Islam adalah agama dakwah. Islam harus
disebarkan kepada seluruh umat manusia. Para pemeluk Islam digelari Allah SWT
sebagai umat pilihan, sebaik-baik umat (khairu ummah), yang mengemban
tugas dakwah, yaitu mengajak kebaikan dan mencegah kemunkaran. Oleh karena itu,
aktifitas dakwah harus menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari seorang
muslim.
Aktifitas dakwah sering kali dipahami
oleh kebanyakan khalayak dengan berceramah dari mimbar ke mimbar. Para juru
dakwah (muballigh), terutama di pedesaan, ialah mereka yang mengisi
pengajian-pengajian dari satu tempat ke tempat yang lain. Dakwah adalah ceramah,
begitu sebaliknya. Jika demikian, maka sasaran dan sarana dakwah rasanya terlalu sempit
ruang lingkupnya.
Sementara zaman terus berkembang.
Informasi menjadi suatu komoditi primer bahkan sumber kekuasaan karena
informasi dapat dijadikan alat untuk membentuk pendapat publik (public
opinion) yang mempengaruhi dan mengendalikan pikiran, sikap, dan perilaku
manusia. Ada pendapat, sumber baru kekuasaan sekarang adalah informasi di tangan
banyak orang (the new source of power is information in the hand of many) dan
siapa yang menguasai media masa, dialah pengendali atau penguasa dunia.
Pengertian media masa disini jangan
diartikan dalam perspektif sempit pada koran, majalah dan televisi belaka.
Melainkan segala media yang dapat diakses oleh banyak orang dimanapun, kapanpun
dan siapapun. Dan bagian daripada media itu ialah tulisan atau karya tulis. Sebagai
sarana komunikasi masa dan alat pembentuk opini publik, para muballigh, aktifis
dakwah, dan umat Islam pada umumnya –yang memang terkena kewajiban secara syar’i
melakukan dakwah- harus mampu memanfaatkan media tulis atau karya tulis
untuk ber-dakwah bil Qalam.
Dewasa ini, kita merasakan masih langkanya para
aktifis dakwah bil Qalam. Lebih langka lagi adalah para muballigh yang mampu melakukan dakwah bil lisan sekaligus
piawai dakwah bil qalam. Tapi banyak
ulama dan cendekiawan hanya “jago pidato” di atas mimbar, namun tidak mampu
(tidak mau?) menulis di media massa. Terlebih dalam ranah sastra. Pertanyaannya
kemudian, apa istimewanya dakwah bil qalam melalui sastra? Dimana letak
titik temu antara keduanya?
Mencari titik temu dakwah dan sastra berarti
mendiskusikan sesuatu yang telah nyata dan setiap hari kita baca. Bahkan
pertemuan dakwah Islam dan sastra telah ada sejak agama itu didakwahkan oleh
Nabi Muhammad SAW. Hal itu tergambarkan dalam Alquran sebagai kitab suci umat
Islam yang menggunakan bahasa sastra dan tidak mampu ditiru maupun ditandingi
oleh siapapun sebagai tanda kemukjizatannya. Bahkan dengan tegas Allah
menantang orang-orang kafir untuk membuat semisalnya, sebagaimana termaktub
dalam sebuah ayat yang artinya, “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang
Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu
surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain
Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Al Baqarah: 23).
Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kesusastraan. Ruang
dialektika yang terdapat dalam dunia kesusastraan, menjadikannya mampu
menemukan warna baru dalam rangka menyampaikan pesan suci Tuhan yang disebut
dengan dakwah. Dakwah dan sastra telah menjadi sesuatu yang senyawa. Keduanya
saling menguatkan satu sama lain. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sastra
Islami (dakwah) menjadi bagian genre tersendiri dari sastra.
Dari sisi historis
ke-Indonesia-an, selain dengan kebudayaan Islam juga didakwahkan para Wali
Songo melalui sastra. Mereka pertama-tama menulis kitab-kitab ceritera. Bukan
kitab-kitab fiqih, bukan pula kitab-kitab tasawuf (suluk). Cerita-cerita
yang tidak berdasarkan pakem wayang Ramayana atau Mahabarata. Tapi
cerita-cerita rakyat, cerita orang-orang kecil, yang berbasis dalam kehidupan
orang-orang desa, dengan latar belakang alam pedesaan. Terutama tentang
kisah-kisah si jaka yang populis: Jaka Partwa, Jaka Karewet, Jaka Sureng,
Jaka Sumantri, Jaka Bodo, Jaka Klinting, dan Jaka Sujalma.
