Puasa yang dalam bahasa arab diterjemahkan dengan kata shiam
atau shaum secara bahasa berarti menahan. Adapun secara istilah
berarti menahan diri dari sesuatu yang dapat membatalkan puasa baik berbentuk
syahwat farji (kelamin) atau syahwat bathni (perut), dengan niat
tertentu, sepanjang hari mulai dari fajar hingga waktu maghrib, dan pada hari
yang diperbolehkan untuk berpuasa. Karenanya, jika ada seorang muslim yang
menjalan puasa pada hari yang tidak diperbolehkan, seperti hari raya, hari tasyriq,
dan hari yang masih diragukan dengan tanpa ada sebab, maka puasa orang
tersebut tidak diterima.
Puasa
telah lama dikenal oleh umat manusia. Namun, bukan berarti telah usang atau
ketinggalan zaman. Karena, jika kita melihat pada abad kedua puluh ini masih
ada orang yang menunaikannya dengan berbagai motif dan dorongan. Puasa dalam
arti ‘mengendalikan dan menahan diri untuk tidak makan dan minum dalam
waktu-waktu tertentu’ dilakukan antara lain dengan tujuan memelihara kesehatan
atau merampingkan tubuh. Ada juga puasa yang bermotif mogok makan sebagai tanda
protes atas perlakuan pihak lain. Ada juga puasa yang dilakukan sebagai tanda
solidaritas atas malapetaka yang menimpa teman atau saudara, seperti yang
terdapat di beberapa suku India yang hingga saat ini masih berlaku. Semua
bertujuan untuk menahan diri. Bahkan kalau kita merujuk pada Sunnah Nabi saw,
disana disebutkan bahwa puasa juga dapat meredakan gejolak syahwat.
Rasulullah saw bersabda: “Wahai sekalian pemuda, siapa di
antara kalian yang telah mempunyai kemampuan, maka hendaklah ia menikah, dan
barangsiapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa karena hal itu akan lebih
bisa meredakan gejolaknya." (HR. Bukhari)
Puasa
yang dilakukan umat Islam digarisbawahi oleh Al Quran dengan tujuan untuk
memperoleh ketakwaan. Puasa ini disyariatkan sejak tahun kedua Hijriyah pada
bulan Sya’ban dengan turunnya sebuah ayat,
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al Baqarah:
183)
Puasa
Ramadan, sebagaimana yang dimaksud dalam kandungan ayat di atas merupakan
keistimewaan bagi kita umat Islam. Adapun maksud dari ‘sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu’ menunjukkan kewajiban puasa secara mutlak, bukan
kekhususan pada bulan Ramadan. Ada pula yang berpendapat bahwa itu bukan sebuah
kekhususan, karean konon umat-umat sebelumnya juga diwajibkan puasa pada bulan
Ramadan.
Ada
sebuah cerita menarik dalam kitab I’anat al-Thalibin terkait sejarah puasa umat-umat terdahulu. Dengan mengutip perkataan al-Hasan,
konon puasa Ramadan juga diwajibkan bagi orang Yahudi. Akan tetapi mereka
meninggalkannya dengan mengganti puasa sehari pada hari ‘Asyura’, yaitu hari
kesepuluh bulan Muharram, sebagai ganti puasa bulan Ramadan. Mereka meyakini
bahwa hari ‘Asyura’ ialah hari dimana Allah swt membenamkan Fir’aun di
kedalaman laut merah. Mereka juga mendustakan Nabi Muhammad saw dengan apa yang
dibawanya.
Puasa
Ramadan juga diwajibkan atas umat Nasrani. Akan tetapi, ketika mereka telah
menjalankan puasa Ramadan selama bertahun-tahun, secara kebetulan terjadi cuaca
yang sangat panas yang sangat mengganggu dan memberatkan mereka dalam menjalani
kehidupan sehari-hari. Kemudian
para pemimpin dan pendeta melakukan pertemuan dan sepakat untuk merubah waktu
puasa sesuai keinginan mereka. Jika bulan Ramadan jatuh bertepatan pada musim
panas mereka akan menundanya hingga musim semi tiba dengan menambah puasa
sepuluh hari sebagai kafarat (denda) atas pelanggaran yang mereka lakukan.
