Pagi
ini udara dingin sekali. Seperti biasa aktifitas pagi kusambut dengan muroja’ah
hafalan Qur’anku. Namun entah mengapa pagi ini mood tak kunjung aku
temui. Muroja’ah tersendat-sendat bak memulai hafalan baru. Kalau sudah
begini mau dipaksa bagaimanapun akan sulit untuk mengingat hafalan-hafalan itu.
Maka setelah menyelesaikan satu juz setengah aku putuskan untuk break
dulu dari muroja’ah.
Sementara jam dinding baru bergerak
di angka enam tepat. Kucari-cari aktifitas lain sebagai pengganti. Mau makan
juga masih terlalu dini. Kubuka netbook bututku. Netbook ala kadarnya teman
hari-hariku. Mataku mengarah pada folder karya. Kubuka satu per satu. Folder artikel
terdapat enam file menghuni daftar tunggu. Kemudian folder yang lain
menggantung tiga cerpen yang tak kunjung purna. Sementara folder novelet dari
dulu hanya baru dua judul. Masih belum jelas kapan yang lain akan menyusul.
Hanya senyum datar sembari
menggeleng-gelengkan kepala yang tampak dari ekspresiku. “ada apa dengan
tulisanku?” benakku membatin. Bagaimana mau jadi penulis kalau
begini-begini terus. Ini akunya yang malas atau kesibukan lain yang tidak bisa
kutinggalkan? Atau ada faktor-faktor lain?
Ku evaluasi satu per satu. Tulisan demi
tulisan. Ada yang setengah jadi. Ada yang baru dua paragraf. Bahkan ada yang
hanya baru judul. Kucoba untuk melanjutkan salah satu tulisanku. Tapi nggak
bisa. Pikiran buntu. Wah, ini ada yang nggak beres dengan diriku. Atau ada yang
nggak beres dengan yang aku tulis. Atau ada yang lain yang nggak beres?
Sembari mendengarkan senandung sholawat kucoba mereka-reka, mengevaluasi dan merenung. Aku teringat acara Bedah Novel ‘Bumi Cinta’ oleh Habiburrahman El- Shirazy di Fakultas Kedokteran UIN Syarif Hidayatullah dua bulan yang lalu. Beliau sempat memberikan tips menulis ketika itu.
“Kalau mendapatkan ide sebuah tulisan
catatlah. Jangan buru-buru menuliskannya. Kembangkanlah terlebih dahulu
sehingga menjadi kerangka tulisan yang utuh. Setelah mendapatkan kerangkanya
yang utuh barulah dituangkan dalam sebuah tulisan” kenangku waktu itu.
Benar. Rasa-rasanya itu masalahnya. Selama
ini aku menulis asal menulis saja. Aku menulis berdasarkan ide yang lewat. Bukan
berdasarkan kerangka yang lengkap. Ujung-ujungnya ya pupus di tengah jalan. Tulisanku
lepas sebelum tuntas. Ketika mau melanjutkan lagi pikiran buntu dan tak tahu
arah tulisan. Akhirnya tulisan mauquf dan masuk gudang file tanpa tahu
kapan akan dilanjutkan lagi. Kemudian dapat ide yang lain. Kutuliskan dan
seperti itu lagi nasibnya.
Membuat kerangka tulisan yang utuh memang
sangatlah penting bagi seorang penulis. Terutama bagi penulis pemula. Ibarat membangun
rumah maka harus diketahui ukurannya, jumlah kira-kira dana yang harus dianggarkan,
dan kondisi lokasi yang akan dibangun. Begitu juga dengan pondasi, tiang-tiang
dan kerangkanya sebelum masuk kepada proses mebuat dinding.
Demikian juga dengan tulisan. Pertama-tama
harus dibuat terlebih dahulu kerangkanya. Entah itu opini, artikel, cerpen,
novel atau genre tulisan yang lain. Tidak harus detail. Paling tidak terdapat
ide-ide pokok yang akan ditulis. Baik itu per paragraf atau per pembahasan. Sehingga
jika terjadi kebuntuan tulisan di tengah jalan kita bisa mengacu pada kerangka
itu. Juga dengan berpegang pada kerangka tulisan kita tidak akan melebar jauh
dari apa yang kita bahas. Kalau pun melebar kita bisa mengembalikan lagi ke
garis kerangka yang telah ada.
Oh begitu toh cara menulis. Ternyata
mebuat kerangka tulisan penting juga. Tapi kita jangan terpaku pada kerangka
terus menerus. Sehingga tak jua beranjak menuangkannya pada tulisan. Itu sama
saja memperbaiki cetakan terus-menerus tapi tak lekas membuat batu batanya. Begitu
dirasa kerangkanya telah cukup segeralah memulai tulisan. Yang pasti mengasah
tulisan terus-menerus itu lebih penting.
Oke lah kalau begitu. Kuputuskan file-file
tulisan yang ada di rak gudang folder harus tuntas dulu sebelum menulis yang
lain. Tapi aku masih beruntung karena ide-ide yang berseliweran di benakku
langsung aku tulis meskipun belum utuh. Daripada ide itu berlalu begitu saja? Memperoleh
ide itu mahal dan susah kawan?
Dan tiba-tiba kudengar sebuah suara
memanggilku. Kulihat jam telah menunjuk angka tujuh. Ternyata Ibu menyuruhku
untuk sarapan. Jarang-jarang ada panggilan sarapan dengan makanan yang telah
siap saji. Kecuali pas liburan semester seperti ini. Biasanya waktu sarapan pagiku
diambil oleh jam matakuliah. Atau harus mencari sisa-sisa sangu di kantong
saku. Atau hanya sepotong roti dan sebotol air sanguku dari pesantren. Duh nikmatnya
liburan. Mari makan!
Brakas,
kediaman kedamaian.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar