Ada
tradisi menarik di kalangan ulama lampau yang kiranya
sudah jarang kita temui di era sekarang. Tradisi menulis kitab yang berangkat
dari respon atas karya-karya guru
atau ulama sebelumnya. Jika kita membaca karya-karya ulama madzhab Syafi’i, misalnya,
maka sering kita jumpai kitab yang berbentuk matan. Dari
matan tersebut kemudian muncul kitab penjelasnya yang dinamakan syarah. Tidak
berhenti di situ, sebagian kitab-kitab syarah bahkan dikembangkan lagi
oleh ulama setelahnya dengan memberikan komentar yang kemudian dinamakan hasyiyah.
Di sisi lain terdapat juga kitab-kitab, baik matan, syarah, maupun hasyiyah
yang diringkas oleh seorang ulama yang populer disebut mukhtashar. Ada pula yang kemudian di-nadzam-kan menjadi bait-bait indah
agar mudah dihafal. Tidak jarang dari nadzam tersebut
kemudian dijelaskan lagi dalam bentuk narasi menjadi sebuah kitab baru. Maka jangan
heran jika mendapati sebuah kitab yang diringkas menjadi mukhtashar, kemudian
diperjelas menjadi syarah, lalu diberi komentar menjadi hasyiyah, dan
diringkas lagi menjadi mukhtashar.
Sekedar contoh, dalam madzhab Syafi’i terdapat empat
kitab induk yang menjadi pangkal ajaran-ajaran madzhab ini. Al-Umm, al-Imla’,
Mukhtashar al-Buwayti, dan Mukhtashar al-Muzani. Dua kitab pertama
ditulis langsung oleh Imam Syafi’i, sedangkan dua terakhir ditulis oleh
muridnya; al-Buwayti dan al-Muzani. Empat kitab tersebut menjadi pangkal
munculnya kitab-kitab fikih madzhab Syafi’i. Oleh al-Juwayni kitab-kitab
tersebut dikombinasikan dalam karyanya yang berjudul Nihayatul Mathlab fi Dirayatil
Madzhab. Ada pula yang mengatakan bahwa karya al-Juwayni ini merupakan syarah
dari Mukhtashar al-Muzani. Memang yang menjadi acuan untuk dijelaskan
adalah kitabnya al-Muzani, namun dalam syarah tersebut dapat kita
temukan muatan isi yang ada di tiga kitab lainnya. Maka kedua pendapat tersebut
sama benarnya.
Pasca ditulisnya kitab Nihayatul Mathlab para
ulama madzhab Syafi’i mencukupkan untuk merujuk ke kitab tersebut. Oleh al-Ghazali
kitab ini diringkas ke dalam kitab yang berjudul al-Basith. Masih oleh orang
yang sama, al-Basith diringkas menjadi al-Wasith, al-Wasith menjadi
al-Wajiz, dan yang terakhir ini diringkas menjadi al-Khulashah. Berangkat
dari al-Wajiz al-Rafi’i datang meringkasnya dengan nama al-Muharrar. Kemudian
al-Nawawi meringkas al-Muharrar menjadi Minhajut
Thalibin, dan diringkas lagi oleh Syaikhul Islam Zakariya
al-Anshari dengan judul Manhajut Thullab. Yang terakhir ini kemudian diberi
penjelas oleh orang yang sama dengan judul Fathul Wahhab dan kemudian dikomentari
(hasyiyah) oleh dua ulama: Sulaiman bin Muhammad al-Bujairomi dan Sulaiman
bin Umar al-Jamal. Selain itu, Manhajut Thullab juga diringkas oleh al-Jauhari menjadi al-Nahj.
Masih terkait dengan Minhajut Thalibin. Selain
diringkas, kitab ini juga diberi penjelas (syarah) oleh banyak ulama. Diantaranya
al-Mahally dengan Kanzur Raghibin, al-Haitami dengan Tuhfatul Muhtaj,
al-Ramli dengan Nihayatul Muhtaj, dan al-Syarbini dengan Mughnil
Muhtaj. Dari Kanzur Raghibin muncul karya komentar yang ditulis
Qolyubi dan Umairoh yang kemudian dikenal dengan Hasyiyatani. Sementara dari
Tuhfatul Muhtaj muncul dua kitab komentar: Hasyiyah Ibni Qosim
al-Abbadi dan Hasyiyah al-Syarwani. Adapun dari Nihayatul Muhtaj muncul dua kitab kitab komentar yang
ditulis oleh al-Syibromalisi dan al-Maghribi. Sebenarnya masih
ada ada kitab-kitab komentar lainnya, hanya saja kurang populer di kalangan
ulama.
