Pesona awan yang memerah masih menggantung di hamparan langit ufuk barat. Segera menyusul kegelapan petang, mengejar dari jagad timur. Siang pun dilumat oleh datangnya malam. Menghentikan aktifitas para pekerja. Menyapa para pelajar untuk bersua bersama orang tua. Menyatukan induk hewan dengan anaknya. Memanggil suara binatang malam. Mempertemukan para bapak dengan istri dan anaknya. Malam sedang berpacu.
Segera adzan bergema. Mengalun merdu menyapa alam, laut, matahari, tumbuh-tumbuhan, hewan, serta seluruh makhluk di muka bumi ini. Bertasbih mengagungkan kebesaran-Nya. Sementara aku masih berdiri tak jauh dari sumber suara itu. Memandangi lekat-lekat surau tua di depanku. Sekian lama ku tinggalkan ke pesantren, di mataku surau itu masih tetap tampak megah, indah dan berharga walau telah lapuk dimakan usia. Barangkali laboratorium ilmu dan ibadah itu tidak begitu menarik bagi kebanyakan orang. Selain dinding-dindingnya yang telah keropos, atau atap yang bocor saat musim hujan tiba, tidak ada benda-benda yang berharga atau istimewa disana. Bila dibandingkan dengan bangunan-bangunan rumah disekelilingnya, surau itu ibaratkan rakyat kecil pucat, berdiri di tengah para pejabat kaya raya untuk meminta-minta.
Aku pun memasuki bangunan itu. Setelah selesai mendirikan sholat Maghrib berjama’ah, kusempatkan membaca Al-Qur’an walau sejenak. Ku ambil Mushaf Al-Qur’an yang tampak lusuh dan berdebu di lemari. “Tampaknya mushaf-mushaf ini tak pernah digunakan” pikirku.
“Rizal! Kapan pulang?” Kyai Abdullah, imam surau itu memanggilku. Beliau adalah orang yang selalu membimbingku sebelum di pesantren. Di bawah asuhannya, pertama kali aku mampu membaca Al-Qur’an kala masih kecil. Dulu, setiap hari aku mengaji dengan beliau bersama teman-temanku yang sangat banyak. Selain alim dan bersahaja, beliau juga hafal Al-Qur’an.
Aku berjalan, merunduk menghadap beliau. Walaupun semakin tua, tapi sorot wajah beliau masih sama seperti dulu. Teduh dan mengayomi umat. Dengan sorban yang mengelilingi leher beliau, semakin menambah wibawa. Ku sempatkan mencium tangan beliau terlebih dahulu. “Oh.. inggih Pak Kyai. Tadi sore setelah Ashar”.
Kami terdiam sejenak. Lalu ku beranikan diriku bertanya-tanya. “Kok sepi ya Pak Kyai? Padahal, dulu waktu setelah Maghrib seperti ini kan paling ramai-ramainya orang mengaji?”
Kyai Abdullah menghirup nafas sejenak. Beliau tampak mendesah. “Ya… beginilah Zal. Semua orang sekarang menganggap belajar Al-Qur’an tidak penting. Mereka sibuk mengurusi urusan duniawi sampai melupakan pendidikan Al-Qur’an bagi anak-anak mereka. Boro-boro mengurusi ngaji, berjama’ah saja mereka susah. Paling-paling, ada jama’ah ya waktu Maghrib saja. Itu pun tidak seramai dulu. Sampai surau ini akan roboh pun mereka tidak pula memperhatikannya”.
Keresahan dan keputusasaan beliau juga aku rasakan. Sekali lagi kami terdiam. Aku tak berani mengeluarkan kata-kata. Beliau terbatuk-batuk sesaat. “Zal! Aku ini sudah tua. Aku tak segiat seperti dulu untuk berdakwah. Sudah saatnya, sebagai generasi muda kamu membaktikan dirimu untuk menjaga keislaman di desa ini. Kalau tidak ada yang meneruskan, apa jadinya agama islam ke depan?”.
“Pak Kyai, aku ini belum bisa apa-apa. Aku ini anak kemarin sore yang masih harus menuntut ilmu lebih bayak”.
“Lebih baik punya ilmu sedikit tapi diamalkan, daripada ilmu banyak tapi lupa dengan masyarakat di sekelilingnya. Setiap saat kamu masih dapat belajar dari realita kehidupan”.
* * *
Pukul setengah empat pagi.
Aku terbangun. Diluar hujan deras masih mengguyur. Barang kali tak banyak orang yang tahu sejak jam berapa hujan itu turun. Semua orang terbius oleh nikmatnya tidur malam. Maklum, para orang tua sejak pagi sampai sore harus membanting tulang setiap hari. Sedangkan para anak-anak belajar di pagi hari dan bermain sore harinya. Maka wajar, ketika jarum jam ada pada angka sepuluh malam, desa ini telah sunyi senyap. Rupanya malam hari menjadi waktu tepat untuk beristirihat, melepas lelah dan penat.
Aku berusaha bangkit dari tidur sekedar untuk mendirikan sholat malam. Tapi rasa dingin yang cukup menjadikanku ini menggigil, memberatkan niatku. Sementara diluar, guntur bergemuruh keras dan bersahut-sahutan. Malam benar-benar terbalut oleh pekatnya gelap dan derasnya hujan. Sebagaimana juga aku yang tak kuasa untuk melepas jaket dan selimut. Malam itu, aku kalah oleh hawa dingin. Akhirnya, kuurungkan niatku untuk bangun. Rasanya membalutkan jaket dan selimut lebih nikmat dibandingkan harus menyentuh sepercik air wudhu yang dinginnya tiada terkira.
“Ngga’ bangun sekali aja kan ngga’ apa-apa. Habisnya dingin sih! Toh, hujannya semakin deras”. Batinku berusaha memantapkan diri ini untuk benar-benar mengurungkan niat. Padahal sesungguhnya setan sedang menyelinap diam-diam, menggodaku untuk meninggalkan kebaikan. Aku terlupa bahwa pada saat hujan yang deras seperti ini, Allah melimpahkan rahmat di setiap tetesan, bagi mereka yang menenggelamkan diri dalam runduk do’a, bermunajat, mengagungkan kebesaran-Nya.
Aku benar-benar kalah pagi ini. Segera kupejamkan mata kembali. Menikmati dunia mimpi dalam balutan guyuran air hujan. Namun, ketika alam sadarku hendak melangkah ke alam mimpi, sayup-sayup aku mendengar suara bersahut-sahutan dari ujung corong speaker.
Seruan adzan Subuh menggema. Menyapa hujan yang sesekali diiringi oleh hembusan angin kencang. Sangat kencang. Menyapa iman para muslimin. Seberapa besar mereka kuat memenuhi panggilan Ilahi diantara dinginnya air hujan dan nikmatnya tidur malam. Aku segera bangun dan memaksakan muka ini dibasuh oleh dinginnya air wudhu. Panggilan sholat subuh akhirnya aku dirikan sendirian di Musholla pribadi. Karena terlalu berat bagiku untuk berjama’ah di surau yang cukup jauh dari rumahku, dalam keadaan hujan yang sederas ini. Setelah sholat kusempatkan membaca Al-Qur’an walaupun hanya satu juz.
* * *
Pukul setengah enam pagi.
Gumpalan awan hitam telah bergeser dari langit desa. Hujan telah reda meninggalkan cerita yang beraneka ragam. Gara-gara hujan, rumah pak Rahmat dekat tepi sungai, penuh dengan air luapan sungai yang pasang akibat hujan semalam. Sementara di seberang timur, pak Ahmad seperti kebakaran jenggot. Padi yang telah menguning, gagal dipanen karena sawahnya penuh air seperti lautan. Pak Hadi adalah yang paling riang. Sejak musim hujan tiba, dagangan payung dan mantolnya laris manis tiap hari diburu pembeli. Sebagaimana cerita-cerita itu, hujan semalam juga menyisakan cerita duka yang mendalam. Terlebih bagi diriku yang merasa amat kehilangan.
Aku sedang duduk di balai depan rumahku. Ku tebarkan pandangan ke semua arah. Di depan sana sisa-sisa air hujan masih terlihat di ujung dedaunan yang menetes. Pandanganku terheran oleh langkah Andi yang tergesa-gesa. Kemudian disusul Abdul dan Agus dibelakangnya. Aku berjalan menghampiri mereka.
“Gus, ada apa? Kok jalanmu tergesa-gesa seperti ada sesuatu yang penting” aku mencoba mereka-reka apa yang ada di pikiran Agus. Tapi tidak bisa.
“Lho, Zal! Kok kamu masih di rumah? Memangnya kamu tidak tahu musibah semalam ya?”
“Musibah! musibah apa?” aku mengerutkan dahi. Mataku menatapnya lekat-lekat penuh penasaran.
“Musibah tadi Shubuh. Kyai Abdullah wafat tertimpa runtuhan surau yang ambruk waktu beliau sedang Sholat Shubuh. Aku juga belum tahu pastinya, soalnya aku baru tahu dari Pakde. Sudah ya… aku buru-buru mau langsung kesana” Agus menjelaskan singkat, padat dan jelas.
Mendengar kabar itu, ususku bagai dilolosi satu per satu. Hatiku bagai dicabik-cabik oleh tajamnya pedang. Darahku seolah berhenti mengalir, membeku setelah mendengar bahwa orang yang selama ini menjadi penjaga moral dan ruhku kini telah tiada. Sampai-sampai, aku pun tidak sadar kalau Agus telah berjalan meninggalkanku.
Tidak perlu pikir panjang, aku segera menyusul mengikutinya. Di jalan hatiku kalang kabut. Seolah tidak rela dengan kepergian Kyai Abdullah. Kenapa beliau harus pergi duluan disaat desa ini masih sangat membutuhkan sosok beliau. Kenapa tidak para koruptor, teroris atau penguasa yang dholim yang meninggal lebih dulu. Kenapa tidak mereka yang selama ini memalukan dan merugikan bangsa dan agama ini.
Pagi itu mendung desaku benar-benar berduka. Sosok yang selama ini menjadi pilar utama penyangga moral dan iman desa ini harus kembali kepada-Nya. Tokoh yang selama ini tidak pernah lelah mensyi’arkan panji-panji islami kini telah tiada. Meninggalkan desa yang sesungguhnya belum kokoh menghadapi lika-liku kehidupan. Meninggalkan kami semua. Terlebih, meninggalkanku yang belum siap, belum mampu dan merasa belum layak meneruskan perjuangannya.
Pagi itu hujan telah membawa pesan dari surau. Pesan peringatan bagi umat agar selalu memperhatikannya. Dalam artian agar umat ini senantiasa meramaikan surau-surau dengan mendirikan sholat berjama’ah lima waktu, serta mengadakan majlis-majlis pengajian. Karena pada hakikatnya, surau itu telah roboh jauh-jauh hari ketika umat ini telah merendahkan urusan sholat berjama’ah demi mengejar nafsu duniawi. Sesungguhnya sholat dapat mencegah dari perbuatan keji dan inkar.
Wallahu A’lam…
Brakas, dalam keresahan atas kondisi keumatan islam kekinian
Tidak ada komentar :
Posting Komentar