tidak ada syudzudz maupun illat. Dengan kata lain, hadis hasan hampir sama dengan hadis sahih, hanya saja diantara salah seorang periwayatnya ada yang kurang dhabith, sedangkan pada hadis sahih seluruh rawinya dhabith.

B. KRITERIA-KRITERIA HADIS HASAN
Pada pembahasan tentang hadis sahih telah dijelaskan bahwa kriteria-kriteria hadis sahih adalah (1) sanadnya bersambung; (2) para periwayatnya adil; (3) para periwayatnya dhabith; (4) terhindar dari syadz; (5) terhindar dari illat. Berpijak dari definisi di atas maka kriteria-kriteria hadis hasan juga sama dengan hadis sahih. Hanya saja pada point ke-4 periwayatnya ada yang kurang dhabith. Jika dilihat dari kedudukannya, hadis hasan berada diantara hadis sahih dan dhaif. Ia  berdiri di atas dua kaki. Di beberapa sisi ia memiliki kriteria yang sama dengan sahih, namun bila melihat sisi ke-dhabith-an yang rendah itu hampir mengarahkan pada hadis dha’if. Perawinya tidak se-dhabith rawi sahih, tapi tidak pula serendah tingkatan dha’if.
Secara sederhana kata dhabith dapat diartikan dengan kuat hafalan. Ibn Hajar al-Asqalani dan al-Sakhawi menyatakan bahwa seseorang yang disebut dhabith adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengar dan mampu menyampaikan hafalan itu kapan saja dia menghendaki. Kekuatan hafalan ini sama pentingnya dengan ke-adil-an. Kalau ke-adil-an berkenaan dengan kapasitas pribadi, maka ke-dhabith-an terkait dengan kualitas intelektual. Antara sifat adil dan dhabith terdapat hubungan yang sangat erat. Oleh para ulama hadis adil dan dhabith periwayat hadis kemudian dijadikan satu dengan istilah tsiqah.
Kualitas ke-dhabith-an periwayat dengan periwayat lain tidaklah sama. Ada periwayat yang sempurna ke-dhabith-annya, ada yang dhabith saja bahkan ada yang kurang dhabith serta tidak dhabith. Seorang periwayat disebut sempurna ke-dhabith-annya (tamm al-dhabth) apabila ia hafal dengan sempurna hadis yang diriwayatkannya, mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain, dan paham dengan baik hadis yang dihafalnya itu. Seorang periwayat disebut dhabith saja apabila hafal dengan sempurna hadis yang diriwayatkannya dan mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain. Hadis yang disampaikan periwayat yang demikian, dapat dikelompokkan pada hadis sahih-di samping tentunya jika terpenuhi kriteria hadis sahih yang lain. Periwayat yang kurang dhabith adalah periwayat yang hafal hadis yang diriwayatkan tetapi sekali-kali mengalami kekeliruan dalam menyampaikan hadis itu kepada orang lain. Hadis yang disampaikan periwayat yang kurang dhabith dapat dikelompokkan pada hadis hasan. Periwayat disebut tidak dhabith apabila tidak hafal terhadap hadis yang diriwayatkan atau banyak mengalami kekeliruan dalam meriwayatkan hadis dan hadis yang diriwayatkannya dinyatakan sebagai hadis dha’if.

C. MACAM-MACAM HADIS HASAN
Sebagaimana hadis sahih, hadis hasan juga dibagi menjadi 2:
Pertama, Hasan li dzatihi adalah hadis yang memenuhi kriteria di atas, yaitu: sanadnya bersambung, periwayatnya adil, periwayatnya kurang dhabith, terlepas dari szadz, dan terlepas dari illat. Hadis ini bisa naik derajat atau kualitasnya menjadi hadis sahih li ghairihi, apabila ditemukan adanya hadis lain yang menguatkan kandungan matan-nya atau adanya sanad lain yang meriwayatkan matan hadis yang sama, sebagai tabi’ atau syahid.
Kedua, Hasan li ghoirihi adalah hadis dha’if yang memiliki beberapa jalur (sanad), dan sebab ke-dhaif-annya bukan karena perawinya fasik atau dusta. Berdasarkan pengertian tersebut menunjukkan bahwa hadis dhaif itu kemudian meningkat derajatnya menjadi hasan li ghairihi karena dua hal:
a. Hadis tersebut diriwayatkan melalui jalur lain atau lebih yang semisal atau lebih kuat.
b. Penyebab ke-dha’if-annya bisa karena buruk hafalan perawinya, atau sanadnya terputus, atau perawinya tidak dikenal.

D. CONTOH HADIS HASAN
Hasan li dzatihi:
حدثنا قتيبة حدثنا جعفر بن سليمان الضبعي عن أبي عمران الجوني عن أبي بكر بن أبي موسى الأشعري قال سمعت أبي بحضرة العدو يقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ان ابواب الجنة تحت ظلال السيوف
Imam Tirmidzi menempatkan hadis ini pada: Hadis hasan gharib. Hadis ini hasan karena empat orang perawi sanadnya tergolong tsiqah, kecuali Ja’far bin Sulaiman ad-Dluba’i.
Hasan li ghairihi:
ما رواه الترمذي وحسنه من طريق شعبة عن عاصم بن عبيد الله عن عبد الله بن عامر بن ربيعة عن أبيه ان امرأة من بني فزارة تزوجت على نعلين فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أرضيت من نفسك ومالك بنعلين؟ قالت نعم فأجاز
Imam Tirmidzi berkata: dalam kasus hadis tersebut terdapat jalur lain, dari umar, Abu Hurairah, Aisyah dan Abu Hadrad.
Ashim merupakan (rawi) yang dha’if karena  buruk hafalannya. Namun, Tirmidzi menghasankan hadis tersebut karena adanya (riwayat dari) jalur lain.

