Selamat Datang di Dunia olient_online

Selamat Datang di Dunia Mini olient_online

Kamis, 18 April 2013

Cerpen 3: Obsesi Liar


Dimuat di TABLOIT INSTITUT edisi XXIV/April 2013

            Galang masih saja berkutat di depan komputer bututnya. Matanya tak henti-henti memandangi layar nan lusuh dan berdebu. Sementara jemarinya terus menempel di atas tuts-tuts keyboard hitam. Sesekali pandangannya mengarah ke kiri, ke kanan dan ke atas, menerawang arah fatamorgana. Ia terus memutar otak. Mencari kelemahan yang ada pada dirinya sehingga sesuatu yang ia citakan tak kunjung tercapai. Ia tak habis pikir dimana letak kekurangan dan kelemahannya?
Di sisi kirinya berdiri saksi bisu, setumpuk buku tentang kiat-kiat menjadi penulis novel dan cerita pendek. Tak kalah banyaknya, di sisi kanan puluhan buku antologi cerpen dari berbagai penulis. Sementara di rak berjejer karya-karya fenomenal novelis kenamaan dalam maupun luar negeri. Dari sampul buku tampak Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih dan Bumi Cintanya Habiburrahman El Shirazy. Di sebelahnya lagi berjilid-jilid Harry Potternya JK Rolling. Nampak juga dibawahnya novel kenamaan dunia seperti Dunia Shopie, The Da Vinci Code, Lord Of The Rings dan lain-lainnya. Sementara di paling ujung terlihat nama-nama novelis Indonesia sekaliber Asma Nadia, Helvi Tiana Rosa, Afifah Afra, Fahri Asiza, Dewi Dee Lestari, Ahmad Fuadi, Andrea Hirata dan Sequel Gajah Madanya Langit Kresna Haryadi. Serta berjubel novel-novel lainnya.
Jarum jam menunjuk angka empat pagi. Ini hari ketiga Galang tak keluar kamar sama sekali. Tiga hari pula ia lupa mandi. Hanya sesekali membasuh muka dan gosok gigi. Di bawah temaram lampu yang mulai meredup rambutnya tampak kusut tak terawat. Matanya merah antara kelelahan, kurang tidur dan terlalu lama memandangi monitor. Tidur terakhirnya adalah kemarin siang. Itupun tak lebih dari dua jam. Semata-mata untuk menghilangkan lelah. Bajunya kumal dan sedikit berbau peluh keringat.

