Selamat Datang di Dunia olient_online

Selamat Datang di Dunia Mini olient_online

Selasa, 17 Juni 2014

Selamat Datang Puasa


Puasa yang dalam bahasa arab diterjemahkan dengan kata shiam atau shaum secara bahasa berarti menahan. Adapun secara istilah berarti menahan diri dari sesuatu yang dapat membatalkan puasa baik berbentuk syahwat farji (kelamin) atau syahwat bathni (perut), dengan niat tertentu, sepanjang hari mulai dari fajar hingga waktu maghrib, dan pada hari yang diperbolehkan untuk berpuasa. Karenanya, jika ada seorang muslim yang menjalan puasa pada hari yang tidak diperbolehkan, seperti hari raya, hari tasyriq, dan hari yang masih diragukan dengan tanpa ada sebab, maka puasa orang tersebut tidak diterima.

            Puasa telah lama dikenal oleh umat manusia. Namun, bukan berarti telah usang atau ketinggalan zaman. Karena, jika kita melihat pada abad kedua puluh ini masih ada orang yang menunaikannya dengan berbagai motif dan dorongan. Puasa dalam arti ‘mengendalikan dan menahan diri untuk tidak makan dan minum dalam waktu-waktu tertentu’ dilakukan antara lain dengan tujuan memelihara kesehatan atau merampingkan tubuh. Ada juga puasa yang bermotif mogok makan sebagai tanda protes atas perlakuan pihak lain. Ada juga puasa yang dilakukan sebagai tanda solidaritas atas malapetaka yang menimpa teman atau saudara, seperti yang terdapat di beberapa suku India yang hingga saat ini masih berlaku. Semua bertujuan untuk menahan diri. Bahkan kalau kita merujuk pada Sunnah Nabi saw, disana disebutkan bahwa puasa juga dapat meredakan gejolak syahwat.
Rasulullah saw bersabda: “Wahai sekalian pemuda, siapa di antara kalian yang telah mempunyai kemampuan, maka hendaklah ia menikah, dan barangsiapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa karena hal itu akan lebih bisa meredakan gejolaknya." (HR. Bukhari)
            Puasa yang dilakukan umat Islam digarisbawahi oleh Al Quran dengan tujuan untuk memperoleh ketakwaan. Puasa ini disyariatkan sejak tahun kedua Hijriyah pada bulan Sya’ban dengan turunnya sebuah ayat,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al Baqarah: 183)
            Puasa Ramadan, sebagaimana yang dimaksud dalam kandungan ayat di atas merupakan keistimewaan bagi kita umat Islam. Adapun maksud dari ‘sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu’ menunjukkan kewajiban puasa secara mutlak, bukan kekhususan pada bulan Ramadan. Ada pula yang berpendapat bahwa itu bukan sebuah kekhususan, karean konon umat-umat sebelumnya juga diwajibkan puasa pada bulan Ramadan.
            Ada sebuah cerita menarik dalam kitab I’anat al-Thalibin terkait sejarah puasa umat-umat terdahulu. Dengan mengutip perkataan al-Hasan, konon puasa Ramadan juga diwajibkan bagi orang Yahudi. Akan tetapi mereka meninggalkannya dengan mengganti puasa sehari pada hari ‘Asyura’, yaitu hari kesepuluh bulan Muharram, sebagai ganti puasa bulan Ramadan. Mereka meyakini bahwa hari ‘Asyura’ ialah hari dimana Allah swt membenamkan Fir’aun di kedalaman laut merah. Mereka juga mendustakan Nabi Muhammad saw dengan apa yang dibawanya.
            Puasa Ramadan juga diwajibkan atas umat Nasrani. Akan tetapi, ketika mereka telah menjalankan puasa Ramadan selama bertahun-tahun, secara kebetulan terjadi cuaca yang sangat panas yang sangat mengganggu dan memberatkan mereka dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Kemudian para pemimpin dan pendeta melakukan pertemuan dan sepakat untuk merubah waktu puasa sesuai keinginan mereka. Jika bulan Ramadan jatuh bertepatan pada musim panas mereka akan menundanya hingga musim semi tiba dengan menambah puasa sepuluh hari sebagai kafarat (denda) atas pelanggaran yang mereka lakukan. Belakangan ada seorang raja Nasrani yang jatuh sakit dan berjanji pada Allah swt jika sembuh ia akan berpuasa selama seminggu. Kemudian ada raja lain yang mendatanginya dan menyarankan untuk menambah puasanya selama tiga hari. Maka sempurnalah raja yang baru sembuh tadi berpuasa selama 50 hari. Perbuatan seperti itulah yang kemudian disindir Al Quran dalam sebuah ayat,
اِتَّخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُوْنِ اللهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَآأُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا إِلَهًا وَاحِدًا لآإِلَهَ إِلاَّ هُوَ سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb ) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan. (QS. At Taubah: 31)
            Dari semua cerita di atas tentang kewajiban puasa Ramadan bagi umat Yahudi dan Nasrani, tidak ada yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Yang benar adalah bahwa kewajiban puasa Ramadan merupakan keistimewaan bagi umat Islam. adapun kewajiban puasa atas umat-umat terdahulu itu jenis puasa yang lain.
            Ada dua metode yang bisa dilakukan kaum muslimin dalam menentukan datangnya bulan Ramadan. Pertama ru’yah, yaitu dengan melihat hilal (bulan), meskipun hanya satu orang yang melihatnya. Yakni jika orang itu berani bersaksi di hadapan Hakim bahwa dia benar-benar melihat hilal, maka keesokan harinya semua umat Islam wajib menjalankan puasa. Kedua ikmal, yaitu dengan menggenapkan bilangan hari bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Metode ini dapat dilakukan jika metode yang pertama gagal. Adapun metode Hisab yang sekarang ini berkembang itu merupakan alat bantu dalam melakukan ru’yah.
Rasulullah saw bersabda: "Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah dengan melihatnya pula. Apabila kalian terhalang oleh awan maka sempurnakanlah jumlah bilangan hari bulan Sya'ban menjadi tiga puluh". (HR. Bukhari)
            Kewajiban puasa Ramadan tidak mutlak harus ditunaikan umat Islam di mana pun dan dalam keadaan apapun. Al Quran memberikan keringanan bagi mereka yang sedang sakit atau dalam perjalanan.
أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al Baqarah: 184)
            Keringanan di sini hanya sebatas kebolehan membatalkan puasa Ramadan bagi orang yang sakit dan kawatir akan berakibat fatal pada kesehatan tubuh, tetapi bukan sebuah kewajiban. Karenanya, jika ada orang yang sakit dan merasa dirinya masih kuat serta secara medis tidak berakibat fatal bagi kesehatannya, maka boleh-boleh saja menjalankan puasa tanpa harus membatalkannya. Akan tetapi jika hal itu berakibat fatal secara medis pada kesehatan dirinya, seperti jika orang tersebut melanjutkan puasa hingga sore hari dan mati misalnya, maka kebolehan yang tadinya hanya bersifat mubah berubah menjadi wajib. Dengan dasar bahwa mempertahankan kehidupan itu lebih penting, sementara agama juga tidak mempersulit pemeluknya.
وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” (QS. Al Baqarah: 195)
وَمَاجَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al Hajj: 78)
            Selain puasa wajib, Rasulullah saw juga menganjurkan umatnya untuk menjalankan puasa sunnah, seperti puasa Senin Kamis, puasa 10 hari Zul Hijjah, puasa 6 hari setelah lebaran, dan lain-lain. Sebab, di sana terdapat keutamaan dan pahala yang teramat banyak. Sampai-sampai Allah swt mengistimewakannya dalam sebuah riwayat hadis qudsi.
Rasulullah saw bersabda: "Allah swt telah berfirman: "Setiap amal anak Adam adalah untuknya kecuali shaum, sesungguhnya shaum itu untuk Aku dan Aku sendiri yang akan memberi balasannya.” (HR. Bukhari)
            Semoga kita dapat menjalankan ibadah puasa dengan tulus dan khidmah, sehingga cita-cita puasa untuk memperoleh ketakwaan bisa tercapai. Amin.

17062014, pojok kamar 05

Tidak ada komentar :