Dimana-mana tempat wisata dan
alun-alun selalu menjadi primadona kala tahun baru menjelang. Semua orang
berbondong-bondong meninggalkan aktivitasnya masing-masing. Meletakkan
urusan-urusan yang meski mendesak. Mengorbankan tidur malam dan mimpi-mimpi
indah yang hendak diraih kemudian hari. Tak tua, tak muda, terlebih remaja. Tak
peduli dampak yang menyeruak esok hari. Meluapkan kegembiraan yang entah apa.
Merayakan “Tahun Baru” yang gegap gempita, katanya.
Semua tempat berhias diri. Jauh-jauh
hari merancang berbagai arena. Menawarkan bermacam jajakan semewah-mewahnya.
Mulai dari pagelaran, pertunjukan, sulap, hingga atraksi. Berlomba-lomba
mendatangkan artis dan seniman ibukota. Tak peduli biaya yang dikeluarkan
berapa. Yang penting tahun baru semarak dan gegap gempita, katanya.
Kalau sudah demikian, semua pihak
saling mencari keuntungan. Para sponsor bertebaran memberikan kontribusi dan
menuntut kompensasi tentunya. Pihak seniman dan artis-artis menaikkan tarif
setinggi-tingginya. Seakan tak mau ketinggalan, pedagang asongan ikut
berjejal-jejalan, sekedar menawarkan terompet, air minum dan petasan. Sementara
para pencuri dan pencopet berkeliaran memanfaatkan kesempatan dalam keramaian.
Semua berkelindan hingga esok hari.
Lalu apa akibatnya? Sudah pasti
kemacetan memenuhi jalanan. Sampah-sampah menumpuk berserakan. Tindak pencurian
dan pidana merajalela. Suasana gaduh dan tak terkendali. Aktifitas esok hari
terbengkalai karena semua orang kelelahan setelah begadang semalaman. Semua orang terlupa dari
memikirkan masa depan mereka.
Siapa yang menjadi korban? Tentulah mereka petugas kebersihan. Pengguna jalan yang ingin atau telah menunaikan aktifitasnya. Masyarakat sekitar acara yang ingin tidur dan beristirahat. Polusi udara yang tercemar di tengah malam. Dan lingkungan menjadi semakin kumuh. Dan yang paling merugikan adalah waktu yang tersia-siakan. Terlebih para pelajar yang telah menggadaikan cita-citanya semalam hanya untuk berfoya-foya atau hanya sekedar ikut-ikutan.
Demikian budaya yang selama ini
dilakukan bangsa kita. Entah mempunyai esensi tersendiri atau hanya ikut-ikutan
di luar sana. Merayakan
sesuatu boleh-boleh saja. Tak ada larangan untuk itu. Tapi seyogyanya jika
diwujudkan secara proporsional dan profesional. Proporsional dalam arti memang
sesuatu yang perlu dan layak dirayakan oleh kita. Juga profesional dalam arti
disajikan secara baik dengan menimbang sisi baik dan buruk, manfaat dan
madhorotnya. Tanpa harus mengorbankan sesuatu atau aktifitas yang lebih besar.
Maka
idealnya -jika memang tahun baru layak dirayakan- bila mana di penghujung atau
awal tahun ini dirayakan dengan bermuhasabah, mengintrospeksi diri
pribadi serta merenungi amal dan perbuatan yang telah lalu guna menyongsong
hari esok yang lebih baik dan menjanjikan. Sebagaimana manusia yang terbiasa
memperingati hari lahirnya, maka sepatutnya moment tahun baru ini direnungi
bersama. Apa prestasi dan amal baik yang telah kita capai? Sudah sebandingkah
dengan waktu yang telah kita lalui
setiap hari? Bersama kita renungi akan keberadaan kita sebagai bagian dari
bangsa Indonesia yang telah dianugerahi begitu banyak nikmat tak terhingga,
sehingga apa yang mampu kita persembahkan sebagai wujud kontribusi konkrit
terhadap negeri ini? Seberapa besar kualitas negeri ini sehingga masih saja
masalah berdatangan silih berganti?
Karenanya, penulis lebih sependapat
jika tahun baru dirayakan dengan ber-muhasabah, mengadakan majlis
dzikir, atau istighosah, sebagai perenungan atas segala amal. Atau bahkan
diskusi ilmiah, bagaimana menatap masa depan dengan segala apa yang kita
miliki. Dengan segala tantangan yang semakin berat dan kompleks. Merenungi usia
yang semakin senja. Dunia yang semakin renta. Sudahkah memaksimalkan waktu yang
diberikan oleh-Nya? Ataukah hanya menjadi pengkufur nikmat-Nya?
Coba kita
renungkan, menurut sebuah sumber di media masa, bahwa untuk membeli petasan dalam
rangka menyambut tahun baru, taman wisata Ancol mengeluarkan dana 500 juta, itu
pun hanya untuk membeli petasan saja. Sementara menurut koran nasional yang
mengabarkan tentang info manca negara, bahwa salah satu pengusaha dari Lebanon
rela menghabiskan uang sebesar 192 juta hanya untuk malam tahun baru saja. Belum
lagi wahana wisata yang lain. Sementara saudara-saudara kita di luar sana,
untuk mendapatkan sesuap nasi saja harus berjuang mati-matian. Tidakkah lebih
elok dan bijak jika dana sebanyak itu disedekahkan untuk fakir miskin. Untuk memberi
modal bagi mereka supaya mampu keluar dari jurang kemiskinan.
Pada akhirnya,
tahun baru tidaklah istimewa kecuali hanyalah penambahan angka saja. Maka apa alasan
mereka sehingga berbondong-bondong merayakannya? Perayaan yang proporsional
adalah jika dilandasi oleh suatu prestasi atau keberhasilan. Itu pun tidak
dengan bermewah-mewahan atau kefoya-foyaan yang hanya akan menjadikan kita
sebagai orang yang suka mubadzir. Kemudian dimana letak prestasi tahun 2012? Bukankah
permasalahan semakin bertambah dan tantangan semakin berat?
Itu akan menjadi istimewa bilamana kita jadikan moment untuk
bertolak menuju hari esok yang lebih baik. Untuk merencanakan strategi-strategi
menggempur tantangan dan masalah yang menghadang. Bukan hanya meniup terompet
dan menyalakan petasan beserta kemewahan dan kefoya-foyaan yang semu. Akankah kita
terus-terusan gagap dalam gegap gempita tahun baru? Yah, semoga malaikat
Isrofil tidak ikut-ikutan meniup terompetnya.
Wallahu a’lam....
Ciputat
01012013, di bilik Pesantren, ditemani secangkir kopi dan riuh petasan di luar
sana.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar