Semua kita sepakat bahwa pendidikan
menjadi hal terpenting bagi kehidupan manusia. Manusia yang terdidik menjadi
beradab di depan manusia lain maupun Tuhannya. Karena pendidikan pula seseorang
merajut kesuksesan. Pendidikan menjadi cermin kemajuan suatu bangsa.
Bila output pendidikannya baik maka masa depan bangsa akan cemerlang dan
disegani bangsa lain. Maka jangan heran bila negara-negara maju dewasa ini
ialah negara yang sangat menghargai pendidikan dan para ilmuan.
Sangat tidak diragukan jika Al-Qur’an
menyitir sebuah ayat yang menjelaskan bahwa Allah akan meninggikan derajat
orang-orang yang beriman diantara kamu semua dan orang-orang yang berilmu
pengetahuan. Saking pentingnya menuntut
ilmu, Rasulullah sampai mencanangkan Longlife Education, sebagaimana
dalam sabdanya : Carilah ilmu mulai dari turun ayunan sampai ke liang lahad.
Dalam sabdanya yang lain bahkan Rasul mewajibkan menuntut ilmu bagi muslim dan
muslimah.
Belakangan muncul fenomena-fenomena
yang cukup menguras energi bangsa ini. Rasanya tak ada habisnya setiap hari
kita disuguhi dengan berita-berita kegaduhan bangsa kita indonesia yang tak
kunjung reda. Dan yang paling menjadi momok memilukan dari dulu sampai sekarang
ialah kasus korupsi yang tak ada matinya. Diberantas satu justru tumbuh seribu.
Celakanya lagi perbuatan hina ini dilakukan oleh para pemangku kepentingan,
sebut saja DPR dan para pejabat negara. Bukankah mereka orang-orang pintar,
yang menghabiskan masa mudanya di bangku pendidikan? Adakah yang salah dengan
sistem pendidikan kita sehingga outputnya adalah orang-orang yang seolah lebih
buruk dari orang yang tidak terdidik sekalipun?
Disadari atau tidak, sebagian institusi
pendidikan kita mengajarkan pendidikan yang bermental korupsi. Meskipun tidak
secara langsung diajarkan dalam forum belajar mengajar, tetapi kenyataan itu
ada dalam sistem. Semisal dalam hal rekrutmen pelajar. Selain pintar, banyak
sekolah-sekolah favorit yang mengharuskan calon anak didiknya kaya. Karena,
hanya mereka yang berani membayar biaya tinggi yang akan diterima. Sekalipun
biaya itu untuk perkembangan institusi, akan tetapi secara tidak sadar anak
didiknya diajari praktik suap. Keadaan ini pun juga berlaku di perguruan
tinggi.
Kekacauan dunia pendidikan yang lain ialah
adanya disorientasi pendidikan. Belajar tak lagi bertujuan menuntut ilmu dan menghilangkan kebodohan,
melainkan untuk mengais uang. Maka hal yang demikian ini sejatinya justru
menghilangkan spirit belajar itu sendiri. Yang ada dalam pikiran mereka hanya
uang dan uang.
Selain problem-problem di atas, masih
banyak lagi anomali-anomali pendidikan yang intinya berujung pada mengajarkan
ketidakjujuran. Seperti memberikan bocoran jawaban pada siswa saat UN, hanya
karena kawathir tidak lulus dan sekolahnya tercoreng di mata umum. Sementara di
sisi lain anak-anak kita tiap hari di suguhi tontonan korupsi dari para elite
pejabat tanpa diimbangi pendidikan korupsi dan kejujuran yang memadai. Dan
masih banyak lagi kenyataan-kenyataan lain yang mencederai akal sehat kita.
Tentunya, semua itu jangan sampai
berlarut-larut dan berkelanjutan tanpa ada perubahan. Semua pihak, pejabat
pendidikan, guru dan orang tua harus bersinergi. Paling tidak ada beberapa
sudut pandang, sistem juga kebijakan yang harus dibenahi, diantaranya :
Pertama,
character building. Hal mendasar yang
harus ditanamkan pada anak didik pertama kali ialah pembangunan karakter. Sejak
dini seorang anak hendaknya disuguhi pembelajaran akhlak-akhlak terpuji,
terutama akhlak kejujuran. Baik dalam tuntunan yaitu pada proses belajar
mengajar di kelas, juga tontonan dengan memberi teladan melalui perilaku.
Seorang anak ibaratkan tanaman yang baru tumbuh. Setiap hari harus disiram
dengan nilai-nilai terpuji agar mengakar kuat. Bilamana besar nanti terhembus
hingar bingar angin kencang kehidupan yang keras, ia akan senantiasa
tegak berdiri tak tergoyahkan.
