PENDAHULUAN
Dilihat dari sudut pandang
kualitas, hadis dapat diklasifikasikan menjadi hadis sahih, hasan, dan dha’if. Pembahasan
tentang hadis hasan selalu bersinggungan dengan
hadis sahih. Tidak hanya karena keduanya berstatus sebagai hadis maqbul,
dapat diterima sebagai hujjah dan dalil agama, tetapi juga dilihat dari segi
persyaratan dan kriteria-kriterianya yang hampir sama. Dari itu pula Imam
Baiquni mendefinisikannya secara singkat dalam sebuah bait. Karena
pendefinisiannya pun telah dipaparkan pada bait sebelumnya, yakni pada
penjelasan hadis sahih. Hanya saja ada persyaratan hadis sahih yang
tidak dimiliki oleh hadis hasan.
Para ulama memberikan definisi
yang beragam mengenai hadis hasan. Perbedaan ini terletak pada lingkup takaran
kriteria sebuah hadis dikatakan hasan. Ada yang mempersyaratkan sangat
ketat penerimaan hadis, terutama di kalangan ushuliyyin. Ada pula yang
mempermudah persyaratan hadis hasan. Hal ini tidak mengherankan bila
memandang posisi hadis hasan yang mengambang diantara kriteria sahih
dan dha’if. Maka wajar jika kriteria hasan menjadi relatif
diantara kalangan muhaddisin. Ia tidak memiliki parameter yang pasti
sebagaimana hadis sahih.
Sejarah mencatat bahwa hadis hasan pertama kali mencuat ke
publik, terutama khalayak Muhaddisin, dibawa oleh Imam at-Tirmidzi melalui
kitabnya, Sunan at-Tirmidzi. Buku tersebut sering menjadi sumber utama
berkaitan dengan hadis hasan. Pada awal mula hadis dari segi kualitasnya hanya dua, yakni hadis sahih dan dha’if.
Kemudian setelah mempertimbangkan cacat sedikit saja misalnya dhabith
yang kurang sempurna (ghayr tamm) sedikit dimasukkan ke bagian dha’if,
maka diambillah jalan tengah yaitu hadis hasan.
Pada realitanya hadis hasan
lebih banyak beredar di kalangan pengkaji hadis. Sementara masyarakat
kebanyakan hanya menerima hadis sahih atau menolak hadis dha’if. Terlebih
kriterianya yang masih menjadi ikhtilaf di antara kalangan ulama.