Selamat Datang di Dunia olient_online

Selamat Datang di Dunia Mini olient_online

Jumat, 28 Desember 2012

Difference and Freedom


Judul Film           : Freedom Writers

Tahun Terbit        : 1999

Pemain                  : Hilary Swank



 The story was started when Erin Gruwell registered herself to be an English teacher at Woodrow Wilson Senior High School which implemented a voluntary integration program for two years. Whereas that program was considered by many existing teachers had ruined the school whose previously stellar academic standing with the highest scores in district, and had been replaced with school that many students who will be lucky to graduate or even be literate. But because of this program, Erin chose this school and she wanted to change their thought about life.
Erin became a teacher of English subject in the class whose students came from some groups. It was very influential clockwise, because there was an issue about racism that was booming moreover after disturbance incident in LA.
Each of them had their own groups based on race and skin. The Latinos hated the Cambodian that hated the blacks and so on. They hated each other, but Erin was the one who they hated together.
At the first, they were not interested to her at all because they thought that she did not know anything about them, about their ways of live. The hard lives they walked on that was life under shadow of war and violence. For them, life was survive from that all.
Many ways were done by Erin for her students in order to be able to reach her students life, but almost there was not any ways gave result. Untill finally she found one method to reach her purpose. She gave all her students books and asked them to write their daily journal.
Many challenges were faced by Erin. Either came from the school or her husband or her dad. The school that always gave different facilities to her students, whereas did not want to lend its books to Erin Gruwell’s students. Her husband that felt not getting her attention finally often had debate with her. And her father that did not ever agree with her because he thought that her job just wasted her time with taught people that did not want to get education.

* Sinopsis ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah bahasa inggris Jurusan Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mendialogkan Dakwah dan Sastra


