Selamat Datang di Dunia olient_online

Selamat Datang di Dunia Mini olient_online

Minggu, 02 Oktober 2016

Belajar dari Kyai Sahal; Memperlakukan Kitab Kuning


Tulisan ringan ini saya persembahkan untuk Kyai Sahal Mahfudh dalam rangka memperingati 1000 hari wafatnya beliau. Karenanya, mari kita hadiahkan bacaan al-Fatihah terlebih dahulu sebelum memulainya.
Setahun belakangan ini saya gemar sekali mengunduh pdf kitab-kitab karya ulama masa lampau. Saya belum tahu kapan akan membaca pdf-pdf tersebut. Yang pasti, sayang kalau kesempatan memiliki kitab-kitab versi pdf ini terlewatkan, mengingat ketidakmampuan membeli versi cetaknya. Terlebih banyak dari kitab-kitab tersebut yang jarang ditemukan di pesantren-pesantren. Sebagiannya telah sejak lama saya dengar namanya meskipun belum pernah melihat fisiknya. Sebagian lagi belum pernah saya dengar sekalipun.
Kitab-kitab karya ulama masa lampau atau yang populer di pesantren dengan sebutan ‘kitab kuning’ sangatlah banyak jumlahnya. Keilmuan yang multisidiplin di atas rata-rata yang dimiliki para ulama masa lampau turut mendukung pesatnya produktifitas menulis karya. Tidak jarang dari tangan satu ulama lahir ratusan kitab. Sangat sulit sekali menemukan padanannya di era sekarang. Hampir-hampir mustahil di zaman ini menemukan seorang Imam Suyuthi yang konon memiliki 600-an karya.
Sebagian orang mungkin tidak berminat membaca kitab-kitab jadul itu. Zaman telah berubah jauh dan apa yang tertuang dalam kitab kuning tidak lagi relevan. Namun bagi sebagian yang lain kitab-kitab itu sangatlah menarik. Banyak dari buah pemikiran orisinil ulama lampau yang masih layak pakai. Terlepas dari itu, ijtihad mereka yang terserak dalam ribuan karya merupakan warisan keilmuan Islam yang sayang kalau tidak dibaca.

Membaca Kitab Kuning
            Bagaimanapun, kitab-kitab kuning menjadi ‘sanad’ dan ‘wasilah’ kita, khususnya dalam beragama. Tanpanya kita tidak akan punya akses mengetahui dasar dan praktik ibadah dari sumber induk. Dan tanpanya kita tidak akan mampu membuktikan kebenaran praktik agama yang kita jalani.
            Pertanyaannya, bagaimana kita bisa memercayai kebenaran isi kitab-kitab itu? Bukankah bisa-bisa saja pengarangnya menulis informasi palsu? Atau jangan-jangan kitab yang kita baca adalah tulisan orang lain yang dinisbatkan kepada ulama terkenal?
            Terkait hal ini Syeikh Ali Jum’ah mengingatkan agar kita mempercayai kebenaran turats-turats itu terlebih dahulu sebelum mendalami isinya. Upaya yang dapat ditempuh ialah dengan berguru dan mengambil sanad yang menyambungkan kita dengan penulisnya. Jika sudah demikian maka langkah selanjutnya ialah memahami isi kitab tersebut dan bagaimana memperlakukannya.
            Pada kenyataannya, antara kita dan penulis kitab-kitab kuning, semisal Imam Syafi’i, terbentang sekat masa yang sangat jauh. Dan diakui atau tidak hal itu sering kali menjadi problem kegagalan kita dalam memahami apa yang mereka tulis. Untuk mengatasinya Syekh Ali Jum’ah menyarankan lima hal; 1) mengimajinasikan karya-karya mereka secara utuh, 2) mengetahui teori-teori umum yang digunakan oleh pengarang, 3) memahami istilah-istilah yang ada di dalam karya mereka, 4) memiliki ilmu-ilmu bantu yang diperlukan dalam memahami karya mereka, dan 5) menguasai sistematika bahasa dan alur berfikir dari pengarangnya. Dengan begitu kita dapat menemukan pemahaman yang utuh dari sebuah kitab.
           
Kyai Sahal dan Kitab Kuning
            Kyai Sahal Mahfudh –Allahu yarham- merupakan figur yang telah lama berbaur dengan teks-teks kitab kuning. Fikih Sosial yang digagasnya merupakan buah dari pergulatannya dengan literatur fikih dan ushul fikih. Ia tahu betul bagaimana memosisikan kitab-kitab tersebut.
            Menurutnya, produk-produk fikih yang tertuang dalam kitab-kitab kuning harus dikontekstualisasi. Pesantren seharusnya memahami bahwa kitab kuning, di balik segala nilai historisnya, telah terkikis oleh perkembangan zaman. Namun bukan berarti konsistensi terhadap kitab kuning merupakan kesalahan ilmiah yang mendasar. Meninggalkan kuning akan mengakibatkan terputusnya mata rantai sejarah dan budaya ilmiah yang telah dibangun berabad-abad.
            Kitab kuning, meskipun mungkin tidak mampu mengakomodasi kompleksitas permasalahan saat ini, ia tetap merupakan warisan sejarah dari bangunan besar tradisi keilmuan Islam yang harus dipetik manfaatnya. Menutup kitab kuning berarti menutup jalur yang menghubungkan tradisi keilmuan sekarang dengan tradisi keilmuan milik kita pada masa lalu.
            Dengan demikian, persoalan mendasar berkenaan dengan kitab kuning itu terletak pada penyikapan kita dalam memosisikannya. Kitab kuning sering difungsikan sebagai kompendium yurisprudensi yang sangat legalistik. Dalam konteks ini, kitab kuning sering dianggap sebagai hukum positif yang dapat ‘menghakimi’ segala permasalahan secara rinci dengan latar belakang pertimbangan, argumen, dan keputusan yang sepenuhnya telah dibakukan. Dengan kata lain, kitab kuning telah ‘disejajarkan’ dengan al-Quran dan hadis.
            Memang, menjadikan kitab kuning sebagai referensi untuk memecahkan permasalahan aktual bukan merupakan kesalahan ilmiah. Namun demikian, ia harus disikapi sebagai suatu garis mendatar hingga dapat memberikan konsep-konsep pendekatan yang memperhatikan akar dan implikasi masalah yang timbul dalam masyarakat. Karena, setiap masalah tidak pernah muncul secara mandiri, melainkan selalu memiliki konteksnya sendiri, yang biasanya justru lebih kompleks ketimbang masalah itu sendiri.

            Yang dibutuhkan adalah kemauan untuk membuka diri terhadap berbagai disiplin ilmu di luar apa yang selama ini dianggap sebagai ilmu agama. Pengintegrasian kitab kuning dengan ilmu-ilmu lainnya, jika dilakukan dengan serius dan tepat, justru akan menciptakan suatu sinergi ilmiah yang akan berguna untuk memecahkan permasalahan sosial kontemporer. Dengan catatan, tetap tidak keluar dari akar sejarah tradisi Islam masa lalu. Wallahu a’lam.

