Selamat Datang di Dunia olient_online

Selamat Datang di Dunia Mini olient_online

Minggu, 25 September 2016

Sudut Pandang



            Sejak semalam hingga sore tadi setidaknya saya mendengar dua kali kata sudut pandang diperbincangkan. Pertama, seorang senior di Darus-Sunnah dalam diskusi tentang Dakwah Nabi semalam mengatakan, “dalam membaca sejarah, jangan sekali-sekali anda menggunakan sudut pandang kekinian untuk memahami sejarah.”
Ia kemudian menjelaskan bahwa ketika mendengar kata politik Nabi, misalnya, maka jangan serta merta memahami arti ‘politik’ tersebut sebagai pemahaman kita saat ini. Bahwa politik itu kotor, politik itu minus idealisme, politik itu terkait mana yang menguntungkan, dan seterusnya.
Kedua, seorang senior di Mathali’ul Falah yang telah sukses di ibu kota mengatakan, “ubahlah sudut pandang anda tentang Jakarta yang sekarang. Jakarta hari ini tak se-mengkhawatirkan dulu.”
Ia kemudian bercerita bahwa dulu para orang tua takut menguliahkan anaknya di Ibu kota. Dalam benak mereka Jakarta itu jauh dan membahayakan. Padahal tidak demikian sekarang. Teknologi dan transportasi semakin maju menembus batas-batas ruang dan waktu.
Dari dua statement tersebut ada hal yang menarik. Pemahaman anda tentang suatu hal di masa sekarang jangan digunakan untuk memahami hal yang sama di masa lalu. Sebagaimana pemahaman masa lalu jangan digunakan untuk membaca hal yang sama di masa sekarang. Keduanya harus proporsional.
Pengertian sudut pandang yang populer adalah cara penulis dalam menempatkan dirinya dalam sebuah cerita atau teknik yang dipilih oleh penulis untuk menyampaikan pesan dalam cerita yang ditulisnya. Semisal dalam cerpen, penulis dapat menempatkan dirinya dalam posisi sudut pandang orang pertama atau orang kedua.
Secara lebih luas, sudut pandang sederhananya adalah cara kita memandang. Dari sudut mana kita menangkap objek. Seorang lelaki melihat seorang gadis dari depan lalu mengatakan ‘cantik’. Lelaki lain melihat gadis yang sama dari depan lalu mengatakan ‘jelek’ hatinya. Lelaki ketiga melihat gadis yang sama dari belakang lalu mengatakan ‘tidak tahu’.
Ada tiga hasil berbeda dari memandang satu objek yang sama. Perbedaan itu muncul karena berbedanya sudut dalam memandang. Semua tergantung dari sudut mana seseorang melihat objek.
Jawa Tengah bila dilihat dari Jawa Barat maka letaknya berada di timur, sebaliknya bila dilihat dari Jawa Timur maka letaknya berada di barat.
Agar menemukan hasil amatan yang sama maka satukan sudut pandang terlebih dahulu. Berbicara hukum Islam maka lihatlah dari sudut pandang fikih. Kendati pun masih dimungkinkan adanya perbedaan hasil amatan, dikarenakan adanya ragam sudut pandang dalam berfikih. Tapi paling tidak berangkatnya sama, dari satu sudut yaitu fikih. Sehingga ketika menemukan hasil yang berbeda tidak saling menyalahkan. Pun perbedaannya tidak terlampau jauh.
Ketika anda melihat pisau berada di tangan penjahat maka mindset anda mengatakan bahwa dia akan atau telah membunuh seseorang. Sebaliknya, ketika pisau tersebut berada di tangan seorang koki maka mindset anda mengatakan bahwa dia akan meracik bumbu. Padahal belum tentu demikian, bukan?
Seorang penjahat memegang pisau berpotensi besar digunakan untuk memasak mana kala ia sedang berada di dapur. Sebaliknya, pisau yang berada di tangan seorang koki berpotensi besar digunakan untuk membunuh ketika nyawanya sedang terancam di sekeliling penjahat. Maka sudut pandang anda tentang suatu hal jangan dilepas begitu saja. Harus dikombinasikan dengan kondisi ruang dan waktu yang melingkupinya.
Itulah mengapa dalam memahami substansi al-Quran dan hadis kita diharuskan mengetahui latar sosio-historis yang melingkupinya. Agar pemahaman kita akan sebuah teks tidak liar, tidak tercerabut dari ko-teks, dan konteks. Minus ko-teks berpotensi liberal, tanpa konteks berpotensi radikal.
Keterbatasan sudut pandang menjadikan kita sempit memandang sesuatu. Bak katak dalam tempurung. Yang hanya mengira dunia ini sesempit tempurung. Padahal di luaran sana alam terbentang luas. Dan banyak sudut tempat berpijak untuk memandang.
Maka bukalah tempurung itu. Dan timbalah ragam sudut pandang dari sumur kehidupan. Lalu letakkan sudut pandang tersebut pada tempatnya.