Islam adalah agama dakwah. Islam harus disebarkan kepada seluruh umat manusia. Para pemeluk Islam digelari Allah SWT sebagai umat pilihan, sebaik-baik umat (khairu ummah), yang mengemban tugas dakwah, yaitu mengajak kebaikan dan mencegah kemunkaran. Oleh karena itu, aktifitas dakwah harus menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim.
Aktifitas dakwah sering kali dipahami oleh kebanyakan khalayak dengan berceramah dari mimbar ke mimbar. Para juru dakwah (muballigh), terutama di pedesaan, ialah mereka yang mengisi pengajian-pengajian dari satu tempat ke tempat yang lain. Dakwah adalah ceramah, begitu sebaliknya. Jika demikian, maka sasaran dan sarana dakwah rasanya terlalu sempit ruang lingkupnya.
Sementara zaman terus berkembang. Informasi menjadi suatu komoditi primer bahkan sumber kekuasaan karena informasi dapat dijadikan alat untuk membentuk pendapat publik (public opinion) yang mempengaruhi dan mengendalikan pikiran, sikap, dan perilaku manusia. Ada pendapat, sumber baru kekuasaan sekarang adalah informasi di tangan banyak orang (the new source of power is information in the hand of many) dan siapa yang menguasai media masa, dialah pengendali atau penguasa dunia.
Pengertian media masa disini jangan diartikan dalam perspektif sempit pada koran, majalah dan televisi belaka. Melainkan segala media yang dapat diakses oleh banyak orang dimanapun, kapanpun dan siapapun. Dan bagian daripada media itu ialah tulisan atau karya tulis. Sebagai sarana komunikasi masa dan alat pembentuk opini publik, para muballigh, aktifis dakwah, dan umat Islam pada umumnya –yang memang terkena kewajiban secara syar’i melakukan dakwah- harus mampu memanfaatkan media tulis atau karya tulis untuk ber-dakwah bil Qalam.
Dewasa ini, kita merasakan masih langkanya para aktifis dakwah bil Qalam. Lebih langka lagi adalah para muballigh yang mampu melakukan dakwah bil lisan sekaligus piawai dakwah bil qalam. Tapi banyak ulama dan cendekiawan hanya “jago pidato” di atas mimbar, namun tidak mampu (tidak mau?) menulis di media massa. Terlebih dalam ranah sastra. Pertanyaannya kemudian, apa istimewanya dakwah bil qalam melalui sastra? Dimana letak titik temu antara keduanya?
Mencari titik temu dakwah dan sastra berarti mendiskusikan sesuatu yang telah nyata dan setiap hari kita baca. Bahkan pertemuan dakwah Islam dan sastra telah ada sejak agama itu didakwahkan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal itu tergambarkan dalam Alquran sebagai kitab suci umat Islam yang menggunakan bahasa sastra dan tidak mampu ditiru maupun ditandingi oleh siapapun sebagai tanda kemukjizatannya. Bahkan dengan tegas Allah menantang orang-orang kafir untuk membuat semisalnya, sebagaimana termaktub dalam sebuah ayat yang artinya, “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang Kami wahyukan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar.” (QS. Al Baqarah: 23).
Islam menjunjung tinggi nilai-nilai kesusastraan. Ruang dialektika yang terdapat dalam dunia kesusastraan, menjadikannya mampu menemukan warna baru dalam rangka menyampaikan pesan suci Tuhan yang disebut dengan dakwah. Dakwah dan sastra telah menjadi sesuatu yang senyawa. Keduanya saling menguatkan satu sama lain. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sastra Islami (dakwah) menjadi bagian genre tersendiri dari sastra.
Dari sisi historis ke-Indonesia-an, selain dengan kebudayaan Islam juga didakwahkan para Wali Songo melalui sastra. Mereka pertama-tama menulis kitab-kitab ceritera. Bukan kitab-kitab fiqih, bukan pula kitab-kitab tasawuf (suluk). Cerita-cerita yang tidak berdasarkan pakem wayang Ramayana atau Mahabarata. Tapi cerita-cerita rakyat, cerita orang-orang kecil, yang berbasis dalam kehidupan orang-orang desa, dengan latar belakang alam pedesaan. Terutama tentang kisah-kisah si jaka yang populis: Jaka Partwa, Jaka Karewet, Jaka Sureng, Jaka Sumantri, Jaka Bodo, Jaka Klinting, dan Jaka Sujalma.
            Dengan strategi-strategi mengkomunikasikan kultur dan bahasa (sastra) ini tercapailah tujuan-tujuan Wali Songo. Yaitu menciptakan masyarakat etis yang berlandaskan karakter berguru kepada ulama dan ngaji kitab, serta pembentukan peradaban kosmopolit. Bahkan ajaran-ajaran mereka mampu mengakar kuat di level gress root selama berabad-abad. Melihat yang demikian, maka sebenarnya kultur pengkomunikasian dakwah lewat sastra sebenarnya telah ada sejak zaman pendahulu-pendahulu kita.
Dewasa ini pun apabila kita melirik ke beberapa pesantren atau pusat-pusat perkembangan agama Islam, maka akan mendengar atau menyaksikan hasil-hasil karya sastra di kalangan pesantren. Bentuk karya sastra tersebut ada berupa nadzam atau nadzaman, drama, puisi, dan syair-syair hafalan mengenai ilmu tertentu.
Seiring dengan bergulirnya waktu tradisi menulis sastra yang demikian ini mengalami perubahan menyesuaikan zaman dan kondisi pembacanya. Menulis memang mempunyai beberapa perbedaan mendasar apabila dibandingkan dengan cara lisan untuk berdakwah. Tulisan merupakan media yang merekam materi penyampaian secara lebih baik karena lazimnya dituang secara lengkap dan detail. Sedangkan media lisan mempunyai keunggulannya sendiri, yakni pembicara merasakan mengalirnya bahan pembicaraan apabila mendapatkan respon yang baik dari pendengarnya. Berbeda dengan proses menulis yang seringnya terkendala karena kebuntuan pemikiran penulisnya dan tanpa adanya interaksi dalam bentuk nyata.
Berdakwah lewat tulisan pun tidak perlu kaku dengan tulisan yang sarat akan nuansa ilmiah. Walaupun memang tulisan dakwah yang bagus adalah tulisan yang berlandaskan pada rujukan yang shahih (valid), tetapi kreativitas dalam menulis juga dapat dilakukan. Sebagai contohnya adalah ulama Sayyid Quthb yang menuliskan tafsir Al Qur’an dengan nuansa yang sarat dengan sastra dan keindahan bahasa di dalamnya. Atau penulis terkenal Habiburrahman el Shirazy yang dapat memberikan citra akan indahnya Islam yang diramu dengan sisi dakwah dan motivasi melalui novel-novel sastranya.
Akan tetapi ada yang mensinyalir kondisi dilematis dalam meramu unsur-unsur dakwah islami dalam sastra. Berdakwah melalui sastra membutuhkan setidaknya idealisme yang jelas serta kekayaan bahasa, agar karya kita mampu menggerakkan seseorang. Karena ciri khas sastra adalah kekayaan bahasa, ungkapan yang luhur, dan menggerakkan perasaan.
Seringkali dijumpai karya sastra yang sangat idealis, akan tetapi kosong akan kekayaan bahasa. Ibarat mendaki gunung, sastra seperti ini adalah pendaki yang membekali dirinya dengan alat navigasi yang komplit, kompas, peta, GPS, dan jelas tujuannya. Tapi sayangnya ia tidak membawa bekal apapun seperti makanan, pakaian hangat, senter, dan tenda. Bagi para penulis yang seperti ini diharapkan untuk mengasah ketrampilan berbahasanya dengan banyak membaca, membandingkan berbagai macam karya sastra, dan mengasah intuisinya.
Namun ada kalanya pula dijumpai karya yang bagus bahasanya, tinggi, bahkan melangit, tapi hingga kata-kata terakhir tidak jelas arah tujuannya. Ibarat mendaki gunung, ia membawa banyak perbekalan tapi sayangnya ia tidak membawa sama sekali alat navigasi, buta akan peta, dan tidak jelas tujuannya. Untuk penulis seperti ini diharapkan untuk kembali mengaji. Kembali untuk mengasah idealismenya. Mengasah kembali pisau analisisnya. Dan ketika berbicara masalah sastra Islam, maka sudah selayaknyalah kita kembali mengkaji Islam secara menyeluruh, kaffah, dan istiqomah.
Namun, realitanya semua itu mampu dijawab oleh sastrawan-sastrawan Islami. Jika membaca novel-novel karangan Habiburrahman El Shirazy misalnya, dia mampu menjaga antara nilai estetika dan idealisme berdakwah. Karena sejatinya cerita-cerita tentang realitas sosial dan sendi-sendi dunia keislaman pun telah menjadi nilai estetika tersendiri. Maka sudah saatnya jika keislaman didakwahkan melalui berbagai wahana, terlebih sastra.
Wallahu a’lam.......

