Selamat Datang di Dunia olient_online

Selamat Datang di Dunia Mini olient_online

Kamis, 31 Desember 2009

Refleksi Akhir Tahun

            Tidak disadari oleh kita sekalian,seakan waktu berputar seakan lebih cepat. Tidak terasa kita telah berada di ujung tahun 2009. Baru kemarin rasanya kita memulai semangat baru di tahun baru 2009, tapi hanya dalam hitungan jam ke depan tahun ini segera tertelan meninggalkan semua. Tanpa disangka pula begitu banyak fenomena dan dinamika kehidupan yang terjadi tanpa terduga dan terencana. Sekaligus mengukuhkan posisi kita semua sebagai manusia yang tidak akan pernah tahu takdir kita ke depan bagaimana? Begitu pula teramat banyak waktu yang dirasa berlalu dengan kesia-siaan. Demikian halnya sederet masalah-masalah yang menimpa dan masih mengambang keterselesaiannya, baik dalam konteks keindonesiaan maupun keislaman.
            Maka idealnya bila mana di penghujung tahun yang penuh berkah ini kita sejenak bermuhasabah, mengintrospeksi diri pribadi serta merenungi amal dan perbuatan yang telah lalu guna menyongsong hari esok yang lebih baik dan menjanjikan. Bersama kita renungi akan keberadaan kita sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang telah dianugerahi begitu banyak nikmat tak terhingga, sehingga apa yang mampu kita persembahkan sebagai wujud kontribusi konkrit terhadap negeri ini? Seberapa besar kualitas negeri ini sehingga masih saja masalah berdatangan silih berganti. Sebagaimana yang demikian itu, keberadaan agama Islam yang boleh dibilah dewasa di negeri ini dan lebih tua keberadaannya, ternyata dalam praktik belum sepenuhnya aqidah dan syari'atnya terpatri kuat dalam sanubari setiap umat.
            Dalam bingkai keindonesiaan, tentu masih tersimpan dalam ingatan sederet permasalahan maupun kejadian yang menimpa selama setahun ke belakang. Harus diakui bahwa sampai detik ini praktik korupsi, kolusi dan nepotisme masih menjamur di kalangan pejabat berwenang tingkat pusat sampai tingkat daerah. Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang boleh dikata sedang menunjukkan taringnya akhir-akhir ini, tidak serta merta menjadikan para koruptor jera. Ditekan sedemikian rupa, korupsi masih saja merajalela dan menjadi momok yang belum ada solusinya.
            Satu lagi kerancuan di negeri ini ialah mandulnya hukum dan keadilan. Atas kasus yang menimpa Prita Mulyasari, nenek Minah dan rakyat kecil lain, tentunya dapat kitak tarik kesimpulan bahwa hukum di Indonesia masih tembang pilih dalam memutus keadilan. Hukum yang seharusnya menjadi tumpuhan akhir bagi rakyat lemah dalam mengais keadilan, justru semakin melemahkan kelemahan rakyat. Barangkali masih banyak Prita-Prita lain yang tidak terpublikasikan ke permukaan. Sementara di sisi lain, seorang Anggodo yang terang-terangan menyetir lembaga peradilan dengan hartanya justru kasusnya tidak bergaung dan orangnya masih bebas berkeliaran. Apakah memang keadilan tidak diperuntukkan bagi kaum lemah?
            Masih banyak lagi problematika negeri yang masih menggantung sampai di penghujung tahun ini. Sebut saja konstelasi politik antarpolitikus yang belum mencapai titik kedewasaan dan sportifitas. Semisal saat-saat masa pemilu beberapa bulan yang lalu, kita dipertontonkan pendidikan politik yang tidak sehat. Antarkelompok saling serang sana, serang sini, demi kepentingan masing-masing. Kawan bisa menjadi lawan, sebaliknya lawan bisa menjadi kawan, seolah menegaskan bahwa tiada lawan maupun kawan yang abadi dalam strategi politik. Semua tergantung untung dan kepentingan. Ibarat kata kepentingan dapat membenarkan segalanya dan membenarkan perilaku inkonsisten.
            Selain masalah-masalah di atas, dalam sisi yang lain kesejahteraan rakyat Indonesia masih jauh dari bayangan. Otonomi serta pemerataan semua daerah juga belum sempurna. Ditambah lagi bencana demi bencana seolah tiada berhenti menerpa negeri ini dan cukup menguras tenaga dan materi. Di tengah dinamika semua itu, salah satu guru bangsa sekaligus pembela kaum lemah yang senantiasa menggaungkan panji-panji demokrasi, KH. Abdurrahman Wahid, dipanggil oleh Sang Maha Pencipta.