Adzan Subuh menggema. Ah, bahkan sholat pun Galang acuhkan sejak seminggu yang lalu. Rupa-rupanya ia tak peduli lagi dengan semua urusan. Semua teman sementara ia tinggalkan. Kalaupun boleh dibilang teman ialah seperangkat komputer, secangkir kopi dan beberapa batang rokok. Benda-benda itu yang menemaninya tiga hari belakangan. Bahkan kakaknya yang serumah sekalipun tak sempat ia sapa walau sebentar. Paling-paling ketika kakaknya mengantarkan seseduh kopi kala pagi dan sore hari. Itupun dengan ekspresi dingin.
Galang sedang kesetanan dengan dunia tulis menulis. Ratusan kali ia mengirim cerita pendeknya ke berbagai majalah dan koran harian. Tapi tak satupun yang pernah dimuat. Rupa-rupanya dia sedang dendam dengan dunia cerita. Dan dendam itu ia ekspresikan dengan menulis sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya. Sembari membuka-buka buku lamanya tentang menjadi penulis best seller. Ia tidak lantas menciutkan nyali dan memundurkan langkah. Justru semakin banyak karyanya yang ditolak ia semakin tertantang dan menantang. Bahkan semakin memompa semangatnya dan melecut obsesinya. Obsesi untuk menjadi penulis yang diakui di kancah nasional maupun internasional. Obsesi yang perlahan-lahan menjadi liar.
Sejak kecil Galang memang mahir mengarang cerita. Sejak masih di taman kanak-kanak ia berkali-kali mengarang cerita dan melakonkannya di depan teman-teman. Ia sendiri tidak tahu bakatnya itu mengalir dari siapa. Selain mengarang ia juga gemar membaca kisah-kisah, terutama kisah para nabi. Dari sekian kisah yang pernah ia baca ada satu kisah yang mengesankan baginya dan bahkan sampai hafal secara detail. Ialah cerita tentang Nabi Sulaiman ketika berdialog dengan semut dan burung Hud-hud. Ia belum mengerti tentang Nabi dan mu’jizat-mu’jizatnya ketika itu. Ia hanya kagum dan heran dengan Nabi Sulaiman yang mampu berbicara dengan hewan. Hanya karena itu. Tak lebih. Sampai kemudian ia pun gemar mengarang cerita tentang persahabatan manusia dan hewan.
Galang tak peduli dengan keadaan ekonomi keluarganya yang kurang mampu. Baginya ia punya mimpi dan cita-cita. Dan ia yakin pasti akan mampu menggapainya. Ayah dan ibunya hanyalah seorang petani. Petani yang taat, yang selalu mengajarkan kepada anak-anaknya tentang kewajiban sholat lima waktu. Ia memiliki seorang saudara perempuan yang kini telah menikah dan tinggal di Ibu kota.
Semenjak masuk bangku sekolah menengah pertama bakat menulisnya mulai terasah. Ia berkali-kali menulis cerita pendek dan sering memenangkan lomba meskipun hanya tingkat sekolahnya sendiri. Karena itu pula ia mendapat beasiswa sehingga tidak perlu memikirkan biaya lagi. Jiwa menulisnya semakin menjadi ketika masuk bangku sekolah menengah atas. Ia bergabung di organisasi majalah sekolah. Maka seakan menempati habitat yang sesungguhnya setiap minggu cerita pendeknya pasti terpajang di mading sekolah. Sesekali ia kirimkan tulisannya ke sebuah majalah nasional meskipun tak juga pernah dimuat.
            Selepas dari SMA Galang memberanikan diri untuk masuk di perguruan tinggi sambil bekerja. Tapi baru sebulan merasakan bangku kuliah ia putuskan untuk berhenti. Kuliah dianggap hanya membuang-buang waktu dan biaya. Kemudian ia berangkat ke Ibu kota dan tinggal serumah dengan kakaknya. Di sanalah pengembaraan dunia fiksinya dimulai. Ia mulai merambah dunia novel. Novel pertama dan keduanya ia sodorkan ke penerbit. Tapi ditolak lantaran belum pernah punya tulisan yang dimuat harian atau majalah nasional. Kemudian ia fokuskan untuk membuat cerpen. Tapi belum juga mampu menembus pentas nasional. Seakan kurang puas ia mengunjungi dapur redaksi sebuah majalah secara langsung untuk mengetahui proses penyortiran sebuah kiriman tulisan.
            Adzan Subuh telah usai. Galang masih berpikir dan memutar otak. Memunculkan semua ingatannya tentang kiat-kiat menjadi penulis hebat. Meluapkan semua imajinasinya yang tak terbatas. Tubuhnya ia sandarkan pada kursi. Memejamkan mata. Sejenak bak orang ketiduran. Tapi bukan. Ia sedang berpikir. Ia bahkan tidak melihat makhluk bertanduk bak siluman di sekelilingnya yang kegirangan mendapati Galang telah lupa dengan sholatnya. Para syetan itu berpesta atas kemenangan mereka yang berhasil menggelincirkan Galang dalam sebuah semangat yang seolah-olah positif.
            Tiba-tiba wajah Galang berbinar. Matanya sedikit demi sedikit terbuka. Tangannya perlahan-lahan mengepal. Bak memperoleh sesuatu yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya.
            “Ya. Ini dia. Kenyataan sebuah cerita.” Galang membatin.
            Selama ini Galang menulis fiksi berdasarkan imajinasinya yang brilian. Semua kiat telah ia coba. Semua sisi kehidupan telah ia tuliskan. Tapi sama sekali belum pernah menuangkan tulisan berdasarkan kenyataan. Kenyataan yang ia alami sendiri. Ia yakin bahwa penokohan Fahri dalam Ayat-ayat Cinta ialah sosok Habiburrahman El Shirazy itu sendiri. Penokohan Ikal dalam Laskar Pelangi ialah sosok Andrea Hirata itu sendiri. Penokohan Alif dalam Negeri Lima Menara ialah Ahmad Fuadi itu sendiri. Dan seterusnya.
            “Baiklah. Akan kutulis sebuah kenyataan” pekiknya yakin.
            Tangan Galang kembali menggerayangi tuts-tuts keyboard. Ia ketik huruf demi huruf, kata demi kata penuh yakin. Sampai kemudian terdengar ketukan pintu.
            “Galang!” sebuah suara memanggil.
            Galang tidak menjawab. Ia diam seribu bahasa. Diam dalam sebuah rencana.
            “Galang! Apa kamu masih tidur?” sekali lagi suara itu memanggil.
            Galang tidak juga mengeluarkan suara. Ia sangat hafal si pemilik suara itu. Tiap pagi dan sore.
            “Galang! Ini kopinya sudah jadi. Kakak masuk ya!” ketiga kalinya suara Lala, kakaknya Gilang, memanggil.
            Pintu berderit dibuka oleh Lala. Ia menebarkan pandangan. Mencari-cari adiknya yang sedang kesetanan dengan dunia menulis. Di depan komputer. Tidak ada. Di atas kasur. Juga tidak ada.
            “Ah. Barangkali baru bangun tidur dan mengambil air wudhu untuk sholat Subuh” pikirnya.
            Lala mendekat ke meja komputer meletakkan secangkir kopi hangat untuk adiknya. Tanpa sengaja tangannya menyenggol mouse yang masih hidup. Seketika monitor menyala, menyinarkan cahaya. Ada sebuah tulisan. Sebuah judul dalam bentuk huruf kapital. Ia baca tulisan itu.
“MISTERI PEMBUNUHAN BERSAUDARA”.
Belum selesai Lala membaca tulisan itu tiba-tiba ia merasakan sakit di kepalanya yang teramat sangat. Dalam remang-remang ia sempat melihat Galang berdiri sesaat sebelum mendapati dirinya telah terkulai di lantai dengan darah segar yang mengalir dari otaknya. Lala pun menghembuskan nafas terakhir di sebelah pecahan guci yang menjadi saksi atas kematiaannya. Sementara syetan-syetan menepuki pundak Galang seolah merayakan kemenangannya.
* * *

            Pagi itu hari Sabtu pukul tujuh kediaman Lala dipenuhi polisi. Galang ditangkap dengan tanpa perlawanan. Minggu pagi warta Nasional menuliskan headline tentang pembunuhan bersaudara dengan tersangka Galang sebagai pembunuh. Sementara di halaman paling belakang pada rubrik cerpen memuat sebuah judul “Misteri Pembunuhan Bersaudara” oleh Galang Gumilang.
            Hari itu obsesi Galang akhirnya tercapai. Impiannya untuk menjadi penulis yang diakui secara nasional menjadi kenyataan. Senyata kisahnya yang suram. Obsesi yang mengendap selama bertahun-tahun kini telah meledak. Obsesi yang liar, yang belum sempat ia jinakkan.

06022013, bersama senja di tanah kelahiran.

Tidak ada komentar :