Ciputat, diantara semangat dan  liku lelah pengembaraan merajut asa 29122012.

Rabu, 19 Desember 2012

Anomali Pendidikan

          Semua kita sepakat bahwa pendidikan menjadi hal terpenting bagi kehidupan manusia. Manusia yang terdidik menjadi beradab di depan manusia lain maupun Tuhannya. Karena pendidikan pula seseorang merajut kesuksesan. Pendidikan menjadi cermin kemajuan suatu bangsa. Bila output pendidikannya baik maka masa depan bangsa akan cemerlang dan disegani bangsa lain. Maka jangan heran bila negara-negara maju dewasa ini ialah negara yang sangat menghargai pendidikan dan para ilmuan.
          Sangat tidak diragukan jika Al-Qur’an menyitir sebuah ayat yang menjelaskan bahwa Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman diantara kamu semua dan orang-orang yang berilmu pengetahuan. Saking pentingnya  menuntut ilmu, Rasulullah sampai mencanangkan Longlife Education, sebagaimana dalam sabdanya : Carilah ilmu mulai dari turun ayunan sampai ke liang lahad. Dalam sabdanya yang lain bahkan Rasul mewajibkan menuntut ilmu bagi muslim dan muslimah.
          Belakangan muncul fenomena-fenomena yang cukup menguras energi bangsa ini. Rasanya tak ada habisnya setiap hari kita disuguhi dengan berita-berita kegaduhan bangsa kita indonesia yang tak kunjung reda. Dan yang paling menjadi momok memilukan dari dulu sampai sekarang ialah kasus korupsi yang tak ada matinya. Diberantas satu justru tumbuh seribu. Celakanya lagi perbuatan hina ini dilakukan oleh para pemangku kepentingan, sebut saja DPR dan para pejabat negara. Bukankah mereka orang-orang pintar, yang menghabiskan masa mudanya di bangku pendidikan? Adakah yang salah dengan sistem pendidikan kita sehingga outputnya adalah orang-orang yang seolah lebih buruk dari orang yang tidak terdidik sekalipun?
          Disadari atau tidak, sebagian institusi pendidikan kita mengajarkan pendidikan yang bermental korupsi. Meskipun tidak secara langsung diajarkan dalam forum belajar mengajar, tetapi kenyataan itu ada dalam sistem. Semisal dalam hal rekrutmen pelajar. Selain pintar, banyak sekolah-sekolah favorit yang mengharuskan calon anak didiknya kaya. Karena, hanya mereka yang berani membayar biaya tinggi yang akan diterima. Sekalipun biaya itu untuk perkembangan institusi, akan tetapi secara tidak sadar anak didiknya diajari praktik suap. Keadaan ini pun juga berlaku di perguruan tinggi.
           Kekacauan dunia pendidikan yang lain ialah adanya disorientasi pendidikan. Belajar tak lagi bertujuan menuntut ilmu dan menghilangkan kebodohan, melainkan untuk mengais uang. Maka hal yang demikian ini sejatinya justru menghilangkan spirit belajar itu sendiri. Yang ada dalam pikiran mereka hanya uang dan uang.
          Selain problem-problem di atas, masih banyak lagi anomali-anomali pendidikan yang intinya berujung pada mengajarkan ketidakjujuran. Seperti memberikan bocoran jawaban pada siswa saat UN, hanya karena kawathir tidak lulus dan sekolahnya tercoreng di mata umum. Sementara di sisi lain anak-anak kita tiap hari di suguhi tontonan korupsi dari para elite pejabat tanpa diimbangi pendidikan korupsi dan kejujuran yang memadai. Dan masih banyak lagi kenyataan-kenyataan lain yang mencederai akal sehat kita.
          Tentunya, semua itu jangan sampai berlarut-larut dan berkelanjutan tanpa ada perubahan. Semua pihak, pejabat pendidikan, guru dan orang tua harus bersinergi. Paling tidak ada beberapa sudut pandang, sistem juga kebijakan yang harus dibenahi, diantaranya :
Pertama, character building. Hal mendasar yang harus ditanamkan pada anak didik pertama kali ialah pembangunan karakter. Sejak dini seorang anak hendaknya disuguhi pembelajaran akhlak-akhlak terpuji, terutama akhlak kejujuran. Baik dalam tuntunan yaitu pada proses belajar mengajar di kelas, juga tontonan dengan memberi teladan melalui perilaku. Seorang anak ibaratkan tanaman yang baru tumbuh. Setiap hari harus disiram dengan nilai-nilai terpuji agar mengakar kuat. Bilamana besar nanti terhembus hingar bingar angin kencang kehidupan yang keras, ia akan senantiasa tegak berdiri tak tergoyahkan.