Sabtu, 24 September 2016

Memilih Jomblo


Di sela-sela sima’an dan pemberian sanad kitab hadis al-Arba’in an-Nawawiyah di Darus-Sunnah, 19 Sepetember 2016 lalu, Syekh Hisyam Kamil dari Mesir berkelakar di hadapan mahasantri, bahwa “Imam Nawawi itu saking sibuknya dengan ilmu sampai lupa menikah hingga akhir hayatnya. Sebaliknya, kalau kita lebih sering mengingat-ingat nikah.”
Berbicara tentang ulama yang “menyendiri”, atau biasa disebut “jomblo”, Imam Nawawi adalah sosok yang sering dijadikan tamtsil. Hal itu wajar mengingat kedudukannya yang tinggi di kalangan para ulama.
Abdul Fattah Abu Ghuddah, dalam kitabnya al-Ulama al-Uzzab al-Ladzina Aatsaruu-l-Ilma ‘ala-z-Zawaaj, mencantumkan nama Imam Nawawi di urutan ke-16 dari 20 ulama yang mendahulukan ilmu daripada menikah. Kitab inilah yang mengilhami KH. Husein Muhammad Cirebon untuk menuliskan buku Memilih Jomblo, yang kemudian saya pilih sebagai judul tulisan ini.
Menikah dalam Islam merupakan ibadah yang disunnahkan. Bahkan Nabi Saw dalam salah satu hadisnya menegaskan bahwa menikah merupakan bagian dari sunnahnya. Barangsiapa yang tidak menyukai sunnah Nabi Saw. maka tidak dianggap sebagai golongannya.
Di sisi lain menikah telah menjadi fitrah manusia, yang mana ia didorong oleh fitrah tersebut untuk menunaikannya. Al-Quran mempertegasnya dalam salah satu ayat bahwa manusia dianugerahi oleh Allah dengan kecintaannya kepada syahwat yang diantaranya adalah kepada lawan jenis. Sehingga Nabi Saw menganjurkan untuk berpuasa bila belum ‘mampu’ menyalurkan syahwat tersebut.
Fitrah manusia berupa keinginan menikah ini diperkuat lagi dengan sifat kemanusiaan yang lain. Bahwa pada dasarnya manusia ingin hidup kekal, hanya saja mustahil ia menghindari kematian. Untuk itu ia menginginkan keturunan sebagai cara ‘mengabadikan’ dirinya. Dan itu bisa ditempuh melalui jalur nikah.
Oleh karena menikah merupakan perkara mendasar dan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia, maka, sebagaimana tulis Abu Ghuddah, sangat sulit sekali menghindari diri untuk tidak menikah kecuali karena faktor tertentu. Semisal kecintaan dan kesibukan seseorang dengan ilmu yang dianggapnya sangat mulia dan berharga, sehingga mengalahkan keingininannya untuk menikah. Dan itulah yang tampak dari sejarah hidup beberapa ulama salaf, seperti Imam Nawawi.
Sejatinya, keputusan untuk ‘jomblo’ atau tidak menikah merupakan sesuatu yang cukup berat. Memilih jomblo sama halnya anda mengebiri fitrah kemanusiaanmu. Anda harus bersiap menanggung beban kesendirian dalam melayani kebutuhan makan, minum, dan tempat tinggal. Sebagaimana anda harus siap ketika tidak ada sosok yang merawatmu kala sakit datang. Pun ketika telah masuk usia senja dengan fisik yang tidak sekuat waktu muda, sementara tidak ada wanita maupun anak-anak yang setia mendampingimu dan merawatmu.
Semua itu teramat berat, tidak akan mampu menanggungnya kecuali mereka yang sabar. Hanya saja bagi sebagian ulama, hal itu tidaklah apa karena kesibukan ilmu telah menautkan hatinya dan menanggalkan keinginan untuk menikah. Tapi, apakah benar karena hal itu? Bukankah mereka melalui karya menuliskan bahwa menikah, selain sunnah, juga memiliki keutamaan yang melimpah? Bukankah mereka juga menulis bahwa memilih jomblo itu berat dan mengkhawatirkan? Terlebih tidak ada dalil yang mendukung pilihan jomblo.
Jawabannya, sebagaimana kata Abu Ghuddah, itu semua adalah pilihan pribadi untuk diri mereka masing-masing. Dengan mata bashirah-nya, mereka lebih tahu mana yang lebih baik bagi mereka antara menikah dan ilmu. Dan pada akhirnya ilmu, sekali lagi bagi mereka, lebih baik daripada menikah.
Kendati demikian mereka tidak mengajak orang lain untuk mengikuti jejaknya. Tidak lantas mereka menyeru bahwa “menyendiri untuk ilmu lebih baik daripada menikah”. Dan bukan berarti pula kita yang menikah lebih baik daripada mereka.
Terlepas dari itu, menyibukkan diri dengan ilmu memang nikmat bagi mereka yang menemukannya. Ketika anda sedang membaca atau menulis dan menemukan kenikmatannya maka waktu pun melangkah penuh makna. Tidak terasa bahwa membaca atau menulis lima jam, misalnya, terasa sangat cepat sehingga engkau perlu menambahnya.
Tempo hari, Kyai Ahmad Baso bercerita bahwa dalam proses penulisan buku-bukunya seringkali ia terlenakan nikmatnya ilmu. Tidak jarang waktu sepanjang Isya’ hingga Subuh berlalu begitu saja tanpa terasa dan beliau masih asyik masyuk dalam penanya. Ia lupa dengan tidurnya, ia lupa dengan aktifitas lainnya.
Maka kalau kita lihat ulama-ulama yang dianggap lebih memilih jomblo adalah mereka yang berlimpah ilmu dan karya. Bahkan saking banyaknya kita hampir tidak percaya, bahwa karyanya terlampau banyak melebihi logika umurnya yang tidak seberapa. Sangat sulit menemukannya di era sekarang.
Bila demikian, kiranya wajar jika Adz-Dzahabi misalnya, dalam Tdzkiratul Huffadz, menulis julukan al-Imam, al-Hafidz, al-Awhad, al-Qudwah, Syaikul Islam, ‘Alamul Awliya’, dan Muhyiddin di depan nama An-Nawawi. Dengan usianya yang hanya 45 tahun, Imam Nawawi telah mendapat julukan mujtahid madzhab Syafi’i. Ia juga dijuluki Faqiihul Muhadditsin dan Muhadditsul Fuqoha'. Dan karyanya pun tak terhitung lagi, melebihi logika umurnya. Karena semua itu telah dibayar mahal oleh Imam Nawawi dengan tidak menikah dan memilih jomblo.