            Atas semua masalah yang terjadi sedemikian kompleks seperti itu menyebabkan keberlangsungan pembangunan nasional kurang optimal. Negeri ini ibarat berjalan terseok-seok karena salah satu kakinya yang pincang. Di satu kaki, Pemerintah yang belum lama terbentuk menebar semangat, strategi dan cita-cita akan Indonesia yang lebih baik. Sementara di kaki yang lain, berjubel penyakit berupa permasalahan yang kompleks menghambat kelancaran perjalanan meretas masa depan negeri. Totalitas semangat dan strategi yang seharusnya tercurah bagi kaki yang hendak menjemput cita-cita habis terkuras untuk menyeret-nyeret kaki yang pincang penuh masalah.
           Tak ubahnya kondisi keislaman kekinian pun demikian. Dalam rentang waktu setahun ini telah berkali-kali Islam Indonesia dicemaskan dengan munculnya aliran-aliran sesat. Aliran yang mengaku Islam tapi telah keluar dari doktrin maupun ajaran main stream yang sebenarnya. Ini membuktikan bahwasannya implementasi tauhid juga syari'at belum melekat kuat dalam diri muslim kita. Dan sangat ditakutkan bila aliran-aliran yang demikian ini mempengaruhi para penganut Islam Indonesia yang lain, yang notabenenya kebanyakan dari mereka keimanan serta pengetahuan tentang islam belumlah kuat.
            Tidak dapat dipungkiri bahwa hakikat keislaman yang sebenarnya belum tercermin pada setiap muslim Indonesia kebanyakan. Islam seolah hanya menjadi embel-embel untuk melengkapi identitas mereka. Sedangkan praktik syari'at Islam dalam kehidupan mereka belum sepenuhnya terejawantahkan. Maka tidaklah heran bila di sana-sini maksiat merajalela. Kondisi demikian inilah yang menjadikan muslim di Indonesia rentan terhadap pengaruh budaya-budaya luar yang tidak seirama dengan agama Islam, terlebih budaya barat.
            Begitu banyaknya masalah baik dalam bingkai keindonesiaan maupun keislaman yang diantaranya tersebut di atas mengisyaratkan bahwa masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan secepatnya. Bersyukurlah bahwa masalah-masalah masih mengelilingi kehidupan sehari-hari. Karena adanya masalah berarti perintah bagi kita untuk memperbaiki diri. Dengan masalah kita menjadi berpikir. Dengan masalah pula pengalaman-pengalaman baru kita dapatkan sekaligus perintah agar di esok hari jangan sampai kita jatuh di lubang yang sama. Pada akhirnya masalah-masalah yang selama ini mendera niscaya menjadikan Indonesia maupun Islam di kemudian nanti akan kokoh dan daya bantingnya kuat serta teruji. Itu semua akan tercapai jika masalah-masalah tersebut kita hadapi dengan bijak dan penuh pertimbangan.
            Karenanya, di ujung pergantian tahun ini, bersama kita merenung sejenak tentang hal-hal maupun perbuatan yang telah lalu. Seberapa besar kualitas diri ini hingga detik ini. Barang kali kita perlu berfikir ulang mengenai kehidupan ini. Apa yang menjadi tujuan dari pada kehidupan dunia? Kemudian sudah puaskah kita dengan pencapaian-pencapaian yang telah kita raih hingga hari ini? Hidup merupakan pilihan antara yang baik atau buruk, bermanfaat atau jahat, bahagia atau nestapa. Apakah kita memutuskan untuk menjadikan hidup ini lebih bermakna ataukah hanya seperti binatang yang hanya makan dan memenuhi nafsu.
            Coba kita renungi hari demi hari dalam hidup ini. Setiap satu hari kita dianugerahi 24 jam. Pejabat, rakyat, pedagang, pengemis, pengusaha, pengangguran semua sama-sama menikmati 24 jam. Tapi dari jumlah jam yang sama rata tersebut, apakah sama kualitas yang diperoleh dari hasil penghabisan waktu tersebut? Sederhannya, kualitas hidup ini hanya dapat diukur dengan seberapa besar kualitas orang tersebut dalam memaksimalkan dan memanfaatkan waktu hari demi hari. Untuk itu, putuskanlah sekarang juga untuk mewarnai dan memaknai kehidupan dengan kebaikan dan tindakan yang berkualitas. Kualitaskan diri anda untuk hal-hal yang terkecil, sehingga dengan akumulasi dari berkualitasnya hal-hal yang terkecil itu kita akan mampu menjadikan hal-hal yang besar berkualitas.
Wallahu A'lam…………..