Kembali
lagi ke Imam al-Rafi’i. Selain
meringkas, ia juga
menulis dua kitab syarah atas al-Wajiz-nya al-Ghazali: syarah sederhana
tak
bernama dan syarah tebal
dengan judul al-Aziz. Adapula yang menyebutnya al-Syarh al-Kabir. Untuk
syarah yang terakhir ini diringkas oleh al-Nawawi menjadi Raudlatut
Thalibin, yang kemudian diringkas lagi oleh setidaknya tiga ulama. Pertama,
Ibnu Muqri dengan karyanya yang berjudul Raudlut Thalib. Raudlut Thalib ini
diberi syarah oleh Syekh Zakariya al-Anshari dengan judul Asnal Mathalib
dan diringkas oleh Ibnu Hajar al-Haitami dengan judul al-Na’im, hanya
saja kitab ini tidak dapat kita temukan. Kedua, al-Muzajjad dengan
karyanya yang berjudul al-Ubab, yang diberi penjelas oleh al-Haitami
dengan judul al-I’ab. Hanya saja penulisan syarah ini belum
sempurna. Ketiga, al-Suyuthi dengan judul al-Ghunayyah, yang di-nadzam-kan
oleh orang yang sama menjadi al-Khulashah.
Tidak hanya itu. Selain al-Nawawi, ternyata kitab al-Aziz-nya
al-Rafi’i juga diringkas oleh Al-Qazwini dengan judul al-Hawi al-Shaghir, yang
di-nadzam-kan oleh Ibnul Wardi dengan judul al-Bahjah. Dan belakangan
Imam Zakariya al-Anshari menulis dua kitab syarah atas nadzam ini.
Selain kitab-kitab mukhtashar, syarah, dan hasyiyah,
terdapat juga karya-karya ulama madzhab Syafi’i yang meneliti sisi hadisnya. Mereka
men-takhrij hadis-hadis yang dituturkan dalam kitab tertentu kemudian
meneliti kualitasnya. Diantara ulama yang menekuni bidang ini adalah Ibnu Hajar
al-Asqalani yang menulis kitab al-Talkhish al-Habir sebagai kitab yang
men-takhrij hadis-hadis yang ada di kitab al-Syarh al-Kabir-nya
al-Rafi’i. selain itu, Ibnu al-Mulaqqin juga menb-takhrij hadis-hadis
yang ada di kitab tersebut melalui kitabnya yang berjudul al-Badr al-Munir. Ia
juga menulis kitab Tuhfatul Muhtaj ila Adillatil-Minhaj yang merupakan
kitab takhrij hadis-hadis yang ada di kitab Minhajut Thalibin karya
al-Nawawi.
Dan
terakhir, terdapat kitab Misbahul Munir karya al-Fayumi. Kitab ini
memuat penjelasan tentang istilah-istilah yang digunakan al-Rafi’i dalam
kitab al-Syarh al-Kabir. Karya al-Fayumi ini kemudian menjadi rujukan
ulama-ulama setelahnya dalam memahami kata-kata yang asing di kalangan madzhab
Syafi’i.
Demikianlah.
Apa yang ditulis oleh ulama-ulama lampau sebagaimana di atas turut menambah
khazanah keilmuan di kalangan penganut madzhab Syafi’i. Karya-karya yang berupa
ringkasan, penjelasan, maupun komentar, menjadi mata rantai ketersambungan
antara satu ulama dengan ulama lainnya. Pun itu menjadi semacam penghormatan
dari seorang ulama terhadap guru ataupun ulama yang mendahuluinya. Rasa ta’dzim
yang begitu tinggi diartikulasikan dalam bentuk karya yang merespon karya ulama
sebelumnya yang dihormatinya. Semua didedikasikan untuk para pembaca agar lebih
mudah dalam memahami ajaran-ajaran Islam via madzhab Syafi’i.
Uraian
di atas sekaligus menjawab orang-orang yang mempertanyakan ke-syafiiyyah-an
pesantren-pesantren di Indonesia oleh karena tidak mengkaji kitab al-Umm. Maka
mengkaji kitab-kitab di atas minus al-Umm tidak lantas mengaburkan ajaran
madzhab Syafi’i dari pengkajinya. Karena semua telah dikorelasikan oleh jaringan
sanad keilmuan dalam bentuk karya.
Tradisi
seperti inilah yang kini alpha dari pantauan ulama-ulama kita di nusantara
dewasa ini. Tradisi meringkas, memperjelas, dan meberi komentar karya
ulama-ulama salaf. Kini, sukar sekali kita temukan ulama-ulama semisal Imam
Nawawi Banten yang menulis kitab Nihayatuz Zain Syarah Qurratul Ain, atau
Syekh Mahfudz Termas yang menulis Mauhibatu Dzil Fadhl Syarah Minhajul
Qowim, atau Kyai Sahal Mahfudz yang menulis Anwarul Bashair Syarah
al-Asybah wa al-Nadzair. Alih-alih meneruskan tradisi ini, menulis kitab berbahasa
Arab saja kini sangat jarang kita temukan. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar