Sejak semalam
hingga sore tadi setidaknya saya mendengar dua kali kata sudut pandang diperbincangkan.
Pertama, seorang senior di Darus-Sunnah dalam diskusi tentang Dakwah
Nabi semalam mengatakan, “dalam membaca sejarah, jangan sekali-sekali anda
menggunakan sudut pandang kekinian untuk memahami sejarah.”
Ia kemudian menjelaskan bahwa ketika mendengar kata
politik Nabi, misalnya, maka jangan serta merta memahami arti ‘politik’
tersebut sebagai pemahaman kita saat ini. Bahwa politik itu kotor, politik itu
minus idealisme, politik itu terkait mana yang menguntungkan, dan seterusnya.
Kedua,
seorang senior di Mathali’ul Falah yang telah sukses di ibu kota mengatakan,
“ubahlah sudut pandang anda tentang Jakarta yang sekarang. Jakarta hari ini tak
se-mengkhawatirkan dulu.”
Ia kemudian bercerita bahwa dulu para orang tua takut
menguliahkan anaknya di Ibu kota. Dalam benak mereka Jakarta itu jauh dan
membahayakan. Padahal tidak demikian sekarang. Teknologi dan transportasi
semakin maju menembus batas-batas ruang dan waktu.
Dari dua statement tersebut ada hal yang menarik.
Pemahaman anda tentang suatu hal di masa sekarang jangan digunakan untuk
memahami hal yang sama di masa lalu. Sebagaimana pemahaman masa lalu jangan
digunakan untuk membaca hal yang sama di masa sekarang. Keduanya harus proporsional.
Pengertian sudut pandang yang populer adalah cara penulis
dalam menempatkan dirinya dalam sebuah cerita atau teknik yang dipilih oleh
penulis untuk menyampaikan pesan dalam cerita yang ditulisnya. Semisal dalam
cerpen, penulis dapat menempatkan dirinya dalam posisi sudut pandang orang
pertama atau orang kedua.
Secara lebih luas, sudut pandang sederhananya adalah cara
kita memandang. Dari sudut mana kita menangkap objek. Seorang lelaki melihat
seorang gadis dari depan lalu mengatakan ‘cantik’. Lelaki lain melihat gadis
yang sama dari depan lalu mengatakan ‘jelek’ hatinya. Lelaki ketiga melihat
gadis yang sama dari belakang lalu mengatakan ‘tidak tahu’.
Ada tiga hasil berbeda dari memandang satu objek yang sama.
Perbedaan itu muncul karena berbedanya sudut dalam memandang. Semua tergantung
dari sudut mana seseorang melihat objek.
Jawa Tengah bila dilihat dari Jawa Barat maka letaknya
berada di timur, sebaliknya bila dilihat dari Jawa Timur maka letaknya berada
di barat.
Agar menemukan hasil amatan yang sama maka satukan sudut
pandang terlebih dahulu. Berbicara hukum Islam maka lihatlah dari sudut pandang
fikih. Kendati pun masih dimungkinkan adanya perbedaan hasil amatan,
dikarenakan adanya ragam sudut pandang dalam berfikih. Tapi paling tidak
berangkatnya sama, dari satu sudut yaitu fikih. Sehingga ketika menemukan hasil
yang berbeda tidak saling menyalahkan. Pun perbedaannya tidak terlampau jauh.
Ketika anda melihat pisau berada di tangan penjahat maka
mindset anda mengatakan bahwa dia akan atau telah membunuh seseorang.
Sebaliknya, ketika pisau tersebut berada di tangan seorang koki maka mindset
anda mengatakan bahwa dia akan meracik bumbu. Padahal belum tentu demikian,
bukan?
Seorang penjahat memegang pisau berpotensi besar
digunakan untuk memasak mana kala ia sedang berada di dapur. Sebaliknya, pisau
yang berada di tangan seorang koki berpotensi besar digunakan untuk membunuh
ketika nyawanya sedang terancam di sekeliling penjahat. Maka sudut pandang anda
tentang suatu hal jangan dilepas begitu saja. Harus dikombinasikan dengan
kondisi ruang dan waktu yang melingkupinya.
Itulah mengapa dalam memahami substansi al-Quran dan
hadis kita diharuskan mengetahui latar sosio-historis yang melingkupinya. Agar
pemahaman kita akan sebuah teks tidak liar, tidak tercerabut dari ko-teks, dan
konteks. Minus ko-teks berpotensi liberal, tanpa konteks berpotensi radikal.
Keterbatasan sudut pandang menjadikan kita sempit
memandang sesuatu. Bak katak dalam tempurung. Yang hanya mengira dunia ini
sesempit tempurung. Padahal di luaran sana alam terbentang luas. Dan banyak
sudut tempat berpijak untuk memandang.
Maka bukalah tempurung itu. Dan timbalah ragam sudut
pandang dari sumur kehidupan. Lalu letakkan sudut pandang tersebut pada
tempatnya.