Kedua, kembali ke orientasi pendidikan. Ketika belajar berorientasi untuk menuntut ilmu, maka anak didik kita akan menikmati proses pendidikan yang indah. Setiap saat selalu ada suntikan spirit untuk menyingkap samudera ilmu yang teramat luas. Coba bandingkan jika belajar berorientasi untuk memperoleh pekerjaan atau uang. Maka yang terjadi ialah belajar hanya menjadi kedok dan alat. Ia tidak akan menikmati proses yang ada dan hanya berkepentingan bagaimana caranya agar lulus, memperoleh sarjana dan bekerja. Pada akhirnya yang didapatkan hanyalah penyesalan. Rasanya sudah tegas maqolah sahabat yang berbunyi ilmu lebih utama daripada harta. Dengan ilmu harta akan kita raih, tapi dengan harta belum tentu ilmu tergapai. Maka seyogyanya para insan yang berilmu tak perlu khawatir dengan masalah ekonomi, karena Allah telah menjanjikan derajat yang tinggi bagi mereka di dunia maupun akhirat.
Ketiga, pendidikan gratis. Gembar-gembor bahwa APBN negara dialokasikan 20% untuk dunia pendidikan nyatanya belum menjawab semua masalah. Masih banyak masyarakat miskin yang belum tersentuh bangku pendidikan karena mahalnya biaya. Terutama mereka yang nun jauh di pelosok desa. Keadaan mereka yang telah payah oleh beban ekonomi diperparah dengan diperbodohkannya anak-anak mereka dengan tidak mampu meraih kesempatan belajar. Pada akhirnya yang miskin makin miskin oleh karena anak cucunya tak mampu menaikkan derajatnya. Maka perlu digalakkan pendidikan gratis yang merata mulai tingkat terendah sampai tingkat tertinggi sebagaimana di negara-negara maju. Dengan demikian semua rakyat akan mendapatkan hak yang sama untuk merasakan kesempatan di bangku pendidikan.
Keempat, regenerasi pengajar. Ada baiknya jika setiap institusi memperhatikan hal regenerasi guru dengan mengharuskan hanya alumninya yang bisa mengajukan diri sebagai tenaga pengajar. Karena berdasarkan realita, guru alumni lebih memiliki spirit yang kuat untuk memajukan institusi. Mereka akan merasa bangga dan dihargai karena bisa mengabdi di institusi yang mana ia belajar dulu, sehingga akan memacu semangat untuk memberikan yang terbaik.
          Dan ternyata, itu semua telah ada sejak dulu dalam sistem pendidikan islam. Kita bisa berkaca pada sistem dan arah pembelajaran yang ada pada pondok pesantren sekarang ini, yang mengutamakan akhlak, pendidikan karakter, ilmu agama yang tentunya tidak kalah juga ilmu umum. Lebih jauh lagi pondok pesantren telah mempraktikkan kemandirian hidup dan bagaimana bersosialisasi dengan masyarakat. Bahkan sistem dan kebijakan pun dikendalikan oleh para santri. Pengasuh dan para ustadz hanya membimbing, memantau dan mengarahkan. Sistem keuangan pun sangat transparan. Dengan demikian tidak salah jika pondok pesantren dikatakan sebagai laboratorium kehidupan. Sebab para santri digembleng dan dididik dengan ilmu dan amal agar cakap dan siap sebelum terjun di masyarakat.
          Hendaknya ilmu diimbangi dengan iman. Ilmu ibarat sebilah pisau yang bila di tangan penjahat tanpa iman maka akan menghunus orang dan terjadilah pembunuhan. Namun bila ditangan ulama atau orang yang beriman dan berakhlak maka akan menyembelih hewan yang menjadi halal karena disertai bismillah dan etika menyembelih. Ilmu akan liar tanpa iman. Iman tanpa ilmu bak buih di tengah lautan.
          Sejatinya, belajar tidaklah harus di institusi pendidikan. Karena, setiap jengkal kaki, sejauh mata memandang dan telinga mendengar, disitulah ladang untuk belajar. Yang terpenting, setiap kita ada kemauan dan bersungguh-sungguh untuk menggapainya. Samudera ilmu tidak akan pernah habis kita teguk. Camkan baik-baik bahwa di atas langit masih ada langit. Sepintar dan sehebat apapun kita tidaklah seberapa. Belajarlah pada padi yang semakin berisi semakin merunduk. Belajarlah pada sabda Nabi tentang longlife education, maka semakin berilmu kita semakin merasa bodoh. Belajarlah pada pohon-pohon yang berbuah, maka ilmu kita pun berbuah dengan amal. Niscaya masa depan agama, negara, nusa dan bangsa akan cemerlang. Semoga…

