Selamat Datang di Dunia olient_online

Selamat Datang di Dunia Mini olient_online

Jumat, 28 Desember 2012

Mendialogkan Dakwah dan Sastra


Islam adalah agama dakwah. Islam harus disebarkan kepada seluruh umat manusia. Para pemeluk Islam digelari Allah SWT sebagai umat pilihan, sebaik-baik umat (khairu ummah), yang mengemban tugas dakwah, yaitu mengajak kebaikan dan mencegah kemunkaran. Oleh karena itu, aktifitas dakwah harus menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim.
Aktifitas dakwah sering kali dipahami oleh kebanyakan khalayak dengan berceramah dari mimbar ke mimbar. Para juru dakwah (muballigh), terutama di pedesaan, ialah mereka yang mengisi pengajian-pengajian dari satu tempat ke tempat yang lain. Dakwah adalah ceramah, begitu sebaliknya. Jika demikian, maka sasaran dan sarana dakwah rasanya terlalu sempit ruang lingkupnya.
Sementara zaman terus berkembang. Informasi menjadi suatu komoditi primer bahkan sumber kekuasaan karena informasi dapat dijadikan alat untuk membentuk pendapat publik (public opinion) yang mempengaruhi dan mengendalikan pikiran, sikap, dan perilaku manusia. Ada pendapat, sumber baru kekuasaan sekarang adalah informasi di tangan banyak orang (the new source of power is information in the hand of many) dan siapa yang menguasai media masa, dialah pengendali atau penguasa dunia.
Pengertian media masa disini jangan diartikan dalam perspektif sempit pada koran, majalah dan televisi belaka. Melainkan segala media yang dapat diakses oleh banyak orang dimanapun, kapanpun dan siapapun. Dan bagian daripada media itu ialah tulisan atau karya tulis. Sebagai sarana komunikasi masa dan alat pembentuk opini publik, para muballigh, aktifis dakwah, dan umat Islam pada umumnya –yang memang terkena kewajiban secara syar’i melakukan dakwah- harus mampu memanfaatkan media tulis atau karya tulis untuk ber-dakwah bil Qalam.
Dewasa ini, kita merasakan masih langkanya para aktifis dakwah bil Qalam. Lebih langka lagi adalah para muballigh yang mampu melakukan dakwah bil lisan sekaligus piawai dakwah bil qalam. Tapi banyak ulama dan cendekiawan hanya “jago pidato” di atas mimbar, namun tidak mampu (tidak mau?) menulis di media massa. Terlebih dalam ranah sastra. Pertanyaannya kemudian, apa istimewanya dakwah bil qalam melalui sastra? Dimana letak titik temu antara keduanya?
Mencari titik temu dakwah dan sastra berarti mendiskusikan sesuatu yang telah nyata dan setiap hari kita baca. Bahkan pertemuan dakwah Islam dan sastra telah ada sejak agama itu didakwahkan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal itu tergambarkan dalam Alquran sebagai kitab suci umat Islam yang menggunakan bahasa sastra dan tidak mampu ditiru maupun ditandingi oleh siapapun sebagai tanda kemukjizatannya. Bahkan dengan tegas Allah menantang orang-orang kafir untuk membuat semisalnya, sebagaimana termaktub dalam sebuah ayat yang artinya, “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Al Baqarah: 23).
Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kesusastraan. Ruang dialektika yang terdapat dalam dunia kesusastraan, menjadikannya mampu menemukan warna baru dalam rangka menyampaikan pesan suci Tuhan yang disebut dengan dakwah. Dakwah dan sastra telah menjadi sesuatu yang senyawa. Keduanya saling menguatkan satu sama lain. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sastra Islami (dakwah) menjadi bagian genre tersendiri dari sastra.
Dari sisi historis ke-Indonesia-an, selain dengan kebudayaan Islam juga didakwahkan para Wali Songo melalui sastra. Mereka pertama-tama menulis kitab-kitab ceritera. Bukan kitab-kitab fiqih, bukan pula kitab-kitab tasawuf (suluk). Cerita-cerita yang tidak berdasarkan pakem wayang Ramayana atau Mahabarata. Tapi cerita-cerita rakyat, cerita orang-orang kecil, yang berbasis dalam kehidupan orang-orang desa, dengan latar belakang alam pedesaan. Terutama tentang kisah-kisah si jaka yang populis: Jaka Partwa, Jaka Karewet, Jaka Sureng, Jaka Sumantri, Jaka Bodo, Jaka Klinting, dan Jaka Sujalma.