Belakangan ada seorang raja Nasrani yang jatuh sakit dan berjanji pada Allah
swt jika sembuh ia akan berpuasa selama seminggu. Kemudian ada raja lain yang
mendatanginya dan menyarankan untuk menambah puasanya selama tiga hari. Maka
sempurnalah raja yang baru sembuh tadi berpuasa selama 50 hari. Perbuatan
seperti itulah yang kemudian disindir Al Quran dalam sebuah ayat,
اِتَّخَذُوْا أَحْبَارَهُمْ
وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُوْنِ اللهِ وَالْمَسِيْحَ ابْنَ مَرْيَمَ
وَمَآأُمِرُوْا إِلاَّ لِيَعْبُدُوْا إِلَهًا وَاحِدًا لآإِلَهَ إِلاَّ هُوَ
سُبْحَانَهُ عَمَّا يُشْرِكُوْنَ
“Mereka menjadikan
orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah, dan
(juga mereka menjadikan Rabb ) Al-Masih putera Maryam; padahal mereka hanya
disuruh menyembah Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang berhak disembah)
selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.” (QS. At Taubah:
31)
Dari
semua cerita di atas tentang kewajiban puasa Ramadan bagi umat Yahudi dan
Nasrani, tidak ada yang dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Yang benar
adalah bahwa kewajiban puasa Ramadan merupakan keistimewaan bagi umat Islam.
adapun kewajiban puasa atas umat-umat terdahulu itu jenis puasa yang lain.
Ada dua metode yang bisa dilakukan kaum
muslimin dalam menentukan datangnya bulan Ramadan. Pertama ru’yah, yaitu
dengan melihat hilal (bulan), meskipun hanya satu orang yang melihatnya.
Yakni jika orang itu berani bersaksi di hadapan Hakim bahwa dia benar-benar
melihat hilal, maka keesokan harinya semua umat Islam wajib menjalankan puasa. Kedua
ikmal, yaitu dengan menggenapkan bilangan hari bulan Sya’ban menjadi 30
hari. Metode ini dapat dilakukan jika metode yang pertama gagal. Adapun metode
Hisab yang sekarang ini berkembang itu merupakan alat bantu dalam melakukan ru’yah.
Rasulullah
saw bersabda: "Berpuasalah kalian dengan melihatnya (hilal) dan berbukalah
dengan melihatnya pula. Apabila kalian terhalang oleh awan maka sempurnakanlah
jumlah bilangan hari bulan Sya'ban menjadi tiga puluh". (HR. Bukhari)
Kewajiban puasa Ramadan tidak mutlak
harus ditunaikan umat Islam di mana pun dan dalam keadaan apapun. Al Quran
memberikan keringanan bagi mereka yang sedang sakit atau dalam perjalanan.
أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ فَمَن كَانَ
مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى
الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا
فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ وَأَن تَصُومُوا خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
“(yaitu) dalam
beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari
yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang
berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu)
memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan
kebajikan, maka itu lah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu
jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 184)
Keringanan di sini hanya sebatas
kebolehan membatalkan puasa Ramadan bagi orang yang sakit dan kawatir akan
berakibat fatal pada kesehatan tubuh, tetapi bukan sebuah kewajiban. Karenanya,
jika ada orang yang sakit dan merasa dirinya masih kuat serta secara medis
tidak berakibat fatal bagi kesehatannya, maka boleh-boleh saja menjalankan
puasa tanpa harus membatalkannya. Akan tetapi jika hal itu berakibat fatal
secara medis pada kesehatan dirinya, seperti jika orang tersebut melanjutkan
puasa hingga sore hari dan mati misalnya, maka kebolehan yang tadinya hanya
bersifat mubah berubah menjadi wajib. Dengan dasar bahwa mempertahankan
kehidupan itu lebih penting, sementara agama juga tidak mempersulit pemeluknya.
وَلاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى
التَّهْلُكَةِ
“Dan
janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” (QS. Al Baqarah: 195)
وَمَاجَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ
حَرَجٍ
“Dia
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (QS. Al Hajj: 78)
Selain
puasa wajib, Rasulullah saw juga menganjurkan umatnya untuk menjalankan puasa
sunnah, seperti puasa Senin Kamis, puasa 10 hari Zul Hijjah, puasa 6 hari
setelah lebaran, dan lain-lain. Sebab,
di sana terdapat keutamaan dan pahala yang teramat banyak. Sampai-sampai Allah
swt mengistimewakannya dalam sebuah riwayat hadis qudsi.
Rasulullah
saw bersabda: "Allah swt telah berfirman: "Setiap amal anak Adam
adalah untuknya kecuali shaum, sesungguhnya shaum itu untuk Aku dan Aku sendiri
yang akan memberi balasannya.” (HR. Bukhari)
Semoga
kita dapat menjalankan ibadah puasa dengan tulus dan khidmah, sehingga
cita-cita puasa untuk memperoleh ketakwaan bisa tercapai. Amin.
17062014, pojok kamar 05
Tidak ada komentar :
Posting Komentar