Ciputat, 19 Desember 2012

Rabu, 12 Desember 2012

Sebait Rindu

Sebuah persembahan untuk almamaterku
Pada peringatan satoe abad Perguruan Islam Mathali'ul Falah

Kubah Merindu

Dari mendung yang pecah
Gerimis meneriaki hujan
Lebat membelah ibu kota

Ku hamparkan pekikan kenangan indah
Tentang rinduku yang karam
Dari pucuk waktu yang tenggelam
Dari masa biru menderu

Disini, aspal-aspal digenang pasang
Wangimu semerbak dalam pijakku
Disini, gedung-gedung besar mencengkram
Kubahmu kukuh di kalbu

Sholih akrom kau larungkan
Pada jiwa-jiwa meradang basuhan
Teruntuk bekal ilmu
Akhirah-Nya kau tuju
Namamu tak surut ku rindu
Biar silau metropolitan rayu memburu

 


Pelita Cita

Masih di pelupuk mata
Putih ujudmu menyejuk raga
Hangat mendesir tak alpha ku melupa
Bangku kursi tempatku kau menempa
Merajut harap, mimpi pula

Hari ini gelombang pasang
Shighotmu meniti zaman
Tuntun kami berdiri lantang
Dalam keras hidup meradang

Jubahmu membalut kini
Diri dhoif nan jahil kami
Lecut harum mendekap hari
Sirna beban moral hati

Engkau hadir dalam pesona
Menyiap insan berbudi taqwa
Mewaris alam, pancar pelita
Ilmu iman sebagai nahkoda
Untuk selintas coba dunia
Saku kekal akhirah-Nya




Mathali’ul Falah

Mathali’ul Falah
Syiarmu benderang di putih kubah
Terpahat di bibir lempengan sejarah
Menepis coba goda penjarah
Menebar sabab-sabab berkah,
Dalam runduk tawadhu’ lillah

Mathali’ul Falah
Seabad kau bertutur kata
Diantara hitam putih cerita
Sabdamu tak lekang masa
Diburu para penimba

Mathali’ul Falah
Apa kabar esok petang?
Dunia makin sumbang
Lirik-lirik pucat bertemaram
Akankah oase di tengah padang
Atau terkapar gerusan zaman

Mathali’ul Falah
Atasmu salam rindu kami
Asatidzmu pinta doa kami
Dalam sehat, kawilujengan Ilahi
Muassis wa masyayikh ilhami
Derap langkah cita kami

Mathali’ul Falah
Basuh kami, petuahmu
Terangi kami, pelita ilmumu
Inspirasi kami, wibawamu
Iringi kami, akhlakmu
Menapak jejak dunia akhirah-Mu


Ciputat, diantara rintik hujan dan desau angin penghantar rindu pada almamaterku