E. HUKUM HADIS HASAN
Sebagaimana hadis sahih, hadis hasan juga dapat dijadikan sebagai hujjah baik hasan li dzatihi maupun hasan li ghairihi, meskipun hadis hasan kekuatannya berada di bawah hadis sahih. Karena itu, sebagian ulama memasukkan hadis hasan sebagai bagian dari kelompok hadis sahih, misalnya al-Hakim al-Naysaburi, Ibn Hibban, dan Ibn Huzaymah, dengan catatan bahwa hadis hasan secara kualitas berada di bawah hadis sahih sehingga kalau terjadi pertentangan yang dimenangkan adalah hadis sahih. Hanya saja, berbeda dengan hadis sahih, hadis hasan tidak ada yang berstatus mutawatir kesemuanya berstatus ahad baik yang masyhur, aziz, maupun gharib, sehingga status kehujjahannya juga tidak persis sama dengan hadis sahih.

F. KITAB-KITAB HADIS HASAN
Di antara kitab-kitab hadis yang memuat hadis hasan, adalah sebagai berikut:
a. Jami’ at-Tirmidzi yang masyhur dikenal Sunan at-Tirmidzi.
b. Sunan Abi Dawud, di dalamnya terdapat hadis sahih, hasan dan dhaif dengan dijelaskan kecacatannya. Hadis yang tidak dijelaskan ke-dha’if-annya dan tidak dinilai ke-sahih-annya oleh para ulama dinilai hasan oleh Abu Dawud.
c. Sunan ad-Daruquthni, yang dijelaskan di dalamnya banyak hadis hasan.

G. ISTILAH HADIS HASAN-SAHIH
Kenyataannya istilah hadis hasan-sahih seperti ini musykil, sebab hadis hasan itu derajatnya lebih rendah dari hadis sahih. Maka, bagaimana menggabungkan keduanya sementara tingkatan keduanya berbeda? Para ulama telah menjawab maksud dari pernyataan at-Tirmidzi dengan jawaban yang bermacam-macam. Yang terbaik adalah pernyataan Ibnu Hajar yang diamini oleh as-Suyuthi. Ringkasnya sebagai berikut:
a. Jika hadisnya mempunyai dua buah sanad atau lebih, maka berarti hadis tersebut adalah hasan menurut salah satu sanad, dan sahih menurut sanad lainnya.
b. Jika hadisnya hanya mempunyai satu sanad, maka berarti hadis tersebut adalah hasan menurut satu kelompok, dan sahih menurut kelompok lain.


PENUTUP

Pada akhirnya, hadis hasan adalah hadis yang sedefinisi dengan hadis sahih, yakni hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yang adil, hanya saja derajat dhabithnya lebih ringan dari orang yang serupa hingga puncak (akhir) sanad, tidak ada syudzudz maupun illat. Demikian definisi yang banyak dijadikan pijakan para ulama hadis.
Hadis hasan bisa dijadikan hujjah sebagaimana hadis sahih, mengingat derajatnya yang terpaut sedikit dibawah hadis sahih. Hanya saja bila ada pertentangan dengan hadis sahih maka lebih dimenangkan yang hadis sahih.
Demikian makalah yang dapat kami sajikan di hadapan teman-teman sekalian. Tentu sebagai manusia biasa kami tak luput dari lupa dan alpha. Maka saran dan kritik yang membangun dari teman-teman sekalian sangat kami harapkan demi sebuah perbaikan di masa mendatang.
Wallahu A’lam Bishshawab.


DAFTAR PUSTAKA

al-Asqalani, Ibn Hajar. Nukhbah al-Fikar
al-Asqalani, Ibn Hajar. Nuzhah al-Nazhar.
al-Nawawi, Abu Zakariya Yahya ibn Syarf. 1987. Shahih Muslim bi Syarh al-Nawaw. Mesir: al-Mathba’ah al-Mishriyyah.
as-Suyuthi, Jalaluddin. 2002. Tadrib ar-Rawi fi Syarh Taqrib an-Nawawi. Kairo: Darul Hadis.
At-Tirmidzi. Sunan at-tirmidzi. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Az-Zarqani, Syekh Muhammad. Syarh Mandzumah al-Baiquniyyah. Surabaya: Al-Hidayah.
Ibn al-Shalah, Abu Amr Utsman ibn Abd al-Rahman. 1972. Ulum al-Hadits. al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah al-Islamiyah.
Idri. 2010. Studi Hadis, Jakarta: Kencana.
Thahan, Mahmud. 2012. Ilmu Hadis Praktis. Bogor: Pustaka Thariqul Izzah.

Tidak ada komentar :