            Dengan strategi-strategi mengkomunikasikan kultur dan bahasa (sastra) ini tercapailah tujuan-tujuan Wali Songo. Yaitu menciptakan masyarakat etis yang berlandaskan karakter berguru kepada ulama dan ngaji kitab, serta pembentukan peradaban kosmopolit. Bahkan ajaran-ajaran mereka mampu mengakar kuat di level gress root selama berabad-abad. Melihat yang demikian, maka sebenarnya kultur pengkomunikasian dakwah lewat sastra sebenarnya telah ada sejak zaman pendahulu-pendahulu kita.
Dewasa ini pun apabila kita melirik ke beberapa pesantren atau pusat-pusat perkembangan agama Islam, maka akan mendengar atau menyaksikan hasil-hasil karya sastra di kalangan pesantren. Bentuk karya sastra tersebut ada berupa nadzam atau nadzaman, drama, puisi, dan syair-syair hafalan mengenai ilmu tertentu.
Seiring dengan bergulirnya waktu tradisi menulis sastra yang demikian ini mengalami perubahan menyesuaikan zaman dan kondisi pembacanya. Menulis memang mempunyai beberapa perbedaan mendasar apabila dibandingkan dengan cara lisan untuk berdakwah. Tulisan merupakan media yang merekam materi penyampaian secara lebih baik karena lazimnya dituang secara lengkap dan detail. Sedangkan media lisan mempunyai keunggulannya sendiri, yakni pembicara merasakan mengalirnya bahan pembicaraan apabila mendapatkan respon yang baik dari pendengarnya. Berbeda dengan proses menulis yang seringnya terkendala karena kebuntuan pemikiran penulisnya dan tanpa adanya interaksi dalam bentuk nyata.
Berdakwah lewat tulisan pun tidak perlu kaku dengan tulisan yang sarat akan nuansa ilmiah. Walaupun memang tulisan dakwah yang bagus adalah tulisan yang berlandaskan pada rujukan yang shahih (valid), tetapi kreativitas dalam menulis juga dapat dilakukan. Sebagai contohnya adalah ulama Sayyid Quthb yang menuliskan tafsir Al Qur’an dengan nuansa yang sarat dengan sastra dan keindahan bahasa di dalamnya. Atau penulis terkenal Habiburrahman el Shirazy yang dapat memberikan citra akan indahnya Islam yang diramu dengan sisi dakwah dan motivasi melalui novel-novel sastranya.
Akan tetapi ada yang mensinyalir kondisi dilematis dalam meramu unsur-unsur dakwah islami dalam sastra. Berdakwah melalui sastra membutuhkan setidaknya idealisme yang jelas serta kekayaan bahasa, agar karya kita mampu menggerakkan seseorang. Karena ciri khas sastra adalah kekayaan bahasa, ungkapan yang luhur, dan menggerakkan perasaan.
Seringkali dijumpai karya sastra yang sangat idealis, akan tetapi kosong akan kekayaan bahasa. Ibarat mendaki gunung, sastra seperti ini adalah pendaki yang membekali dirinya dengan alat navigasi yang komplit, kompas, peta, GPS, dan jelas tujuannya. Tapi sayangnya ia tidak membawa bekal apapun seperti makanan, pakaian hangat, senter, dan tenda. Bagi para penulis yang seperti ini diharapkan untuk mengasah ketrampilan berbahasanya dengan banyak membaca, membandingkan berbagai macam karya sastra, dan mengasah intuisinya.
Namun ada kalanya pula dijumpai karya yang bagus bahasanya, tinggi, bahkan melangit, tapi hingga kata-kata terakhir tidak jelas arah tujuannya. Ibarat mendaki gunung, ia membawa banyak perbekalan tapi sayangnya ia tidak membawa sama sekali alat navigasi, buta akan peta, dan tidak jelas tujuannya. Untuk penulis seperti ini diharapkan untuk kembali mengaji. Kembali untuk mengasah idealismenya. Mengasah kembali pisau analisisnya. Dan ketika berbicara masalah sastra Islam, maka sudah selayaknyalah kita kembali mengkaji Islam secara menyeluruh, kaffah, dan istiqomah.
Namun, realitanya semua itu mampu dijawab oleh sastrawan-sastrawan Islami. Jika membaca novel-novel karangan Habiburrahman El Shirazy misalnya, dia mampu menjaga antara nilai estetika dan idealisme berdakwah. Karena sejatinya cerita-cerita tentang realitas sosial dan sendi-sendi dunia keislaman pun telah menjadi nilai estetika tersendiri. Maka sudah saatnya jika keislaman didakwahkan melalui berbagai wahana, terlebih sastra.
Wallahu a’lam.......

Ciputat, diantara semangat dan  liku lelah pengembaraan merajut asa 29122012.

Tidak ada komentar :