Sabtu, 01 Oktober 2016

Kunci Membaca Minhajut Thalibin


            Minhajut Thalibin menjadi salah satu kitab yang wajib dibaca oleh para pengkaji madzhab Syafi’i. Kitab ini ditulis oleh Imam Nawawi, seorang Mujtahid bil Madzhab asy-Syafii yang fatwanya menjadi acuan pengikut madzhab ini.
Minhajut Thalibin merupakan ringkasan (mukhtashar) dari al-Muharrar karya Imam ar-Rafi’i. Imam ar-Rafi’i sendiri merupakan tokoh penting di kalangan pengikut madzhab Syafi’i. Bersama Imam an-Nawawi ia dinobatkan sebagai syaikh. Sehingga jika ada penyebutan kata asy-Syaikhani dalam literatur fikih Syafi’i maka yang dimaksud adalah Imam an-Nawawi dan ar-Rafi’i.
Menyandang kitab penting di kalangan Madzhab Syafi’i menjadikan Minhajut Thalibin banyak dilirik oleh ulama setelahnya. Banyak dari mereka yang menuliskan syarah, mukhtashar, ataupun nadzam dari kitab ini. Ahmad Maiqary Syumailah al-Ahdal dalam kitabnya yang berjudul Sulam al-Muta’allim al-Muhtaj ila Ma’rifah Rumuz al-Minhaj, mengatakan bahwa sekurang-kurangnya terdapat 20 kitab yang memberi syarah atas Minhajut Thalibin. Dari 20 tersebut terdapat beberapa kitab yang popular dan menjadi bahan bacaan di kalangan pesantren. Diantaranya Kanzur Raghibin karya Mahally, Tuhfatul Muhtaj karya al-Haitami, Nihayatul Muhtaj karya ar-Ramli, dan dengan Mughnil Muhtaj karya asy-Syarbini.
Selain syarah, kitab Minhajut Thalibin juga diringkas oleh ulama-ulama  setelahnya seperti Abu Hayyan al-Andalusy dengan judul Al-Wahhaj dan Zakariyya al-Anshori dengan judul Manhajut Thullab. Untuk yang terakhir ini kemudian di-syarah-in lagi oleh orang yang sama dengan judul Fathul Wahhab.
Sebagaimana diungkapkan oleh penulisnya, Minhajut Thalibin memiliki beberapa kelebihan. Imam Nawawi tidak hanya meringkas, tetapi juga menampilkan permasalahan-permasalahan penting yang tidak dicantumkan di kitab asal (al-Muharrar). Di beberapa tema ia juga menjelaskan pendapat-pendapat pilihan (mukhtar) dalam madzhab Syafi’i, yang dalam kitab asalnya hanya menampilkan pendapat sebaliknya.
Dari segi bahasa, Imam Nawawi memandang adanya beberapa redaksi di kitab al-Muharrar yang asing (gharib) dan multi interpretasi. Karenanya, ia mengganti redaksi-redaksi tersebut dengan bahasa yang jelas dan ringkas, sehingga dapat dicerna dengan mudah oleh pembaca.
Sebagai kitab yang ditulis pada abad ke-7 hijriyah Minhajut Thalibin tergolong kuat dari sisi metodologi. Dalam pengantarnya, Imam Nawawi telah menuliskan metode yang dipakai dalam kitab tersebut secara gamblang. Hanya saja, pembaca harus mengernyitkan dahi ketika berjumpa dengan banyaknya istilah-istilah fikih Syafi’i di sana. Maka disarankan untuk memahami istilah-istilah tersebut terlebih dahulu.
Imam Nawawi, dalam kitab ini, mengutip pendapat-pendapat dengan sangat detail. Ia teliti dalam membedakan pendapat Syafi’i dan pengikut Madzhab Syafi’i. Pendapat-pendapat tersebut dituturkannya secara manthiqi dengan kata-kata kunci yang cukup banyak. Berikut kami jelaskan.
Al-adzhar dan al-masyhur. Sebagaimana kita ketahui, dalam permasalahan tertentu terkadang terdapat dua atau lebih pendapat Imam Syafi’i yang berbeda. Ada kalanya dua pendapat tersebut dari qoul qodim, atau qoul jadid, atau qoul qodim dan qoul jadid. Dalam hal ini, ketika Imam Nawawi mengatakan al-adzhar maka yang dimaksud adalah pendapat yang paling kuat dari pendapat-pendapat lain yang sama-sama kuat. Sedangkan bila ia mengatakan al-masyhur maka yang dimaksud adalah pendapat yang kuat dari pendapat-pendapat lain yang tidak kuat.
Al-ashahh dan al-shahih. Dalam madzhab Syafi’i juga terdapat dua atau lebih pendapat pengikut Syafi’i yang berbeda dalam permasalahan tertentu, yang diistilahkan dengan al-wujuh. Pendapat tersebut merupakan hasil ijtihad mereka dengan menggunakan metode yang dipaki Imam Syafi’i. Dalam hal ini, ketika Imam Nawawi mengatakan al-asahh maka yang dimaksud adalah pendapat paling kuat dari pendapat-pendapat lain yang sama-sama kuat. Sedangkan ketika dikatakan al-shahih maka yang dimaksud adalah pendapat yang kuat dari pendapat-pendapat lain yang lemah.
Al-madzhab. Kita tahu bahwa pendapat-pendapat Imam Syafi’i menyebar melalui periwayatan murid-muridnya. Terkadang satu sama lain terdapat dua atau lebih perbedaan periwayatan dalam masalah yang sama, yang dikenal dengan thuruq. Dalam hal ini, ketika Imam Nawawi mengatakan al-madzhab maka yang dimaksud adalah periwayatan yang paling kuat dari periwayatan-periwayatan yang lain.
Selain itu, Imam Nawawi juga sering menggunakan istilah an-nash. Ketika demikian maka yang dimaksud adalah pendapat Imam Syafi’i sendiri, yang mengindikasikan adanya pendapat pengikut madzhab yang berseberangan. Atau adanya pendapat pengikut Imam Syafi’i yang di-takhrij terhadap pendapat Imam Syafi’i. Takhrij adalah menganalogikan hukum baru terhadap hukum yang telah ditetapkan oleh Imam Syafi’i karena adanya keserupaan.
Untuk menginformasikan dua pendapat yang berbeda Imam Nawawi tidak menyebutkan keduanya. Ia cukup menyebutkan satu pendapat sebagai kebalikan dari pendapat yang tak tersebut. Semisal, ketika ia menyebutkan sebuah hukum lalu dikatakan bahwa hal itu adalah qoul jadid, maka hukum kebalikannya yang tak tersebut adalah qoul qodim.
Dalam banyak permasalahan Imam Nawawi juga memperlihatkan kapasitas keilmuannya. Ia menuliskan pendapat pribadinya dengan cara yang santun. Ia mulai dengan kata qultu dan diakhiri dengan kata wallahu a’lam. Dalam hal ini ia sesekali berbeda pendapat dengan apa yang ada di kitab al-Muharrar. Tentu hal itu dilakukan setelah penelitian matang.