Grobogan, sesaat menjelang pergantian tahun

In Memoriam KH. Abdurrahman Wahid


Sekali lagi berkabung Indonesia
Penghujung 2009, bumi langit nusantara berduka
Sang bapak guru bangsa dan agama
Telah berpulang kepada-Nya
Isak tangis dalam gegap gemuruh takbir umat manusia
Membahana, mengiringi duka peristirahatannya


Jasa-jasanya yang tak terhingga
Niscaya akan selalu dalam kenangan selamanya
Kami, para santri dan cucunya
Mutiara kata dalam setiap petuah dan dawuhnya
Seutuhnya menjadi ilham dan motivasi kami generasi muda


Wahai maha guru bangsa
Inspirasilah kami dalam mengarungi kehidupan bernegara
Harapan panjenengan akan Indonesia yang sejahtera
Semoga mampu diwujudkan para pemimpin kami selanjutnya


Wahai pengayom umat pemandu ulama'
Kiprah, peran dan pemikiran panjenengan di Nahdlatul Ulama'
Laksana motivasi bagi penerusmu yang jama'
Menjadi harapan dalam setiap gerak-gerik dan do'a
Bagi masa depan Islam yang jaya


Kini perjuangan panjenengan telah purna
Beristirahatlah dengan tenang di alam baka
Indonesia senantiasa mengenang jasa-jasamu yang mulia
Islam mengabadikan perjuangan dan pemikiranmu yang lentera
Dunia niscaya kehilangan sang tokoh demokrasi dunia


Selamat jalan putra terbaik Indonesia
Selamat jalan ulama' kebanggaan semua
Selamat jalan Syaikhuna

Selamat jalan Murobbi ruhina
Sendi-sendi perjuanganmu akan senantiasa abadi
Mengawal demokrasi di negeri ini


Selamat jalan sang telaga keteladanan
Sapa doa kami menyertai kepulanganmu
Panjatan takbir dan fatihah mengiringi menuju peristirahatan terakhirmu
Allahummaghfirlahu warhamhu wa'afihi wa'fu 'anhu


Selamat jalan selamanya GUS DUR
Selamat jalan selamanya ….
Selamat jalan …
Selamat.....
Jalan.....


