Di sela-sela sima’an dan pemberian sanad kitab
hadis al-Arba’in an-Nawawiyah di Darus-Sunnah, 19 Sepetember 2016 lalu,
Syekh Hisyam Kamil dari Mesir berkelakar di hadapan mahasantri, bahwa “Imam
Nawawi itu saking sibuknya dengan ilmu sampai lupa menikah hingga akhir
hayatnya. Sebaliknya, kalau kita lebih sering mengingat-ingat nikah.”
Berbicara
tentang ulama yang “menyendiri”, atau biasa disebut “jomblo”, Imam Nawawi
adalah sosok yang sering dijadikan tamtsil. Hal itu wajar mengingat
kedudukannya yang tinggi di kalangan para ulama.
Abdul
Fattah Abu Ghuddah, dalam kitabnya al-Ulama al-Uzzab al-Ladzina
Aatsaruu-l-Ilma ‘ala-z-Zawaaj, mencantumkan nama Imam Nawawi di urutan
ke-16 dari 20 ulama yang mendahulukan ilmu daripada menikah. Kitab inilah yang
mengilhami KH. Husein Muhammad Cirebon untuk menuliskan buku Memilih Jomblo,
yang kemudian saya pilih sebagai judul tulisan ini.
Menikah dalam Islam merupakan ibadah yang disunnahkan.
Bahkan Nabi Saw dalam salah satu hadisnya menegaskan bahwa menikah merupakan bagian dari sunnahnya. Barangsiapa yang tidak menyukai sunnah Nabi Saw. maka
tidak dianggap sebagai golongannya.
Di sisi lain menikah telah menjadi fitrah manusia, yang
mana ia didorong oleh fitrah tersebut untuk menunaikannya. Al-Quran mempertegasnya
dalam salah satu ayat bahwa manusia dianugerahi oleh Allah dengan kecintaannya
kepada syahwat yang diantaranya adalah kepada lawan jenis. Sehingga Nabi
Saw menganjurkan untuk berpuasa bila belum ‘mampu’ menyalurkan syahwat tersebut.
Fitrah manusia berupa keinginan menikah ini diperkuat
lagi dengan sifat kemanusiaan yang lain. Bahwa pada dasarnya manusia ingin
hidup kekal, hanya saja mustahil ia menghindari kematian. Untuk itu ia
menginginkan keturunan sebagai cara ‘mengabadikan’ dirinya. Dan itu bisa
ditempuh melalui jalur nikah.
Oleh karena menikah merupakan perkara mendasar dan salah
satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia, maka, sebagaimana tulis Abu
Ghuddah, sangat sulit sekali menghindari diri untuk tidak menikah kecuali
karena faktor tertentu. Semisal kecintaan dan kesibukan seseorang dengan ilmu
yang dianggapnya sangat mulia dan berharga, sehingga mengalahkan keingininannya
untuk menikah. Dan itulah yang tampak dari sejarah
hidup beberapa ulama salaf, seperti Imam Nawawi.
Sejatinya, keputusan untuk ‘jomblo’ atau tidak menikah merupakan
sesuatu yang cukup berat. Memilih jomblo sama halnya anda mengebiri fitrah
kemanusiaanmu. Anda harus bersiap menanggung beban kesendirian dalam melayani
kebutuhan makan, minum, dan tempat tinggal. Sebagaimana anda harus siap ketika
tidak ada sosok yang merawatmu kala sakit datang. Pun ketika telah masuk usia
senja dengan fisik yang tidak sekuat waktu muda, sementara tidak ada wanita
maupun anak-anak yang setia mendampingimu dan merawatmu.
Semua itu teramat berat, tidak akan mampu menanggungnya
kecuali mereka yang sabar. Hanya saja bagi sebagian ulama, hal itu tidaklah apa
karena kesibukan ilmu telah menautkan hatinya dan menanggalkan keinginan untuk
menikah. Tapi, apakah benar karena hal itu? Bukankah mereka melalui karya
menuliskan bahwa menikah, selain sunnah, juga memiliki keutamaan yang melimpah?
Bukankah mereka juga menulis bahwa memilih jomblo itu berat dan
mengkhawatirkan? Terlebih tidak ada dalil yang mendukung pilihan jomblo.
Jawabannya, sebagaimana kata Abu Ghuddah, itu semua
adalah pilihan pribadi untuk diri mereka masing-masing. Dengan
mata bashirah-nya, mereka
lebih
tahu mana yang lebih baik bagi mereka antara menikah dan ilmu. Dan pada
akhirnya ilmu, sekali lagi bagi mereka, lebih baik daripada menikah.
Kendati
demikian mereka tidak mengajak orang lain untuk mengikuti jejaknya. Tidak lantas
mereka menyeru bahwa “menyendiri untuk ilmu lebih baik daripada menikah”. Dan
bukan berarti pula kita yang menikah lebih baik daripada mereka.
Terlepas
dari itu, menyibukkan diri dengan ilmu memang nikmat bagi mereka yang
menemukannya. Ketika anda sedang membaca atau menulis dan menemukan
kenikmatannya maka waktu pun melangkah penuh makna. Tidak terasa bahwa membaca
atau menulis lima jam, misalnya, terasa sangat cepat sehingga engkau perlu
menambahnya.
Tempo
hari, Kyai Ahmad Baso bercerita bahwa dalam proses penulisan buku-bukunya
seringkali ia terlenakan nikmatnya ilmu. Tidak jarang waktu sepanjang Isya’
hingga Subuh berlalu begitu saja tanpa terasa dan beliau masih asyik masyuk dalam
penanya. Ia lupa dengan tidurnya, ia lupa dengan aktifitas lainnya.
Maka
kalau kita lihat ulama-ulama yang dianggap lebih memilih jomblo adalah mereka yang
berlimpah ilmu dan karya. Bahkan saking banyaknya kita hampir tidak percaya,
bahwa karyanya terlampau banyak melebihi logika umurnya yang tidak seberapa.
Sangat sulit menemukannya di era sekarang.
Bila
demikian, kiranya wajar jika Adz-Dzahabi
misalnya, dalam Tdzkiratul Huffadz, menulis julukan al-Imam, al-Hafidz, al-Awhad, al-Qudwah, Syaikul Islam,
‘Alamul Awliya’, dan Muhyiddin di depan nama
An-Nawawi. Dengan usianya yang hanya 45 tahun, Imam Nawawi telah mendapat
julukan mujtahid madzhab Syafi’i. Ia juga dijuluki Faqiihul Muhadditsin dan Muhadditsul Fuqoha'. Dan karyanya pun tak terhitung lagi, melebihi
logika umurnya. Karena semua itu telah dibayar mahal oleh Imam Nawawi dengan
tidak menikah dan memilih jomblo.
Maka
‘jomblo’ bagi Imam Nawawi adalah pilihan yang tepat. Setepat itukah pilihan
anda?
Tidak ada komentar :
Posting Komentar