Demikianlah apa yang ditulis oleh Imam Nawawi dalam kata pengantarnya. Pijakan-pijakan metodologis tersebut telah ia sematkan sebelum memulai menulis kitabnya. Wallahu a’lam.

Minggu, 25 September 2016

Sudut Pandang



            Sejak semalam hingga sore tadi setidaknya saya mendengar dua kali kata sudut pandang diperbincangkan. Pertama, seorang senior di Darus-Sunnah dalam diskusi tentang Dakwah Nabi semalam mengatakan, “dalam membaca sejarah, jangan sekali-sekali anda menggunakan sudut pandang kekinian untuk memahami sejarah.”
Ia kemudian menjelaskan bahwa ketika mendengar kata politik Nabi, misalnya, maka jangan serta merta memahami arti ‘politik’ tersebut sebagai pemahaman kita saat ini. Bahwa politik itu kotor, politik itu minus idealisme, politik itu terkait mana yang menguntungkan, dan seterusnya.
Kedua, seorang senior di Mathali’ul Falah yang telah sukses di ibu kota mengatakan, “ubahlah sudut pandang anda tentang Jakarta yang sekarang. Jakarta hari ini tak se-mengkhawatirkan dulu.”
Ia kemudian bercerita bahwa dulu para orang tua takut menguliahkan anaknya di Ibu kota. Dalam benak mereka Jakarta itu jauh dan membahayakan. Padahal tidak demikian sekarang. Teknologi dan transportasi semakin maju menembus batas-batas ruang dan waktu.
Dari dua statement tersebut ada hal yang menarik. Pemahaman anda tentang suatu hal di masa sekarang jangan digunakan untuk memahami hal yang sama di masa lalu. Sebagaimana pemahaman masa lalu jangan digunakan untuk membaca hal yang sama di masa sekarang. Keduanya harus proporsional.
Pengertian sudut pandang yang populer adalah cara penulis dalam menempatkan dirinya dalam sebuah cerita atau teknik yang dipilih oleh penulis untuk menyampaikan pesan dalam cerita yang ditulisnya. Semisal dalam cerpen, penulis dapat menempatkan dirinya dalam posisi sudut pandang orang pertama atau orang kedua.
Secara lebih luas, sudut pandang sederhananya adalah cara kita memandang. Dari sudut mana kita menangkap objek. Seorang lelaki melihat seorang gadis dari depan lalu mengatakan ‘cantik’. Lelaki lain melihat gadis yang sama dari depan lalu mengatakan ‘jelek’ hatinya. Lelaki ketiga melihat gadis yang sama dari belakang lalu mengatakan ‘tidak tahu’.
Ada tiga hasil berbeda dari memandang satu objek yang sama. Perbedaan itu muncul karena berbedanya sudut dalam memandang. Semua tergantung dari sudut mana seseorang melihat objek.
Jawa Tengah bila dilihat dari Jawa Barat maka letaknya berada di timur, sebaliknya bila dilihat dari Jawa Timur maka letaknya berada di barat.
Agar menemukan hasil amatan yang sama maka satukan sudut pandang terlebih dahulu. Berbicara hukum Islam maka lihatlah dari sudut pandang fikih. Kendati pun masih dimungkinkan adanya perbedaan hasil amatan, dikarenakan adanya ragam sudut pandang dalam berfikih. Tapi paling tidak berangkatnya sama, dari satu sudut yaitu fikih. Sehingga ketika menemukan hasil yang berbeda tidak saling menyalahkan. Pun perbedaannya tidak terlampau jauh.
Ketika anda melihat pisau berada di tangan penjahat maka mindset anda mengatakan bahwa dia akan atau telah membunuh seseorang. Sebaliknya, ketika pisau tersebut berada di tangan seorang koki maka mindset anda mengatakan bahwa dia akan meracik bumbu. Padahal belum tentu demikian, bukan?
Seorang penjahat memegang pisau berpotensi besar digunakan untuk memasak mana kala ia sedang berada di dapur. Sebaliknya, pisau yang berada di tangan seorang koki berpotensi besar digunakan untuk membunuh ketika nyawanya sedang terancam di sekeliling penjahat. Maka sudut pandang anda tentang suatu hal jangan dilepas begitu saja. Harus dikombinasikan dengan kondisi ruang dan waktu yang melingkupinya.
Itulah mengapa dalam memahami substansi al-Quran dan hadis kita diharuskan mengetahui latar sosio-historis yang melingkupinya. Agar pemahaman kita akan sebuah teks tidak liar, tidak tercerabut dari ko-teks, dan konteks. Minus ko-teks berpotensi liberal, tanpa konteks berpotensi radikal.
Keterbatasan sudut pandang menjadikan kita sempit memandang sesuatu. Bak katak dalam tempurung. Yang hanya mengira dunia ini sesempit tempurung. Padahal di luaran sana alam terbentang luas. Dan banyak sudut tempat berpijak untuk memandang.
Maka bukalah tempurung itu. Dan timbalah ragam sudut pandang dari sumur kehidupan. Lalu letakkan sudut pandang tersebut pada tempatnya.

Sabtu, 24 September 2016

Memilih Jomblo


Di sela-sela sima’an dan pemberian sanad kitab hadis al-Arba’in an-Nawawiyah di Darus-Sunnah, 19 Sepetember 2016 lalu, Syekh Hisyam Kamil dari Mesir berkelakar di hadapan mahasantri, bahwa “Imam Nawawi itu saking sibuknya dengan ilmu sampai lupa menikah hingga akhir hayatnya. Sebaliknya, kalau kita lebih sering mengingat-ingat nikah.”
Berbicara tentang ulama yang “menyendiri”, atau biasa disebut “jomblo”, Imam Nawawi adalah sosok yang sering dijadikan tamtsil. Hal itu wajar mengingat kedudukannya yang tinggi di kalangan para ulama.
Abdul Fattah Abu Ghuddah, dalam kitabnya al-Ulama al-Uzzab al-Ladzina Aatsaruu-l-Ilma ‘ala-z-Zawaaj, mencantumkan nama Imam Nawawi di urutan ke-16 dari 20 ulama yang mendahulukan ilmu daripada menikah. Kitab inilah yang mengilhami KH. Husein Muhammad Cirebon untuk menuliskan buku Memilih Jomblo, yang kemudian saya pilih sebagai judul tulisan ini.
Menikah dalam Islam merupakan ibadah yang disunnahkan. Bahkan Nabi Saw dalam salah satu hadisnya menegaskan bahwa menikah merupakan bagian dari sunnahnya. Barangsiapa yang tidak menyukai sunnah Nabi Saw. maka tidak dianggap sebagai golongannya.
Di sisi lain menikah telah menjadi fitrah manusia, yang mana ia didorong oleh fitrah tersebut untuk menunaikannya. Al-Quran mempertegasnya dalam salah satu ayat bahwa manusia dianugerahi oleh Allah dengan kecintaannya kepada syahwat yang diantaranya adalah kepada lawan jenis. Sehingga Nabi Saw menganjurkan untuk berpuasa bila belum ‘mampu’ menyalurkan syahwat tersebut.
Fitrah manusia berupa keinginan menikah ini diperkuat lagi dengan sifat kemanusiaan yang lain. Bahwa pada dasarnya manusia ingin hidup kekal, hanya saja mustahil ia menghindari kematian. Untuk itu ia menginginkan keturunan sebagai cara ‘mengabadikan’ dirinya. Dan itu bisa ditempuh melalui jalur nikah.
Oleh karena menikah merupakan perkara mendasar dan salah satu kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia, maka, sebagaimana tulis Abu Ghuddah, sangat sulit sekali menghindari diri untuk tidak menikah kecuali karena faktor tertentu. Semisal kecintaan dan kesibukan seseorang dengan ilmu yang dianggapnya sangat mulia dan berharga, sehingga mengalahkan keingininannya untuk menikah. Dan itulah yang tampak dari sejarah hidup beberapa ulama salaf, seperti Imam Nawawi.
Sejatinya, keputusan untuk ‘jomblo’ atau tidak menikah merupakan sesuatu yang cukup berat. Memilih jomblo sama halnya anda mengebiri fitrah kemanusiaanmu. Anda harus bersiap menanggung beban kesendirian dalam melayani kebutuhan makan, minum, dan tempat tinggal. Sebagaimana anda harus siap ketika tidak ada sosok yang merawatmu kala sakit datang. Pun ketika telah masuk usia senja dengan fisik yang tidak sekuat waktu muda, sementara tidak ada wanita maupun anak-anak yang setia mendampingimu dan merawatmu.
Semua itu teramat berat, tidak akan mampu menanggungnya kecuali mereka yang sabar. Hanya saja bagi sebagian ulama, hal itu tidaklah apa karena kesibukan ilmu telah menautkan hatinya dan menanggalkan keinginan untuk menikah. Tapi, apakah benar karena hal itu? Bukankah mereka melalui karya menuliskan bahwa menikah, selain sunnah, juga memiliki keutamaan yang melimpah? Bukankah mereka juga menulis bahwa memilih jomblo itu berat dan mengkhawatirkan? Terlebih tidak ada dalil yang mendukung pilihan jomblo.
Jawabannya, sebagaimana kata Abu Ghuddah, itu semua adalah pilihan pribadi untuk diri mereka masing-masing. Dengan mata bashirah-nya, mereka lebih tahu mana yang lebih baik bagi mereka antara menikah dan ilmu. Dan pada akhirnya ilmu, sekali lagi bagi mereka, lebih baik daripada menikah.
Kendati demikian mereka tidak mengajak orang lain untuk mengikuti jejaknya. Tidak lantas mereka menyeru bahwa “menyendiri untuk ilmu lebih baik daripada menikah”. Dan bukan berarti pula kita yang menikah lebih baik daripada mereka.
Terlepas dari itu, menyibukkan diri dengan ilmu memang nikmat bagi mereka yang menemukannya. Ketika anda sedang membaca atau menulis dan menemukan kenikmatannya maka waktu pun melangkah penuh makna. Tidak terasa bahwa membaca atau menulis lima jam, misalnya, terasa sangat cepat sehingga engkau perlu menambahnya.
Tempo hari, Kyai Ahmad Baso bercerita bahwa dalam proses penulisan buku-bukunya seringkali ia terlenakan nikmatnya ilmu. Tidak jarang waktu sepanjang Isya’ hingga Subuh berlalu begitu saja tanpa terasa dan beliau masih asyik masyuk dalam penanya. Ia lupa dengan tidurnya, ia lupa dengan aktifitas lainnya.
Maka kalau kita lihat ulama-ulama yang dianggap lebih memilih jomblo adalah mereka yang berlimpah ilmu dan karya. Bahkan saking banyaknya kita hampir tidak percaya, bahwa karyanya terlampau banyak melebihi logika umurnya yang tidak seberapa. Sangat sulit menemukannya di era sekarang.
Bila demikian, kiranya wajar jika Adz-Dzahabi misalnya, dalam Tdzkiratul Huffadz, menulis julukan al-Imam, al-Hafidz, al-Awhad, al-Qudwah, Syaikul Islam, ‘Alamul Awliya’, dan Muhyiddin di depan nama An-Nawawi. Dengan usianya yang hanya 45 tahun, Imam Nawawi telah mendapat julukan mujtahid madzhab Syafi’i. Ia juga dijuluki Faqiihul Muhadditsin dan Muhadditsul Fuqoha'. Dan karyanya pun tak terhitung lagi, melebihi logika umurnya. Karena semua itu telah dibayar mahal oleh Imam Nawawi dengan tidak menikah dan memilih jomblo.

Maka ‘jomblo’ bagi Imam Nawawi adalah pilihan yang tepat. Setepat itukah pilihan anda?