Grobogan, penghujung 2009
Seklumit persembahan atas kepulangan Presiden ke-4 Indonesia KH. Abdurrohman Wahid,
30 Desember 2009, pukul : 18.45 WIB


Selasa, 29 Desember 2009

Antara Tidak Berubah dan Terus Berubah-ubah


           Alam senantiasa berubah, demikian sunnatullah yang tidak dapat kita ingkari. Demikian halnya keadaan kehidupan manusia yang meniscayakan perubahan waktu demi waktu. Sementara roda kehidupan terus berputar semakin menuju pada titik terakhirnya. Hari ini seseorang berada di sisi atas, bisa jadi esok hari berubah ke sisi bawah. Bisa jadi saat sekarang anda dimuliakan, tapi tidak menutup kemungkinan nanti anda akan terhina. Maka demikianlah laju perputaran kehidupan yang dinamis. Semua berkelindan dalam garis takdirnya. Tapi tahukah teman, bahwa kita dapat merubah keadaan diri sendiri! Sebagaimana anjuran ikhtiar yang diisyaratkan Allah dalam petikan ayat, "Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu kaum sehingga kaum itu merubah dengan diri mereka sendiri".
            Dewasa ini zaman terus berkembang pesat menuju arah kemajuan. Semua orang bersaing ketat dalam kompetisi meraih kesuksesan di era yang makin mengglobal ini. Semua pribadi bersaing sengit mengerahkan segenap tenaga dan pikiran dalam menyongsong masa depan, mengingat keadaan zaman semakin menuntut kecakapan dan kelihaian dalam menyulap setiap peluang berbuahkan uang. Kendati hukum alam telah menjelaskan bahwa kehidupan manusia bak roda, kadang di atas kadang di bawah, akan tetapi sangat logis bila semua pribadi menginginkan selamanya dalam kesuksesan dan kecemerlangan. Tinggal apakah bekal yang mestinya disiapkan untuk menyongsong itu semua ?
            Maka perlu diketahui bahwasannya terdapat dua tipe manusia yang mustahil menoreh kesuksesan di era sekarang. Adalah mereka yang enggan berubah dan mereka yang selalu berubah-ubah. Orang yang tidak mau berubah akan selalu tertinggal oleh kompetitor lain yang lebih dinamis dalam mengarungi hidup. Orang-orang yang demikian ini akan selalu terpinggirkan di masyarakatnya. Mereka cenderung stagnan dan sulit menuai kemajuan. Padahal, zaman semakin ke depan akan senantiasa berubah dan menuntut pelaku hidup untuk maju.
            Pada kenyataannya, orang-orang yang konsisten dalam ketidakberubahan lebih banyak memegang prinsip tertutup dari dunia luar lingkungannya. Kebanyakan dari mereka memiliki potensi menuju kesuksesan. Hanya saja, terperangkap pada satu prinsip yang sudah tiada relevan di zaman ini. Celakanya lagi bila prinsip yang demikian ini dikaitkan pada ajaran agama.
           Rasanya tidaklah sulit menemukan orang-orang yang masing berpegang pada ketertutupan dan ketidakberubahan. Masih banyak, khususnya di desa-desa, orang-orang yang menghendaki selamanya hidup di desa dan mengarungi hidup dengan apa adanya. Mereka enggan mengenal dunia modern yang dianggap hanya akan mengkontaminasi kehidupan mereka ke arah kesesatan dan ketidakbenaran dalam beragama. Sementara bila ada orang luar yang berkiprah di lingkungannya, ironis mereka gesit untuk mengintimidasi dan mencari-cari kesalahannya. Sekalipun kiprah orang luar itu demi kemajuan masyarakat, bahkan kemajuan di bidang agama sekalipun.
            Kemudian satu lagi tipe manusia yang jauh dari kesuksesan ialah mereka yang selalu berubah-ubah. Manusia yang demikian ini lebih dominan kepada mereka yang tidak berprinsip dan tidak berpendirian hidup. Tapak jalan kehidupan yang mereka lalui tanpa ada arah yang jelas dan selamanya hanya akan menjadi bumbu-bumbu kehidupan. Kata orang jawa bilang, "melu grubyuk ora ngerti rembuk". Mereka hinggap kesana-kemari di berbagai bidang tanpa pernah konsisten untuk menggeluti satu bidang tertentu. Sedangkan potensi diri yang mereka miliki seolah menjadi semu oleh ketidakkonsistenan dalam usaha meraih kesuksesan. Padahal, di era yang sarat persaingan menuntut setiap pribadi untuk memiliki ketrampilan matang di bidang tertentu guna memenuhi kebutuhan yang serba maju. Ujung-ujungnya mereka terpelanting keluar arena persaingan merebutkan kesuksesan. Maka pada akhirnya, kedua tipe manusia di atas akan punah digilas oleh perubahan.