Dengan
strategi-strategi mengkomunikasikan kultur dan bahasa (sastra) ini tercapailah
tujuan-tujuan Wali Songo. Yaitu menciptakan masyarakat etis yang berlandaskan
karakter berguru kepada ulama dan ngaji kitab, serta pembentukan peradaban
kosmopolit. Bahkan ajaran-ajaran mereka mampu mengakar kuat di level gress
root selama berabad-abad. Melihat yang demikian, maka sebenarnya kultur pengkomunikasian
dakwah lewat sastra sebenarnya telah ada sejak zaman pendahulu-pendahulu kita.
Dewasa ini pun apabila kita melirik ke
beberapa pesantren atau pusat-pusat perkembangan agama Islam, maka akan
mendengar atau menyaksikan hasil-hasil karya sastra di kalangan pesantren.
Bentuk karya sastra tersebut ada berupa nadzam atau nadzaman, drama, puisi, dan syair-syair
hafalan mengenai ilmu tertentu.
Seiring dengan bergulirnya waktu tradisi menulis sastra
yang demikian ini mengalami perubahan menyesuaikan zaman dan kondisi
pembacanya. Menulis memang mempunyai beberapa perbedaan mendasar apabila
dibandingkan dengan cara lisan untuk berdakwah. Tulisan merupakan media yang
merekam materi penyampaian secara lebih baik karena lazimnya dituang secara
lengkap dan detail. Sedangkan media lisan mempunyai keunggulannya sendiri, yakni
pembicara merasakan mengalirnya bahan pembicaraan apabila mendapatkan respon
yang baik dari pendengarnya. Berbeda
dengan proses menulis yang seringnya terkendala karena kebuntuan pemikiran
penulisnya dan tanpa adanya interaksi dalam bentuk nyata.
Berdakwah
lewat tulisan pun tidak perlu kaku dengan tulisan yang sarat akan nuansa
ilmiah. Walaupun memang tulisan dakwah yang bagus adalah tulisan yang
berlandaskan pada rujukan yang shahih (valid), tetapi kreativitas dalam menulis
juga dapat dilakukan. Sebagai contohnya adalah ulama Sayyid Quthb yang
menuliskan tafsir Al Qur’an dengan nuansa yang sarat dengan sastra dan
keindahan bahasa di dalamnya. Atau penulis terkenal Habiburrahman el Shirazy
yang dapat memberikan citra akan indahnya Islam yang diramu dengan sisi dakwah dan motivasi melalui
novel-novel sastranya.
Akan tetapi ada yang mensinyalir kondisi dilematis dalam
meramu unsur-unsur dakwah islami dalam sastra. Berdakwah melalui sastra membutuhkan setidaknya
idealisme yang jelas serta kekayaan bahasa, agar karya kita mampu menggerakkan
seseorang. Karena ciri khas sastra adalah kekayaan bahasa, ungkapan yang luhur,
dan menggerakkan perasaan.
Seringkali dijumpai karya sastra yang sangat idealis,
akan tetapi kosong akan kekayaan bahasa. Ibarat mendaki gunung, sastra seperti
ini adalah pendaki yang membekali dirinya dengan alat navigasi yang komplit,
kompas, peta, GPS, dan jelas tujuannya. Tapi sayangnya ia
tidak membawa bekal apapun seperti makanan, pakaian hangat, senter, dan tenda.
Bagi para penulis yang seperti ini diharapkan untuk mengasah ketrampilan
berbahasanya dengan banyak membaca, membandingkan berbagai macam karya sastra,
dan mengasah intuisinya.
Namun ada kalanya pula dijumpai karya yang bagus
bahasanya, tinggi, bahkan melangit, tapi hingga kata-kata terakhir tidak jelas
arah tujuannya. Ibarat mendaki gunung, ia membawa
banyak perbekalan tapi sayangnya ia tidak membawa sama sekali alat navigasi,
buta akan peta, dan tidak jelas tujuannya. Untuk penulis seperti ini diharapkan
untuk kembali mengaji. Kembali untuk mengasah idealismenya. Mengasah kembali
pisau analisisnya. Dan ketika berbicara masalah sastra Islam, maka sudah
selayaknyalah kita kembali mengkaji Islam secara menyeluruh, kaffah, dan
istiqomah.
Namun, realitanya semua itu mampu dijawab oleh
sastrawan-sastrawan Islami. Jika membaca novel-novel karangan Habiburrahman El
Shirazy misalnya, dia mampu menjaga antara nilai estetika dan idealisme
berdakwah. Karena sejatinya cerita-cerita tentang realitas sosial dan
sendi-sendi dunia keislaman pun telah menjadi nilai estetika tersendiri. Maka
sudah saatnya jika keislaman didakwahkan melalui berbagai wahana, terlebih
sastra.
Wallahu a’lam.......
Ciputat, diantara semangat dan
liku lelah pengembaraan merajut asa 29122012.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar