Selamat Datang di Dunia olient_online

Selamat Datang di Dunia Mini olient_online

Selasa, 01 Januari 2013

Sebuah Perayaan Semu


            Dimana-mana tempat wisata dan alun-alun selalu menjadi primadona kala tahun baru menjelang. Semua orang berbondong-bondong meninggalkan aktivitasnya masing-masing. Meletakkan urusan-urusan yang meski mendesak. Mengorbankan tidur malam dan mimpi-mimpi indah yang hendak diraih kemudian hari. Tak tua, tak muda, terlebih remaja. Tak peduli dampak yang menyeruak esok hari. Meluapkan kegembiraan yang entah apa. Merayakan “Tahun Baru” yang gegap gempita, katanya.
            Semua tempat berhias diri. Jauh-jauh hari merancang berbagai arena. Menawarkan bermacam jajakan semewah-mewahnya. Mulai dari pagelaran, pertunjukan, sulap, hingga atraksi. Berlomba-lomba mendatangkan artis dan seniman ibukota. Tak peduli biaya yang dikeluarkan berapa. Yang penting tahun baru semarak dan gegap gempita, katanya.
            Kalau sudah demikian, semua pihak saling mencari keuntungan. Para sponsor bertebaran memberikan kontribusi dan menuntut kompensasi tentunya. Pihak seniman dan artis-artis menaikkan tarif setinggi-tingginya. Seakan tak mau ketinggalan, pedagang asongan ikut berjejal-jejalan, sekedar menawarkan terompet, air minum dan petasan. Sementara para pencuri dan pencopet berkeliaran memanfaatkan kesempatan dalam keramaian. Semua berkelindan hingga esok hari.
            Lalu apa akibatnya? Sudah pasti kemacetan memenuhi jalanan. Sampah-sampah menumpuk berserakan. Tindak pencurian dan pidana merajalela. Suasana gaduh dan tak terkendali. Aktifitas esok hari terbengkalai karena semua orang kelelahan setelah begadang semalaman. Semua orang terlupa dari memikirkan masa depan mereka.

           Siapa yang menjadi korban? Tentulah mereka petugas kebersihan. Pengguna jalan yang ingin atau telah menunaikan aktifitasnya. Masyarakat sekitar acara yang ingin tidur dan beristirahat. Polusi udara yang tercemar di tengah malam. Dan lingkungan menjadi semakin kumuh. Dan yang paling merugikan adalah waktu yang tersia-siakan. Terlebih para pelajar yang telah menggadaikan cita-citanya semalam hanya untuk berfoya-foya atau hanya sekedar ikut-ikutan.
            Demikian budaya yang selama ini dilakukan bangsa kita. Entah mempunyai esensi tersendiri atau hanya ikut-ikutan di luar sana. Merayakan sesuatu boleh-boleh saja. Tak ada larangan untuk itu. Tapi seyogyanya jika diwujudkan secara proporsional dan profesional. Proporsional dalam arti memang sesuatu yang perlu dan layak dirayakan oleh kita. Juga profesional dalam arti disajikan secara baik dengan menimbang sisi baik dan buruk, manfaat dan madhorotnya. Tanpa harus mengorbankan sesuatu atau aktifitas yang lebih besar.
            Maka idealnya -jika memang tahun baru layak dirayakan- bila mana di penghujung atau awal tahun ini dirayakan dengan bermuhasabah, mengintrospeksi diri pribadi serta merenungi amal dan perbuatan yang telah lalu guna menyongsong hari esok yang lebih baik dan menjanjikan. Sebagaimana manusia yang terbiasa memperingati hari lahirnya, maka sepatutnya moment tahun baru ini direnungi bersama. Apa prestasi dan amal baik yang telah kita capai? Sudah sebandingkah dengan waktu yang telah  kita lalui setiap hari? Bersama kita renungi akan keberadaan kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang telah dianugerahi begitu banyak nikmat tak terhingga, sehingga apa yang mampu kita persembahkan sebagai wujud kontribusi konkrit terhadap negeri ini? Seberapa besar kualitas negeri ini sehingga masih saja masalah berdatangan silih berganti?
            Karenanya, penulis lebih sependapat jika tahun baru dirayakan dengan ber-muhasabah, mengadakan majlis dzikir, atau istighosah, sebagai perenungan atas segala amal. Atau bahkan diskusi ilmiah, bagaimana menatap masa depan dengan segala apa yang kita miliki. Dengan segala tantangan yang semakin berat dan kompleks. Merenungi usia yang semakin senja. Dunia yang semakin renta. Sudahkah memaksimalkan waktu yang diberikan oleh-Nya? Ataukah hanya menjadi pengkufur nikmat-Nya?
Coba kita renungkan, menurut sebuah sumber di media masa, bahwa untuk membeli petasan dalam rangka menyambut tahun baru, taman wisata Ancol mengeluarkan dana 500 juta, itu pun hanya untuk membeli petasan saja. Sementara menurut koran nasional yang mengabarkan tentang info manca negara, bahwa salah satu pengusaha dari Lebanon rela menghabiskan uang sebesar 192 juta hanya untuk malam tahun baru saja. Belum lagi wahana wisata yang lain. Sementara saudara-saudara kita di luar sana, untuk mendapatkan sesuap nasi saja harus berjuang mati-matian. Tidakkah lebih elok dan bijak jika dana sebanyak itu disedekahkan untuk fakir miskin. Untuk memberi modal bagi mereka supaya mampu keluar dari jurang kemiskinan.
Pada akhirnya, tahun baru tidaklah istimewa kecuali hanyalah penambahan angka saja. Maka apa alasan mereka sehingga berbondong-bondong merayakannya? Perayaan yang proporsional adalah jika dilandasi oleh suatu prestasi atau keberhasilan. Itu pun tidak dengan bermewah-mewahan atau kefoya-foyaan yang hanya akan menjadikan kita sebagai orang yang suka mubadzir. Kemudian dimana letak prestasi tahun 2012? Bukankah permasalahan semakin bertambah dan tantangan semakin berat?
Itu akan menjadi istimewa bilamana kita jadikan moment untuk bertolak menuju hari esok yang lebih baik. Untuk merencanakan strategi-strategi menggempur tantangan dan masalah yang menghadang. Bukan hanya meniup terompet dan menyalakan petasan beserta kemewahan dan kefoya-foyaan yang semu. Akankah kita terus-terusan gagap dalam gegap gempita tahun baru? Yah, semoga malaikat Isrofil tidak ikut-ikutan meniup terompetnya.
Wallahu a’lam....

Ciputat 01012013, di bilik Pesantren, ditemani secangkir kopi dan riuh petasan di luar sana.

Tidak ada komentar :