            Belakangan muncul satu pertanyaan, jika tipe manusia yang niscaya punah ditelan zaman ialah mereka yang konsisten pada ketidakberubahan dan mereka yang terus berubah-ubah, lalu tipe manusia yang bagaimanakah yang akan merajut kesuksesan?
            Adalah mereka yang senantiasa beradaptasi terhadap keadaan dan perubahan zaman. Seeorang akan nyaman berbaur dan diterima oleh masyarakat manakala ia mampu beradaptasi dengan lingkungan di sekelilingnya. Untuk menjangkau semua itu diperlukan sudut pandang pemikiran yang terbuka terhadap segala hal dunia luar. Sudah semestinya mereka selalu mengikuti kemajuan dan perkembangan zaman kekinian. Dengan demikian keeksisan mereka dalam sosialisasi kehidupan akan diperhitungkan.
            Pada dasarnya, tidak semua hal yang berbau modern dan globalisasi akan menyesatkan. Tidak pula keputusan untuk terbuka terhadap dunia luar serta merta akan mencederai kualitas dan kuantitas keimanan serta pengejawantahan ibadah kepada Tuhan. Gemerlap dan warna-warni era modern hanyalah wahana dan merupakan konsekuensi logis atas keberadaan alam yang senantiasa berubah. Sedangkan sisi baik-buruknya terletak dan tergantung pada pemakai dan sudut pandang pemakaiannya. Bila dimanfaatkan untuk atau dengan cara keburukan, imbasnya ialah kesesatan dan kehancuran. Sedang jika dimanfaatkan untuk atau dengan cara kebaikan, maka tiada lain kecuali balasan berupa kebaikan serta pahala. Kiranya tidaklah sedikit hal-hal yang bernilai positif dari masa ke masa. Dan sangat mungkin bila era modern adalah ladang untuk beribadah kepada Tuhan sekaligus menuai kesuksesan.
           Sejak dahulu kala sejarah telah mencatat bahwasannya Jepang pada awal mulanya merupakan Negara biasa yang menutup diri dari intervensi Negara lain. Baru setelah Negara tersebut membuka lebar-lebar politik keterbukaannya yang disebut dengan Restorasi Meiji, saat itulah Jepang beranjak menjadi Negara maju. Negara tersebut mampu memanfaatkan moment keterdesakan oleh Negara lain menjadi peluang dan tonggak untuk mewujudkan Jepang Macan Asia. Diantara politik yang mereka adopsi ialah menyekolahkan anak bangsa setinggi-tingginya ke Negara-negara yang telah terlebih dahulu maju. Selain juga mendatangkan intelektual-intelektual hebat dari luar negeri untuk memberi pendidikan kepada para pelajar Jepang.
            Demikianlah seharusnya yang harus kita lakukan di tengah arus globalisasi yang sudah tidak dapat dibendung lagi. Kita harus mampu menjadi hamba yang sholeh yang dalam Al-Qur'an akan mewarisi dan memimpin kehidupan serta peradaban bumi. Tidaklah perlu merasa takut dan gamang untuk menghadapi globalisasi. Ambillah hal-hal yang positif dari era ini, sebagaimana motto orang NU "Al Muhafadhotu ala al qodimi as sholih wa al akhdzu bi al jadidi al ashlah".
           Pada akhirnya, keputusan untuk terbuka terhadap dunia modern cukuplah berat. Yang mesti digarisbawahi ialah bahwa diperlukan pondasi iman dan benteng keilmuan agama yang kuat dan mumpuni sebelum terjun dan berbaur dengan dunia modern yang tanpa batasan, agar tidak tersesat dan terombang-ambing oleh permainan duniawi. Jika hal demikian telah didapatkan, keterbukaan terhadap segala hal dengan tetap bijak dalam memilih dan memilah baik-buruk merupakan sebuah keniscayaan untuk membuka gerbang kesuksesan.
            Mari kita sapa gerbang 2010 dengan target dan obsesi maksimal untuk memperoleh kesuksesan dunia-akhirat. Dan tergesalah untuk berbuat kebaikan sepanjang waktu, niscaya kebaikan pula yang hendak kalian dapatkan. Selamat berjuang……………..

