Selamat Datang di Dunia olient_online

Selamat Datang di Dunia Mini olient_online

Jumat, 14 April 2017

Bijak Menyikapi Hoax


Belakangan ini, masyarakat Indonesia ramai membincangkan hoax atau berita palsu. Isu ini telah meresahkan banyak pihak, sampai-sampai pemerintah membentuk satuan tugas pemberantas hoax. Saat ini, hoax sedang menemukan momentumnya dalam kontes politik pemilihan kepala daerah, dimana semua pasangan calon sedang disorot sosoknya. Ketika itu hoax-hoax bertebaran dengan cara menjunjung setinggi langit calon yang didukungnya atau menjatuhkan martabat lawan politiknya.
Selain karena menjamurnya pemakai media sosial, setidaknya hoax tumbuh subur seiring dengan keberadaan para produsennya yang rela menggadaikan harga diri demi memperoleh receh yang tidak seberapa. Kepandaiannya dalam menulis berita dan mem-viral-kannya di dunia maya digunakan untuk menciptakan kabar-kabar pujian kepada calon yang didukungnya atau mengumbar keburukan lawan politiknya tanpa dasar kebenaran dan fakta lapangan.
Sayangnya, kabar hoax tersebut lalu dikonsumsi oleh orang-orang yang terlanjur fanatis mendukung calon tertentu dan membenci calon yang lain. Sehingga mereka menelan mentah-mentah berita yang diterima tanpa mau mengetahui kebenaran sesungguhnya. Imbasnya, kecintaan mereka terhadap sosok yang didukung semakin tinggi seiring dengan kebencian yang semakin membuta terhadap lawan politiknya. Untuk mengekspresikan perasaan tersebut, mereka membagikan berita-berita hoax di akun media sosialnya.
Maka menyebarlah berita-berita bohong tersebut dan menggelinding dari satu dinding ke dinding yang lain, dari satu grup ke grup yang lain. Fitnah pun merajalela tak berkesudahan dan salah satu pihak menuai keuntungan dari hal itu. Sementara pihak lain harus menelan kerugian dari pemberitaan sosoknya yang tidak valid.
Problem berita hoax sebenarnya telah lama ada, bahkan sejak awal sejarah umat manusia. Nabi Adam as., sebagai bapaknya umat manusia, pernah termakan kabar hoax dari Iblis. Sebagaimana kita tahu, pada awal mula Allah Swt. memperkenan Adam dan istrinya, Hawa, untuk tinggal di surga serta menikmati seluruh hidangan yang ada di sana, kecuali dari satu pohon. Bahkan Allah melarang mereka mendekati pohon tersebut. Allah Swt. tidak merinci secara jelas nama pohon tersebut, namun dari dialog Iblis diketahui bahwa pohon tersebut bernama khuldi.
Pasca pelarangan Allah Swt. tersebut, Iblis diam-diam membisikan berita hoax kepada Nabi Adam dan istrinya seraya bersumpah. Dikatakan bahwa pelarangan memakan buah khuldi bagi Adam dan istrinya dikarenakan hal itu akan merubah status mereka menjadi malaikat atau akan menjadikan mereka hidup kekal di surga. Karenanya Allah Swt. melarang mereka melakukan hal tersebut.
Rupanya Nabi Adam as. dan Hawa termakan tipuan Iblis. Mereka akhirnya mendekati pohon khuldi dan memakan buahnya. Puncaknya, Allah swt. menurunkan mereka ke bumi. Kisah ini diabadikan dalam QS. Thoha: 19-21. Pada masa Rasulullah Saw., berita hoax juga pernah dihembuskan oleh orang-orang munafik: Abdullah bin Ubay, Hasan bin Tsabit, Misthah bin Utsatsah, dan Hamnah bintu Jahsy. Mereka dengan sengaja menebar fitnah perselingkuhan Aisyah ra. dengan salah seorang sahabat bernama Shafwan bin al-Mu’aththal, sepulang dari perang Bani Mustholiq. Kabar bohong itu menyebar ke telinga para sahabat. Hingga Nabi pun hampir terhasut olehnya, sebelum pada akhirnya turun ayat yang membantah kabar dusta yang terlanjur berhembus itu. Peristiwa ini populer dengan sebutan hadits al-ifki.
Nabi Saw. sendiri mengecam tindakan pemberitaan hoax, terlebih jika hal itu disandarkan pada dirinya. Memang beliau memerintahkan para sahabat untuk menyampaikan kepada yang lain apa yang berasal darinya walaupun hanya satu ayat al-Quran. Namun, pada saat yang sama beliau mengecam bagi siapa saja yang berani mendustakan sesuatu kepadanya dengan sengaja, maka neraka telah dipersiapkan untuk orang tersebut. (lihat HR. Bukhari)
Karenanya, berhati-hatilah dengan berita hoax. Jangan sampai kita menjadi bagian dari orang yang termakan olehnya, lebih-lebih andil menyebarkannya atau bahkan membuatnya. Marilah kita cerdas dan cermat menyikapi setiap berita yang datang. Bijak menyikapi hoax menjadi penting pada hari ini, dimana hal itu akan menghindarkan kita dari kebencian yang membabi buta terhadap seseorang atau kecintaan berlebihan seolah tanpa cela.