Jumat, 23 September 2016

Mata Rantai Penulisan Kitab-Kitab Fikih Syafi’i


 Ada tradisi menarik di kalangan ulama lampau yang kiranya sudah jarang kita temui di era sekarang. Tradisi menulis kitab yang berangkat dari respon atas karya-karya guru atau ulama sebelumnya. Jika kita membaca karya-karya ulama madzhab Syafi’i, misalnya, maka sering kita jumpai kitab yang berbentuk matan. Dari matan tersebut kemudian muncul kitab penjelasnya yang dinamakan syarah. Tidak berhenti di situ, sebagian kitab-kitab syarah bahkan dikembangkan lagi oleh ulama setelahnya dengan memberikan komentar yang kemudian dinamakan hasyiyah. Di sisi lain terdapat juga kitab-kitab, baik matan, syarah, maupun hasyiyah yang diringkas oleh seorang ulama yang populer disebut mukhtashar. Ada pula yang kemudian di-nadzam-kan menjadi bait-bait indah agar mudah dihafal. Tidak jarang dari nadzam tersebut kemudian dijelaskan lagi dalam bentuk narasi menjadi sebuah kitab baru. Maka jangan heran jika mendapati sebuah kitab yang diringkas menjadi mukhtashar, kemudian diperjelas menjadi syarah, lalu diberi komentar menjadi hasyiyah, dan diringkas lagi menjadi mukhtashar.
Sekedar contoh, dalam madzhab Syafi’i terdapat empat kitab induk yang menjadi pangkal ajaran-ajaran madzhab ini. Al-Umm, al-Imla’, Mukhtashar al-Buwayti, dan Mukhtashar al-Muzani. Dua kitab pertama ditulis langsung oleh Imam Syafi’i, sedangkan dua terakhir ditulis oleh muridnya; al-Buwayti dan al-Muzani. Empat kitab tersebut menjadi pangkal munculnya kitab-kitab fikih madzhab Syafi’i. Oleh al-Juwayni kitab-kitab tersebut dikombinasikan dalam karyanya yang berjudul Nihayatul Mathlab fi Dirayatil Madzhab. Ada pula yang mengatakan bahwa karya al-Juwayni ini merupakan syarah dari Mukhtashar al-Muzani. Memang yang menjadi acuan untuk dijelaskan adalah kitabnya al-Muzani, namun dalam syarah tersebut dapat kita temukan muatan isi yang ada di tiga kitab lainnya. Maka kedua pendapat tersebut sama benarnya.
Pasca ditulisnya kitab Nihayatul Mathlab para ulama madzhab Syafi’i mencukupkan untuk merujuk ke kitab tersebut. Oleh al-Ghazali kitab ini diringkas ke dalam kitab yang berjudul al-Basith. Masih oleh orang yang sama, al-Basith diringkas menjadi al-Wasith, al-Wasith menjadi al-Wajiz, dan yang terakhir ini diringkas menjadi al-Khulashah. Berangkat dari al-Wajiz al-Rafi’i datang meringkasnya dengan nama al-Muharrar. Kemudian al-Nawawi meringkas al-Muharrar menjadi Minhajut Thalibin, dan diringkas lagi oleh Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari dengan judul Manhajut Thullab. Yang terakhir ini kemudian diberi penjelas oleh orang yang sama dengan judul Fathul Wahhab dan kemudian dikomentari (hasyiyah) oleh dua ulama: Sulaiman bin Muhammad al-Bujairomi dan Sulaiman bin Umar al-Jamal. Selain itu, Manhajut Thullab juga diringkas oleh al-Jauhari menjadi al-Nahj.
Masih terkait dengan Minhajut Thalibin. Selain diringkas, kitab ini juga diberi penjelas (syarah) oleh banyak ulama. Diantaranya al-Mahally dengan Kanzur Raghibin, al-Haitami dengan Tuhfatul Muhtaj, al-Ramli dengan Nihayatul Muhtaj, dan al-Syarbini dengan Mughnil Muhtaj. Dari Kanzur Raghibin muncul karya komentar yang ditulis Qolyubi dan Umairoh yang kemudian dikenal dengan Hasyiyatani. Sementara dari Tuhfatul Muhtaj muncul dua kitab komentar: Hasyiyah Ibni Qosim al-Abbadi dan Hasyiyah al-Syarwani. Adapun dari Nihayatul Muhtaj muncul dua kitab kitab komentar yang ditulis oleh al-Syibromalisi dan al-Maghribi. Sebenarnya masih ada ada kitab-kitab komentar lainnya, hanya saja kurang populer di kalangan ulama.