Brakas, penghujung 2009

Jumat, 04 Desember 2009

Cerpen 1 : Risau Surau

            Pesona awan yang memerah masih menggantung di hamparan langit ufuk barat. Segera menyusul kegelapan petang, mengejar dari jagad timur. Siang pun dilumat oleh datangnya malam. Menghentikan aktifitas para pekerja. Menyapa para pelajar untuk bersua bersama orang tua. Menyatukan induk hewan dengan anaknya. Memanggil suara binatang malam. Mempertemukan para bapak dengan istri dan anaknya. Malam sedang berpacu.
            Segera adzan bergema. Mengalun merdu menyapa alam, laut, matahari, tumbuh-tumbuhan, hewan, serta seluruh makhluk di muka bumi ini. Bertasbih mengagungkan kebesaran-Nya. Sementara aku masih berdiri tak jauh dari sumber suara itu. Memandangi lekat-lekat surau tua di depanku. Sekian lama ku tinggalkan ke pesantren, di mataku surau itu masih tetap tampak megah, indah dan berharga walau telah lapuk dimakan usia. Barangkali laboratorium ilmu dan ibadah itu tidak begitu menarik bagi kebanyakan orang. Selain dinding-dindingnya yang telah keropos, atau atap yang bocor saat musim hujan tiba, tidak ada benda-benda yang berharga atau istimewa disana. Bila dibandingkan dengan bangunan-bangunan rumah disekelilingnya, surau itu ibaratkan rakyat kecil pucat, berdiri di tengah para pejabat kaya raya untuk meminta-minta.
           Aku pun memasuki bangunan itu. Setelah selesai mendirikan sholat Maghrib berjama’ah, kusempatkan membaca Al-Qur’an walau sejenak. Ku ambil Mushaf Al-Qur’an yang tampak lusuh dan berdebu di lemari. “Tampaknya mushaf-mushaf ini tak pernah digunakan” pikirku.
“Rizal! Kapan pulang?” Kyai Abdullah, imam surau itu memanggilku. Beliau adalah orang yang selalu membimbingku sebelum di pesantren. Di bawah asuhannya, pertama kali aku mampu membaca Al-Qur’an kala masih kecil. Dulu, setiap hari aku mengaji dengan beliau bersama teman-temanku yang sangat banyak. Selain alim dan bersahaja, beliau juga hafal Al-Qur’an.
            Aku berjalan, merunduk menghadap beliau. Walaupun semakin tua, tapi sorot wajah beliau masih sama seperti dulu. Teduh dan mengayomi umat. Dengan sorban yang mengelilingi leher beliau, semakin menambah wibawa. Ku sempatkan mencium tangan beliau terlebih dahulu. “Oh.. inggih Pak Kyai. Tadi sore setelah Ashar”.
            Kami terdiam sejenak. Lalu ku beranikan diriku bertanya-tanya. “Kok sepi ya Pak Kyai? Padahal, dulu waktu setelah Maghrib seperti ini kan paling ramai-ramainya orang mengaji?”
            Kyai Abdullah menghirup nafas sejenak. Beliau tampak mendesah. “Ya… beginilah Zal. Semua orang sekarang menganggap belajar Al-Qur’an tidak penting. Mereka sibuk mengurusi urusan duniawi sampai melupakan pendidikan Al-Qur’an bagi anak-anak mereka. Boro-boro mengurusi ngaji, berjama’ah saja mereka susah. Paling-paling, ada jama’ah ya waktu Maghrib saja. Itu pun tidak seramai dulu. Sampai surau ini akan roboh pun mereka tidak pula memperhatikannya”.
           Keresahan dan keputusasaan beliau juga aku rasakan. Sekali lagi kami terdiam. Aku tak berani mengeluarkan kata-kata. Beliau terbatuk-batuk sesaat. “Zal! Aku ini sudah tua. Aku tak segiat seperti dulu untuk berdakwah. Sudah saatnya, sebagai generasi muda kamu membaktikan dirimu untuk menjaga keislaman di desa ini. Kalau tidak ada yang meneruskan, apa jadinya agama islam ke depan?”.