Ada banyak teladan Nabi saw. dalam menyikapi setiap berita yang datang. Dalam konteks hari ini, teladan tersebut penting untuk diamalkan. Mula-mula saringlah setiap berita yang menghampiri kita dengan menguji validitasnya. Al-Quran mengajarkan kita untuk ber-tabayun (memeriksa kebenaran) manakala seseorang datang membawa suatu berita (lihat QS. Al-Hujurat: 6). Jangan terburu-buru menyebarkan kabar di media sosial, sebelum kita dapat memastikan kebenarannya. Tabayun ini penting guna menghindarkan diri dari memfitnah orang lain. Karena, kabar yang valid sekalipun, rawan untuk diplintir oleh orang yang memberitakan, sehingga pemahamannya pun berbeda dari maksud orang yang diberitakan. Apalagi jika kabar tersebut palsu.
Para ulama hadis memiliki formulasi tersendiri dalam menguji validitas setiap hadis yang mereka terima. Apakah hadis tersebut benar adanya berasal dari Nabi atau jangan-jangan hoax? Untuk mengetahui hal itu mereka menerapkan lima hal sebagai prasyarat diterimanya sebuah hadis: ketersambungan sanad, rawinya memiliki integritas (adil) dan kapasitas intelektual kognitif (dhabit), hadisnya tidak janggal (syadz) dan tidak terkena cacat (illat).
Memang, tidak sepenuhnya tepat jika kita menggunakan metode kritik hadis tersebut untuk menguji validitas berita hoax yang beredar akhir-akhir ini. Namun, setidaknya terdapat spirit yang bisa kita ambil dari metode itu. Dalam konteks pemberitaan tentang seseorang yang masih hidup, kita dapat ber-tabayun langsung kepada orangnya sekedar memastikan validitasnya. Atau kita lihat sumbernya, apakah dari orang atau media yang memiliki integritas dan rekam jejak yang baik? Sehingga apa yang ia kabarkan dapat dipertanggungjawabkan.
Jika berita tersebut hoax, segera buanglah ke tong sampah dan jangan sekali-sekali memungutnya apalagi menyebarkannya. Namun, jika berita tersebut valid, langkah selanjutnya adalah memeriksa konten beritanya. Jika berita tersebut berisi kebaikan, maka baik pula bagi kita untuk membagikan atau mempublikasikan kepada sesama, sehingga pembaca memperoleh kemanfaatan darinya dan kita menuai pahala karenanya. Namun jika berita tersebut berisi hal buruk, maka menahan diri untuk tidak mempublikasikannya adalah sikap yang bijak, agar kita tidak jatuh pada wilayah ghibah (menggunjing).
Suatu ketika Rasulullah Saw. bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian, apakah ghibah itu?”
Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”
Kemudian Rasulullah Saw. bersabda, “Ghibah adalah ketika kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.”
Ketika itu seorang sahabat merasa keberatan seraya bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?”
Rasulullah Saw. pun menjawab, “Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu ada padanya, maka berarti kamu telah menggunjingnya. Dan apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah membuat-buat kebohongan terhadapnya.” (HR. Muslim)
Demikianlah teladan Rasulullah Saw. dalam menyikapi berita. Betapapun kita harus cerdas dan bijak menyikapi berita yang datang. Jangan mudah terprovokasi oleh kabar yang beredar, lalu lupa menguji kebenarannya. Dan jangan mudah mempublikasikan sesuatu yang tidak baik meskipun faktual. Nabi Saw. mengajarkan kita untuk berkata baik, atau jika tidak bisa maka lebih baik diam. (HR. Bukhari dan Muslim). Demikian halnya kita hendaknya memublikasikan kebaikan, namun jika tidak bisa maka menahan diri itu lebih baik.
Hanya saja, seringkali kita terbawa hawa nafsu untuk mengomentari atau mempublikan segala isu. Terlebih jika diri kita sudah dihinggapi virus kebencian terhadap seseorang, maka apapun yang berisi keburukan orang tersebut dengan mudah kita umbar di media sosial, tanpa mau memastikan kebenarannya terlebih dahulu. Jika sudah demikian, tidakkah lebih baik menahan diri?
Ada baiknya kita renungi ucapan Bisyr bin Harits ketika ditanya seseorang, “kapan aku harus diam dan kapan aku harus bicara?”. Beliau menjawab, “jika anda berhasrat bicara, maka diamlah, dan jika anda berhasrat diam, maka bicaralah!”. Wallahu a’lam.

Jumat, 07 April 2017

Mempersiapkan Kematian


Kematian merupakan keniscayaan bagi setiap yang berjiwa. Demikian adanya Al Quran mengabarkan tentang kematian.
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran: 185)
Ayat senada juga termaktub dalam surat Al Anbiya’ dan Al Ankabut:
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan(yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al Anbiya’: 35)
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ ثُمَّ إِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.” (QS. 29:57)
Oleh para mufassir ayat di atas dimaknai sebagai sebuah kabar yang mencakup atas semua makhluk bahwa setiap mereka pasti merasakan kematian. Jika ditinjau dari pendekatan ilmu nahwu, kata “Kullu Nafs” pada ayat di atas berbentuk isim nakiroh yang berarti umum. Itu artinya semua makhluk baik manusia, jin, malaikat, dan lainnya akan merasakan kematian tanpa terkecuali. Hanya satu yang tidak akan mengalami kematian, yaitu Allah Swt. Sedangkan semua makhluk hidup semuanya akan binasa, sebagaimana dunia yang kelak akan musnah. Semuanya akan kembali kepada-Nya dan dimintai pertanggung jawaban.
Disadari atau tidak kematian menjadi salah satu fenomena kehidupan yang sering kita temui di sekitar kita. Sejak dahulu hingga sekarang seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, kematian tetaplah menjadi misteri yang akan selamanya sulit untuk dipahami apalagi dihindari. Kemampuan manusia tidak akan dapat mengetahui kapan seseorang menemui ajalnya. Allah Swt hanya memberikan tanda-tanda seperti memutihnya rambut, melemahnya fisik, dan bungkuknya badan. Semaju apapun ilmu pengetahuan dan secanggih apapun teknologi modern tidak akan mampu menyibak misteri dibalik kematian. Selamanya yang namanya ajal kematian akan menjadi rahasia Allah Swt dan merupakan takdir yang tidak bisa dipercepat ataupun ditangguhkan. Allah berfirman:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذا جاءَ أَجَلُهُمْ لا يَسْتَأْخِرُونَ ساعَةً وَلا يَسْتَقْدِمُونَ
“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. AL A’rof: 34)
Namun yang perlu diketahui bahwa kematian bukan akhir dari segalanya, tapi hanyalah pintu untuk masuk ke alam kehidupan selanjutnya. Sebuah kehidupan abadi dimana manusia tak lagi punya hak memilih jenis kehidupan yang akan ia jalani seperti saat di dunia. Di alam akhirat, ia hanya bisa menerima keputusan Sang Pengadil: hidup dalam nikmat selamanya atau sengsara selamanya.
Pintu tersebut bernama sakaratul maut, di mana siapapun akan merasakan kesakitan ketika melewatinya. Pintu itu menjadi penentu nasib bagi mereka. Jika ia mampu melaluinya dengan baik, maka kenikmatan abadi siap menyambutnya. Namun bila sebaliknya, maka azab pedih akan senantiasa menjadi temannya sejak di alam kubur. Karenanya, dapat dipahami jika sebagian orang teramat takut dengan kematian.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa kematian hanyalah pintu dan bukan menjadi akhir dari segalanya. Dari itu, seyogyanya kita tidak merisaukan dan merasa takut dengan datangnya kematian. Justru yang perlu menjadi catatan ialah bekal apa yang akan kita bawa ketika melewati pintu tersebut? Sudahkah cukup untuk menjadi penghidup bagi kehidupan selanjutnya? Apakah amal baik kita akan menghapus catatan buruk? Ataukah amal buruk kita justru mengotori catatan baik?
Allah Swt dalam salah satu ayat menginformasikan tentang wasiat Nabi Ya’qub as kepada anak-anaknya:
وَوَصَّى بِهَآإِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبَ يَابَنِيَّ إِنَّ اللهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’kub. (Ibrahim berkata):”Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”. (QS. Al Baqarah: 132)
Maka dari sini, hendaknya setiap saat kita mempertebal keimanan serta ketakwaan kita agar keislaman yang kita peluk selalu melekat dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga jika sewaktu-waktu kematian datang, semoga kita melewatinya dalam keadaan Islam dan husnul khatimah. Maka hal yang perlu kita lakukan ialah mengevaluasi segala amal setiap hari. Untuk itu, Rasulullah Saw berpesan agar kita senantiasa mengingat akhirat atau kematian. Karena dengan mengingat kematian kita akan mengerti akan makna kehidupan.
