Belakangan ini, masyarakat Indonesia ramai membincangkan hoax atau berita palsu. Isu ini telah meresahkan banyak pihak, sampai-sampai pemerintah membentuk satuan tugas pemberantas hoax. Saat ini, hoax sedang menemukan momentumnya dalam kontes politik pemilihan kepala daerah, dimana semua pasangan calon sedang disorot sosoknya. Ketika itu hoax-hoax bertebaran dengan cara menjunjung setinggi langit calon yang didukungnya atau menjatuhkan martabat lawan politiknya.
Selain karena menjamurnya pemakai media sosial, setidaknya hoax tumbuh subur seiring dengan keberadaan para produsennya yang rela menggadaikan harga diri demi memperoleh receh yang tidak seberapa. Kepandaiannya dalam menulis berita dan mem-viral-kannya di dunia maya digunakan untuk menciptakan kabar-kabar pujian kepada calon yang didukungnya atau mengumbar keburukan lawan politiknya tanpa dasar kebenaran dan fakta lapangan.
Sayangnya, kabar hoax tersebut lalu dikonsumsi oleh orang-orang yang terlanjur fanatis mendukung calon tertentu dan membenci calon yang lain. Sehingga mereka menelan mentah-mentah berita yang diterima tanpa mau mengetahui kebenaran sesungguhnya. Imbasnya, kecintaan mereka terhadap sosok yang didukung semakin tinggi seiring dengan kebencian yang semakin membuta terhadap lawan politiknya. Untuk mengekspresikan perasaan tersebut, mereka membagikan berita-berita hoax di akun media sosialnya.
Maka menyebarlah berita-berita bohong tersebut dan menggelinding dari satu dinding ke dinding yang lain, dari satu grup ke grup yang lain. Fitnah pun merajalela tak berkesudahan dan salah satu pihak menuai keuntungan dari hal itu. Sementara pihak lain harus menelan kerugian dari pemberitaan sosoknya yang tidak valid.
Problem berita hoax sebenarnya telah lama ada, bahkan sejak awal sejarah umat manusia. Nabi Adam as., sebagai bapaknya umat manusia, pernah termakan kabar hoax dari Iblis. Sebagaimana kita tahu, pada awal mula Allah Swt. memperkenan Adam dan istrinya, Hawa, untuk tinggal di surga serta menikmati seluruh hidangan yang ada di sana, kecuali dari satu pohon. Bahkan Allah melarang mereka mendekati pohon tersebut. Allah Swt. tidak merinci secara jelas nama pohon tersebut, namun dari dialog Iblis diketahui bahwa pohon tersebut bernama khuldi.
Pasca pelarangan Allah Swt. tersebut, Iblis diam-diam membisikan berita hoax kepada Nabi Adam dan istrinya seraya bersumpah. Dikatakan bahwa pelarangan memakan buah khuldi bagi Adam dan istrinya dikarenakan hal itu akan merubah status mereka menjadi malaikat atau akan menjadikan mereka hidup kekal di surga. Karenanya Allah Swt. melarang mereka melakukan hal tersebut.
Rupanya Nabi Adam as. dan Hawa termakan tipuan Iblis. Mereka akhirnya mendekati pohon khuldi dan memakan buahnya. Puncaknya, Allah swt. menurunkan mereka ke bumi. Kisah ini diabadikan dalam QS. Thoha: 19-21. Pada masa Rasulullah Saw., berita hoax juga pernah dihembuskan oleh orang-orang munafik: Abdullah bin Ubay, Hasan bin Tsabit, Misthah bin Utsatsah, dan Hamnah bintu Jahsy. Mereka dengan sengaja menebar fitnah perselingkuhan Aisyah ra. dengan salah seorang sahabat bernama Shafwan bin al-Mu’aththal, sepulang dari perang Bani Mustholiq. Kabar bohong itu menyebar ke telinga para sahabat. Hingga Nabi pun hampir terhasut olehnya, sebelum pada akhirnya turun ayat yang membantah kabar dusta yang terlanjur berhembus itu. Peristiwa ini populer dengan sebutan hadits al-ifki.
Nabi Saw. sendiri mengecam tindakan pemberitaan hoax, terlebih jika hal itu disandarkan pada dirinya. Memang beliau memerintahkan para sahabat untuk menyampaikan kepada yang lain apa yang berasal darinya walaupun hanya satu ayat al-Quran. Namun, pada saat yang sama beliau mengecam bagi siapa saja yang berani mendustakan sesuatu kepadanya dengan sengaja, maka neraka telah dipersiapkan untuk orang tersebut. (lihat HR. Bukhari)
Karenanya, berhati-hatilah dengan berita hoax. Jangan sampai kita menjadi bagian dari orang yang termakan olehnya, lebih-lebih andil menyebarkannya atau bahkan membuatnya. Marilah kita cerdas dan cermat menyikapi setiap berita yang datang. Bijak menyikapi hoax menjadi penting pada hari ini, dimana hal itu akan menghindarkan kita dari kebencian yang membabi buta terhadap seseorang atau kecintaan berlebihan seolah tanpa cela.