            “Pak Kyai, aku ini belum bisa apa-apa. Aku ini anak kemarin sore yang masih harus menuntut ilmu lebih bayak”.
            “Lebih baik punya ilmu sedikit tapi diamalkan, daripada ilmu banyak tapi lupa dengan masyarakat di sekelilingnya. Setiap saat kamu masih dapat belajar dari realita kehidupan”.
* * *
Pukul setengah empat pagi.
            Aku terbangun. Diluar hujan deras masih mengguyur. Barang kali tak banyak orang yang tahu sejak jam berapa hujan itu turun. Semua orang terbius oleh nikmatnya tidur malam. Maklum, para orang tua sejak pagi sampai sore harus membanting tulang setiap hari. Sedangkan para anak-anak belajar di pagi hari dan bermain sore harinya. Maka wajar, ketika jarum jam ada pada angka sepuluh malam, desa ini telah sunyi senyap. Rupanya malam hari menjadi waktu tepat untuk beristirihat, melepas lelah dan penat.
            Aku berusaha bangkit dari tidur sekedar untuk mendirikan sholat malam. Tapi rasa dingin yang cukup menjadikanku ini menggigil, memberatkan niatku. Sementara diluar, guntur bergemuruh keras dan bersahut-sahutan. Malam benar-benar terbalut oleh pekatnya gelap dan derasnya hujan. Sebagaimana juga aku yang tak kuasa untuk melepas jaket dan selimut. Malam itu, aku kalah oleh hawa dingin. Akhirnya, kuurungkan niatku untuk bangun. Rasanya membalutkan jaket dan selimut lebih nikmat dibandingkan harus menyentuh sepercik air wudhu yang dinginnya tiada terkira.
            “Ngga’ bangun sekali aja kan ngga’ apa-apa. Habisnya dingin sih! Toh, hujannya semakin deras”. Batinku berusaha memantapkan diri ini untuk benar-benar mengurungkan niat. Padahal sesungguhnya setan sedang menyelinap diam-diam, menggodaku untuk meninggalkan kebaikan. Aku terlupa bahwa pada saat hujan yang deras seperti ini, Allah melimpahkan rahmat di setiap tetesan, bagi mereka yang menenggelamkan diri dalam runduk do’a, bermunajat, mengagungkan kebesaran-Nya.
            Aku benar-benar kalah pagi ini. Segera kupejamkan mata kembali. Menikmati dunia mimpi dalam balutan guyuran air hujan. Namun, ketika alam sadarku hendak melangkah ke alam mimpi, sayup-sayup aku mendengar suara bersahut-sahutan dari ujung corong speaker.
            Seruan adzan Subuh menggema. Menyapa hujan yang sesekali diiringi oleh hembusan angin kencang. Sangat kencang. Menyapa iman para muslimin. Seberapa besar mereka kuat memenuhi panggilan Ilahi diantara dinginnya air hujan dan nikmatnya tidur malam. Aku segera bangun dan memaksakan muka ini dibasuh oleh dinginnya air wudhu. Panggilan sholat subuh akhirnya aku dirikan sendirian di Musholla pribadi. Karena terlalu berat bagiku untuk berjama’ah di surau yang cukup jauh dari rumahku, dalam keadaan hujan yang sederas ini. Setelah sholat kusempatkan membaca Al-Qur’an walaupun hanya satu juz.
* * *
Pukul setengah enam pagi.