Kedua, kembali
ke orientasi pendidikan. Ketika belajar berorientasi untuk menuntut
ilmu, maka anak didik kita akan menikmati proses pendidikan yang indah. Setiap
saat selalu ada suntikan spirit untuk menyingkap samudera ilmu yang teramat
luas. Coba bandingkan jika belajar berorientasi untuk memperoleh pekerjaan atau
uang. Maka yang terjadi ialah belajar hanya menjadi kedok dan alat. Ia tidak
akan menikmati proses yang ada dan hanya berkepentingan bagaimana caranya agar
lulus, memperoleh sarjana dan bekerja. Pada akhirnya yang didapatkan hanyalah
penyesalan. Rasanya sudah tegas maqolah sahabat yang berbunyi ilmu lebih
utama daripada harta. Dengan ilmu harta akan kita raih, tapi dengan harta
belum tentu ilmu tergapai. Maka seyogyanya para insan yang berilmu tak perlu
khawatir dengan masalah ekonomi, karena Allah telah menjanjikan derajat yang
tinggi bagi mereka di dunia maupun akhirat.
Ketiga, pendidikan
gratis. Gembar-gembor bahwa APBN negara dialokasikan 20% untuk dunia pendidikan
nyatanya belum menjawab semua masalah. Masih banyak masyarakat miskin yang
belum tersentuh bangku pendidikan karena mahalnya biaya. Terutama mereka yang
nun jauh di pelosok desa. Keadaan mereka yang telah payah oleh beban ekonomi
diperparah dengan diperbodohkannya anak-anak mereka dengan tidak mampu meraih
kesempatan belajar. Pada akhirnya yang miskin makin miskin oleh karena anak
cucunya tak mampu menaikkan derajatnya. Maka perlu digalakkan pendidikan gratis
yang merata mulai tingkat terendah sampai tingkat tertinggi sebagaimana di
negara-negara maju. Dengan demikian semua rakyat akan mendapatkan hak yang sama
untuk merasakan kesempatan di bangku pendidikan.
Keempat, regenerasi
pengajar. Ada baiknya jika setiap institusi memperhatikan hal regenerasi guru
dengan mengharuskan hanya alumninya yang bisa mengajukan diri sebagai tenaga
pengajar. Karena berdasarkan realita, guru alumni lebih memiliki spirit yang kuat untuk memajukan
institusi. Mereka akan merasa bangga dan dihargai karena bisa mengabdi di
institusi yang mana ia belajar dulu, sehingga akan memacu semangat untuk
memberikan yang terbaik.
Dan ternyata, itu semua telah ada
sejak dulu dalam sistem pendidikan islam. Kita bisa berkaca pada sistem dan arah
pembelajaran yang ada pada pondok pesantren sekarang ini, yang
mengutamakan akhlak, pendidikan karakter, ilmu agama yang
tentunya tidak kalah juga ilmu umum. Lebih jauh lagi pondok pesantren telah
mempraktikkan kemandirian hidup dan bagaimana bersosialisasi dengan masyarakat.
Bahkan sistem dan kebijakan pun dikendalikan oleh para santri. Pengasuh dan
para ustadz hanya membimbing, memantau dan mengarahkan. Sistem keuangan pun
sangat transparan. Dengan demikian tidak salah jika pondok pesantren dikatakan
sebagai laboratorium kehidupan. Sebab para santri digembleng dan dididik dengan
ilmu dan amal agar cakap dan siap sebelum terjun di masyarakat.
Hendaknya ilmu diimbangi
dengan iman. Ilmu ibarat sebilah pisau yang bila di tangan penjahat tanpa iman
maka akan menghunus orang dan terjadilah pembunuhan. Namun bila ditangan ulama
atau orang yang beriman dan berakhlak maka akan menyembelih hewan yang menjadi halal
karena disertai bismillah dan etika menyembelih. Ilmu akan liar tanpa
iman. Iman tanpa ilmu bak buih di tengah lautan.
Sejatinya, belajar tidaklah harus di
institusi pendidikan. Karena, setiap jengkal kaki, sejauh mata memandang dan
telinga mendengar, disitulah ladang untuk belajar. Yang terpenting, setiap kita
ada kemauan dan bersungguh-sungguh untuk menggapainya. Samudera ilmu tidak akan
pernah habis kita teguk. Camkan baik-baik bahwa di atas langit masih ada
langit. Sepintar dan sehebat apapun kita tidaklah seberapa. Belajarlah pada
padi yang semakin berisi semakin merunduk. Belajarlah pada sabda Nabi tentang longlife
education, maka semakin berilmu kita semakin merasa bodoh. Belajarlah pada
pohon-pohon yang berbuah, maka ilmu kita pun berbuah dengan amal. Niscaya masa
depan agama, negara, nusa dan bangsa akan cemerlang. Semoga…
Ciputat, 19 Desember 2012
Tidak ada komentar :
Posting Komentar