Maka ‘jomblo’ bagi Imam Nawawi adalah pilihan yang tepat. Setepat itukah pilihan anda?

Jumat, 23 September 2016

Mata Rantai Penulisan Kitab-Kitab Fikih Syafi’i


 Ada tradisi menarik di kalangan ulama lampau yang kiranya sudah jarang kita temui di era sekarang. Tradisi menulis kitab yang berangkat dari respon atas karya-karya guru atau ulama sebelumnya. Jika kita membaca karya-karya ulama madzhab Syafi’i, misalnya, maka sering kita jumpai kitab yang berbentuk matan. Dari matan tersebut kemudian muncul kitab penjelasnya yang dinamakan syarah. Tidak berhenti di situ, sebagian kitab-kitab syarah bahkan dikembangkan lagi oleh ulama setelahnya dengan memberikan komentar yang kemudian dinamakan hasyiyah. Di sisi lain terdapat juga kitab-kitab, baik matan, syarah, maupun hasyiyah yang diringkas oleh seorang ulama yang populer disebut mukhtashar. Ada pula yang kemudian di-nadzam-kan menjadi bait-bait indah agar mudah dihafal. Tidak jarang dari nadzam tersebut kemudian dijelaskan lagi dalam bentuk narasi menjadi sebuah kitab baru. Maka jangan heran jika mendapati sebuah kitab yang diringkas menjadi mukhtashar, kemudian diperjelas menjadi syarah, lalu diberi komentar menjadi hasyiyah, dan diringkas lagi menjadi mukhtashar.
Sekedar contoh, dalam madzhab Syafi’i terdapat empat kitab induk yang menjadi pangkal ajaran-ajaran madzhab ini. Al-Umm, al-Imla’, Mukhtashar al-Buwayti, dan Mukhtashar al-Muzani. Dua kitab pertama ditulis langsung oleh Imam Syafi’i, sedangkan dua terakhir ditulis oleh muridnya; al-Buwayti dan al-Muzani. Empat kitab tersebut menjadi pangkal munculnya kitab-kitab fikih madzhab Syafi’i. Oleh al-Juwayni kitab-kitab tersebut dikombinasikan dalam karyanya yang berjudul Nihayatul Mathlab fi Dirayatil Madzhab. Ada pula yang mengatakan bahwa karya al-Juwayni ini merupakan syarah dari Mukhtashar al-Muzani. Memang yang menjadi acuan untuk dijelaskan adalah kitabnya al-Muzani, namun dalam syarah tersebut dapat kita temukan muatan isi yang ada di tiga kitab lainnya. Maka kedua pendapat tersebut sama benarnya.
Pasca ditulisnya kitab Nihayatul Mathlab para ulama madzhab Syafi’i mencukupkan untuk merujuk ke kitab tersebut. Oleh al-Ghazali kitab ini diringkas ke dalam kitab yang berjudul al-Basith. Masih oleh orang yang sama, al-Basith diringkas menjadi al-Wasith, al-Wasith menjadi al-Wajiz, dan yang terakhir ini diringkas menjadi al-Khulashah. Berangkat dari al-Wajiz al-Rafi’i datang meringkasnya dengan nama al-Muharrar. Kemudian al-Nawawi meringkas al-Muharrar menjadi Minhajut Thalibin, dan diringkas lagi oleh Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari dengan judul Manhajut Thullab. Yang terakhir ini kemudian diberi penjelas oleh orang yang sama dengan judul Fathul Wahhab dan kemudian dikomentari (hasyiyah) oleh dua ulama: Sulaiman bin Muhammad al-Bujairomi dan Sulaiman bin Umar al-Jamal. Selain itu, Manhajut Thullab juga diringkas oleh al-Jauhari menjadi al-Nahj.
Masih terkait dengan Minhajut Thalibin. Selain diringkas, kitab ini juga diberi penjelas (syarah) oleh banyak ulama. Diantaranya al-Mahally dengan Kanzur Raghibin, al-Haitami dengan Tuhfatul Muhtaj, al-Ramli dengan Nihayatul Muhtaj, dan al-Syarbini dengan Mughnil Muhtaj. Dari Kanzur Raghibin muncul karya komentar yang ditulis Qolyubi dan Umairoh yang kemudian dikenal dengan Hasyiyatani. Sementara dari Tuhfatul Muhtaj muncul dua kitab komentar: Hasyiyah Ibni Qosim al-Abbadi dan Hasyiyah al-Syarwani. Adapun dari Nihayatul Muhtaj muncul dua kitab kitab komentar yang ditulis oleh al-Syibromalisi dan al-Maghribi. Sebenarnya masih ada ada kitab-kitab komentar lainnya, hanya saja kurang populer di kalangan ulama.