Kecenderungan yang ada dewasa ini, manusia makin giat mengumpulkan harta. Mareka berlomba-lomba mengais kekayaan dan bermewah-mewahan. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kekayaan. Akan tetapi jika itu mengalihkan kita pada kecenderungan cinta dunia, maka perhatian terhadap kehidupan akhirat sedikit demi sedikit terlupakan. Di sisi lain, manusia teramat takut dengan kematian. Mati yang mau tidak mau akan menghampiri seolah menjadi sesuatu yang menakutkan. Entah karena merasa belum cukup bekal atau belum ada kesadaran untuk menerima datangnya kematian. Kecenderungan ini telah diprediksi jauh-jauh hari oleh Rasulullah Saw. bahwa kelak umat Islam akan sangat rapuh dan mudah diperdaya. Beliau bersabda:
“Hampir-hampir bangsa-bangsa memperebutkan kalian (umat Islam), layaknya memperebutkan makanan yang berada di mangkuk.” Seorang laki-laki berkata, “Apakah kami waktu itu berjumlah sedikit?” beliau menjawab: “Bahkan jumlah kalian pada waktu itu sangat banyak, namun kalian seperti buih di genangan air. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut kepada kalian, dan akan menanamkan ke dalam hati kalian Al wahn.” Seseorang lalu berkata, “Wahai Rasulullah, apa itu Al wahn?” beliau menjawab: “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Abu Dawud)
Komaruddin Hidayat dalam buku “Psikologi Kematian” mensinyalir keengganan manusia untuk menjemput kematiannya disebabkan, setidaknya dua hal. Pertama, manusia terlanjur dimanjakan dengan aneka kenikmatan duniawi yang telah dipeluknya erat-erat. Kedua, sifat kematian yang misterius. Kematian ditakuti karena manusia tidak tahu persis apa yang akan terjadi setelah kematian itu.
Kematian dengan demikian menjadi misteri kehidupan yang mendebarkan, bahkan menakutkan. Bagi kaum eksistensialis, kematian adalah suatu derita dan musuh bebuyutan yang terlalu tangguh untuk dikalahkan. Prestasi akal budi manusia yang telah melahirkan peradaban iptek super canggih tetap tidak akan pernah mampu menelusuri jejak malaikat maut. Anehnya, tidak sedikit manusia justru merasa enggan mati dan berusaha ekstra memperpanjang sisa hidupnya.
Dalam pandangan Komaruddin Hidayat, keyakinan dan ketidakyakinan manusia bahwa setiap saat kita bisa dijemput kematian memiliki pengaruh besar dalam kehidupan seseorang. Begitu pula dengan keyakinan adanya kehidupan setelah kematian. Dengan harapan memperoleh kebahagiaan di akhirat, misalnya, maka raja-raja Mesir membangun Piramida dengan pucuknya runcing dan menjulang ke langit agar memudahkan perjalanan arwahnya menuju surga.
Islam secara tegas mengajarkan bahwa tiada seorang pun yang bisa menemani dan menolong perjalanan arwah kecuali akumulasi amal kebaikan kita sendiri. Kenikmatan dan gemerlap kehidupan duniawi hanyalah sementara dan akan ditinggalkan. Tidak ada bekal yang berharga bagi kelanjutan perjalanan hidup manusia kecuali amal kebaikan yang telah terekam dalam catatan malaikat, yang nantinya akan memperoleh balasan di akhirat.
Pada akhirnya, kematian adalah keniscayaan yang harus kita persiapkan. Kemanapun kita menghindar kematian akan menghampiri ketika ajal telah tiba.
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِككُّمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ وَإِن تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِن عِندِ اللهِ وَإِن تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِندِكَ قُلْ كُلٌّ مِّنْ عِندِ اللهِ فَمَالِ هَؤُلآَءِ الْقَوْمِ لاَيَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika memperoleh kebaikan, mereka mengatakan:”Ini adalah dari sisi Allah”, dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan:”Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)”. Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah”. Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun.” (QS. An Nisa’: 78)