            Gumpalan awan hitam telah bergeser dari langit desa. Hujan telah reda meninggalkan cerita yang beraneka ragam. Gara-gara hujan, rumah pak Rahmat dekat tepi sungai, penuh dengan air luapan sungai yang pasang akibat hujan semalam. Sementara di seberang timur, pak Ahmad seperti kebakaran jenggot. Padi yang telah menguning, gagal dipanen karena sawahnya penuh air seperti lautan. Pak Hadi adalah yang paling riang. Sejak musim hujan tiba, dagangan payung dan mantolnya laris manis tiap hari diburu pembeli. Sebagaimana cerita-cerita itu, hujan semalam juga menyisakan cerita duka yang mendalam. Terlebih bagi diriku yang merasa amat kehilangan.
            Aku sedang duduk di balai depan rumahku. Ku tebarkan pandangan ke semua arah. Di depan sana sisa-sisa air hujan masih terlihat di ujung dedaunan yang menetes. Pandanganku terheran oleh langkah Andi yang tergesa-gesa. Kemudian disusul Abdul dan Agus dibelakangnya. Aku berjalan menghampiri mereka.
           “Gus, ada apa? Kok jalanmu tergesa-gesa seperti ada sesuatu yang penting” aku mencoba mereka-reka apa yang ada di pikiran Agus. Tapi tidak bisa.
            “Lho, Zal! Kok kamu masih di rumah? Memangnya kamu tidak tahu musibah semalam ya?”
            “Musibah! musibah apa?” aku mengerutkan dahi. Mataku menatapnya lekat-lekat penuh penasaran.
           “Musibah tadi Shubuh. Kyai Abdullah wafat tertimpa runtuhan surau yang ambruk waktu beliau sedang Sholat Shubuh. Aku juga belum tahu pastinya, soalnya aku baru tahu dari Pakde. Sudah ya… aku buru-buru mau langsung kesana” Agus menjelaskan singkat, padat dan jelas.
            Mendengar kabar itu, ususku bagai dilolosi satu per satu. Hatiku bagai dicabik-cabik oleh tajamnya pedang. Darahku seolah berhenti mengalir, membeku setelah mendengar bahwa orang yang selama ini menjadi penjaga moral dan ruhku kini telah tiada. Sampai-sampai, aku pun tidak sadar kalau Agus telah berjalan meninggalkanku.
            Tidak perlu pikir panjang, aku segera menyusul mengikutinya. Di jalan hatiku kalang kabut. Seolah tidak rela dengan kepergian Kyai Abdullah. Kenapa beliau harus pergi duluan disaat desa ini masih sangat membutuhkan sosok beliau. Kenapa tidak para koruptor, teroris atau penguasa yang dholim yang meninggal lebih dulu. Kenapa tidak mereka yang selama ini memalukan dan merugikan bangsa dan agama ini.
           Pagi itu mendung desaku benar-benar berduka. Sosok yang selama ini menjadi pilar utama penyangga moral dan iman desa ini harus kembali kepada-Nya. Tokoh yang selama ini tidak pernah lelah mensyi’arkan panji-panji islami kini telah tiada. Meninggalkan desa yang sesungguhnya belum kokoh menghadapi lika-liku kehidupan. Meninggalkan kami semua. Terlebih, meninggalkanku yang belum siap, belum mampu dan merasa belum layak meneruskan perjuangannya.
          Pagi itu hujan telah membawa pesan dari surau. Pesan peringatan bagi umat agar selalu memperhatikannya. Dalam artian agar umat ini senantiasa meramaikan surau-surau dengan mendirikan sholat berjama’ah lima waktu, serta mengadakan majlis-majlis pengajian. Karena pada hakikatnya, surau itu telah roboh jauh-jauh hari ketika umat ini telah merendahkan urusan sholat berjama’ah demi mengejar nafsu duniawi. Sesungguhnya sholat dapat mencegah dari perbuatan keji dan inkar.
Wallahu A’lam…

Brakas, dalam keresahan atas kondisi keumatan islam kekinian