Kembali lagi ke Imam al-Rafi’i. Selain meringkas, ia juga menulis dua kitab syarah atas al-Wajiz-nya al-Ghazali: syarah sederhana tak bernama dan syarah tebal dengan judul al-Aziz. Adapula yang menyebutnya al-Syarh al-Kabir. Untuk syarah yang terakhir ini diringkas oleh al-Nawawi menjadi Raudlatut Thalibin, yang kemudian diringkas lagi oleh setidaknya tiga ulama. Pertama, Ibnu Muqri dengan karyanya yang berjudul Raudlut Thalib. Raudlut Thalib ini diberi syarah oleh Syekh Zakariya al-Anshari dengan judul Asnal Mathalib dan diringkas oleh Ibnu Hajar al-Haitami dengan judul al-Na’im, hanya saja kitab ini tidak dapat kita temukan. Kedua, al-Muzajjad dengan karyanya yang berjudul al-Ubab, yang diberi penjelas oleh al-Haitami dengan judul al-I’ab. Hanya saja penulisan syarah ini belum sempurna. Ketiga, al-Suyuthi dengan judul al-Ghunayyah, yang di-nadzam-kan oleh orang yang sama menjadi al-Khulashah.
Tidak hanya itu. Selain al-Nawawi, ternyata kitab al-Aziz-nya al-Rafi’i juga diringkas oleh Al-Qazwini dengan judul al-Hawi al-Shaghir, yang di-nadzam-kan oleh Ibnul Wardi dengan judul al-Bahjah. Dan belakangan Imam Zakariya al-Anshari menulis dua kitab syarah atas nadzam ini.
Selain kitab-kitab mukhtashar, syarah, dan hasyiyah, terdapat juga karya-karya ulama madzhab Syafi’i yang meneliti sisi hadisnya. Mereka men-takhrij hadis-hadis yang dituturkan dalam kitab tertentu kemudian meneliti kualitasnya. Diantara ulama yang menekuni bidang ini adalah Ibnu Hajar al-Asqalani yang menulis kitab al-Talkhish al-Habir sebagai kitab yang men-takhrij hadis-hadis yang ada di kitab al-Syarh al-Kabir-nya al-Rafi’i. selain itu, Ibnu al-Mulaqqin juga menb-takhrij hadis-hadis yang ada di kitab tersebut melalui kitabnya yang berjudul al-Badr al-Munir. Ia juga menulis kitab Tuhfatul Muhtaj ila Adillatil-Minhaj yang merupakan kitab takhrij hadis-hadis yang ada di kitab Minhajut Thalibin karya al-Nawawi.
Dan terakhir, terdapat kitab Misbahul Munir karya al-Fayumi. Kitab ini memuat penjelasan tentang istilah-istilah yang digunakan al-Rafi’i dalam kitab al-Syarh al-Kabir. Karya al-Fayumi ini kemudian menjadi rujukan ulama-ulama setelahnya dalam memahami kata-kata yang asing di kalangan madzhab Syafi’i.
Demikianlah. Apa yang ditulis oleh ulama-ulama lampau sebagaimana di atas turut menambah khazanah keilmuan di kalangan penganut madzhab Syafi’i. Karya-karya yang berupa ringkasan, penjelasan, maupun komentar, menjadi mata rantai ketersambungan antara satu ulama dengan ulama lainnya. Pun itu menjadi semacam penghormatan dari seorang ulama terhadap guru ataupun ulama yang mendahuluinya. Rasa ta’dzim yang begitu tinggi diartikulasikan dalam bentuk karya yang merespon karya ulama sebelumnya yang dihormatinya. Semua didedikasikan untuk para pembaca agar lebih mudah dalam memahami ajaran-ajaran Islam via madzhab Syafi’i.
Uraian di atas sekaligus menjawab orang-orang yang mempertanyakan ke-syafiiyyah-an pesantren-pesantren di Indonesia oleh karena tidak mengkaji kitab al-Umm. Maka mengkaji kitab-kitab di atas minus al-Umm tidak lantas mengaburkan ajaran madzhab Syafi’i dari pengkajinya. Karena semua telah dikorelasikan oleh jaringan sanad keilmuan dalam bentuk karya.
Tradisi seperti inilah yang kini alpha dari pantauan ulama-ulama kita di nusantara dewasa ini. Tradisi meringkas, memperjelas, dan meberi komentar karya ulama-ulama salaf. Kini, sukar sekali kita temukan ulama-ulama semisal Imam Nawawi Banten yang menulis kitab Nihayatuz Zain Syarah Qurratul Ain, atau Syekh Mahfudz Termas yang menulis Mauhibatu Dzil Fadhl Syarah Minhajul Qowim, atau Kyai Sahal Mahfudz yang menulis Anwarul Bashair Syarah al-Asybah wa al-Nadzair. Alih-alih meneruskan tradisi ini, menulis kitab berbahasa Arab saja kini sangat jarang kita temukan. Wallahu a’lam.