Ada banyak teladan Nabi saw. dalam menyikapi setiap berita yang datang. Dalam konteks hari ini, teladan tersebut penting untuk diamalkan. Mula-mula saringlah setiap berita yang menghampiri kita dengan menguji validitasnya. Al-Quran mengajarkan kita untuk ber-tabayun (memeriksa kebenaran) manakala seseorang datang membawa suatu berita (lihat QS. Al-Hujurat: 6). Jangan terburu-buru menyebarkan kabar di media sosial, sebelum kita dapat memastikan kebenarannya. Tabayun ini penting guna menghindarkan diri dari memfitnah orang lain. Karena, kabar yang valid sekalipun, rawan untuk diplintir oleh orang yang memberitakan, sehingga pemahamannya pun berbeda dari maksud orang yang diberitakan. Apalagi jika kabar tersebut palsu.
Para ulama hadis memiliki formulasi tersendiri dalam menguji validitas setiap hadis yang mereka terima. Apakah hadis tersebut benar adanya berasal dari Nabi atau jangan-jangan hoax? Untuk mengetahui hal itu mereka menerapkan lima hal sebagai prasyarat diterimanya sebuah hadis: ketersambungan sanad, rawinya memiliki integritas (adil) dan kapasitas intelektual kognitif (dhabit), hadisnya tidak janggal (syadz) dan tidak terkena cacat (illat).
Memang, tidak sepenuhnya tepat jika kita menggunakan metode kritik hadis tersebut untuk menguji validitas berita hoax yang beredar akhir-akhir ini. Namun, setidaknya terdapat spirit yang bisa kita ambil dari metode itu. Dalam konteks pemberitaan tentang seseorang yang masih hidup, kita dapat ber-tabayun langsung kepada orangnya sekedar memastikan validitasnya. Atau kita lihat sumbernya, apakah dari orang atau media yang memiliki integritas dan rekam jejak yang baik? Sehingga apa yang ia kabarkan dapat dipertanggungjawabkan.
Jika berita tersebut hoax, segera buanglah ke tong sampah dan jangan sekali-sekali memungutnya apalagi menyebarkannya. Namun, jika berita tersebut valid, langkah selanjutnya adalah memeriksa konten beritanya. Jika berita tersebut berisi kebaikan, maka baik pula bagi kita untuk membagikan atau mempublikasikan kepada sesama, sehingga pembaca memperoleh kemanfaatan darinya dan kita menuai pahala karenanya. Namun jika berita tersebut berisi hal buruk, maka menahan diri untuk tidak mempublikasikannya adalah sikap yang bijak, agar kita tidak jatuh pada wilayah ghibah (menggunjing).
Suatu ketika Rasulullah Saw. bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian, apakah ghibah itu?”
Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”
Kemudian Rasulullah Saw. bersabda, “Ghibah adalah ketika kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.”
Ketika itu seorang sahabat merasa keberatan seraya bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?”
Rasulullah Saw. pun menjawab, “Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu ada padanya, maka berarti kamu telah menggunjingnya. Dan apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah membuat-buat kebohongan terhadapnya.” (HR. Muslim)
Demikianlah teladan Rasulullah Saw. dalam menyikapi berita. Betapapun kita harus cerdas dan bijak menyikapi berita yang datang. Jangan mudah terprovokasi oleh kabar yang beredar, lalu lupa menguji kebenarannya. Dan jangan mudah mempublikasikan sesuatu yang tidak baik meskipun faktual. Nabi Saw. mengajarkan kita untuk berkata baik, atau jika tidak bisa maka lebih baik diam. (HR. Bukhari dan Muslim). Demikian halnya kita hendaknya memublikasikan kebaikan, namun jika tidak bisa maka menahan diri itu lebih baik.
Hanya saja, seringkali kita terbawa hawa nafsu untuk mengomentari atau mempublikan segala isu. Terlebih jika diri kita sudah dihinggapi virus kebencian terhadap seseorang, maka apapun yang berisi keburukan orang tersebut dengan mudah kita umbar di media sosial, tanpa mau memastikan kebenarannya terlebih dahulu. Jika sudah demikian, tidakkah lebih baik menahan diri?
Ada baiknya kita renungi ucapan Bisyr bin Harits ketika ditanya seseorang, “kapan aku harus diam dan kapan aku harus bicara?”. Beliau menjawab, “jika anda berhasrat bicara, maka diamlah, dan jika anda berhasrat diam, maka bicaralah!”. Wallahu a’lam.