Kembali lagi ke Imam al-Rafi’i. Selain meringkas, ia juga menulis dua kitab syarah atas al-Wajiz-nya al-Ghazali: syarah sederhana tak bernama dan syarah tebal dengan judul al-Aziz. Adapula yang menyebutnya al-Syarh al-Kabir. Untuk syarah yang terakhir ini diringkas oleh al-Nawawi menjadi Raudlatut Thalibin, yang kemudian diringkas lagi oleh setidaknya tiga ulama. Pertama, Ibnu Muqri dengan karyanya yang berjudul Raudlut Thalib. Raudlut Thalib ini diberi syarah oleh Syekh Zakariya al-Anshari dengan judul Asnal Mathalib dan diringkas oleh Ibnu Hajar al-Haitami dengan judul al-Na’im, hanya saja kitab ini tidak dapat kita temukan. Kedua, al-Muzajjad dengan karyanya yang berjudul al-Ubab, yang diberi penjelas oleh al-Haitami dengan judul al-I’ab. Hanya saja penulisan syarah ini belum sempurna. Ketiga, al-Suyuthi dengan judul al-Ghunayyah, yang di-nadzam-kan oleh orang yang sama menjadi al-Khulashah.
Tidak hanya itu. Selain al-Nawawi, ternyata kitab al-Aziz-nya al-Rafi’i juga diringkas oleh Al-Qazwini dengan judul al-Hawi al-Shaghir, yang di-nadzam-kan oleh Ibnul Wardi dengan judul al-Bahjah. Dan belakangan Imam Zakariya al-Anshari menulis dua kitab syarah atas nadzam ini.
Selain kitab-kitab mukhtashar, syarah, dan hasyiyah, terdapat juga karya-karya ulama madzhab Syafi’i yang meneliti sisi hadisnya. Mereka men-takhrij hadis-hadis yang dituturkan dalam kitab tertentu kemudian meneliti kualitasnya. Diantara ulama yang menekuni bidang ini adalah Ibnu Hajar al-Asqalani yang menulis kitab al-Talkhish al-Habir sebagai kitab yang men-takhrij hadis-hadis yang ada di kitab al-Syarh al-Kabir-nya al-Rafi’i. selain itu, Ibnu al-Mulaqqin juga menb-takhrij hadis-hadis yang ada di kitab tersebut melalui kitabnya yang berjudul al-Badr al-Munir. Ia juga menulis kitab Tuhfatul Muhtaj ila Adillatil-Minhaj yang merupakan kitab takhrij hadis-hadis yang ada di kitab Minhajut Thalibin karya al-Nawawi.
Dan terakhir, terdapat kitab Misbahul Munir karya al-Fayumi. Kitab ini memuat penjelasan tentang istilah-istilah yang digunakan al-Rafi’i dalam kitab al-Syarh al-Kabir. Karya al-Fayumi ini kemudian menjadi rujukan ulama-ulama setelahnya dalam memahami kata-kata yang asing di kalangan madzhab Syafi’i.
Demikianlah. Apa yang ditulis oleh ulama-ulama lampau sebagaimana di atas turut menambah khazanah keilmuan di kalangan penganut madzhab Syafi’i. Karya-karya yang berupa ringkasan, penjelasan, maupun komentar, menjadi mata rantai ketersambungan antara satu ulama dengan ulama lainnya. Pun itu menjadi semacam penghormatan dari seorang ulama terhadap guru ataupun ulama yang mendahuluinya. Rasa ta’dzim yang begitu tinggi diartikulasikan dalam bentuk karya yang merespon karya ulama sebelumnya yang dihormatinya. Semua didedikasikan untuk para pembaca agar lebih mudah dalam memahami ajaran-ajaran Islam via madzhab Syafi’i.
Uraian di atas sekaligus menjawab orang-orang yang mempertanyakan ke-syafiiyyah-an pesantren-pesantren di Indonesia oleh karena tidak mengkaji kitab al-Umm. Maka mengkaji kitab-kitab di atas minus al-Umm tidak lantas mengaburkan ajaran madzhab Syafi’i dari pengkajinya. Karena semua telah dikorelasikan oleh jaringan sanad keilmuan dalam bentuk karya.
Tradisi seperti inilah yang kini alpha dari pantauan ulama-ulama kita di nusantara dewasa ini. Tradisi meringkas, memperjelas, dan meberi komentar karya ulama-ulama salaf. Kini, sukar sekali kita temukan ulama-ulama semisal Imam Nawawi Banten yang menulis kitab Nihayatuz Zain Syarah Qurratul Ain, atau Syekh Mahfudz Termas yang menulis Mauhibatu Dzil Fadhl Syarah Minhajul Qowim, atau Kyai Sahal Mahfudz yang menulis Anwarul Bashair Syarah al-Asybah wa al-Nadzair. Alih-alih meneruskan tradisi ini, menulis kitab berbahasa Arab saja kini sangat jarang kita temukan. Wallahu a’lam.