Dimuat di TABLOIT INSTITUT edisi XXIV/April 2013
Galang masih saja berkutat di depan komputer bututnya. Matanya tak henti-henti memandangi layar nan lusuh dan berdebu. Sementara jemarinya terus menempel di atas tuts-tuts keyboard hitam. Sesekali pandangannya mengarah ke kiri, ke kanan dan ke atas, menerawang arah fatamorgana. Ia terus memutar otak. Mencari kelemahan yang ada pada dirinya sehingga sesuatu yang ia citakan tak kunjung tercapai. Ia tak habis pikir dimana letak kekurangan dan kelemahannya?
Galang masih saja berkutat di depan komputer bututnya. Matanya tak henti-henti memandangi layar nan lusuh dan berdebu. Sementara jemarinya terus menempel di atas tuts-tuts keyboard hitam. Sesekali pandangannya mengarah ke kiri, ke kanan dan ke atas, menerawang arah fatamorgana. Ia terus memutar otak. Mencari kelemahan yang ada pada dirinya sehingga sesuatu yang ia citakan tak kunjung tercapai. Ia tak habis pikir dimana letak kekurangan dan kelemahannya?
Di
sisi kirinya berdiri saksi bisu, setumpuk buku tentang kiat-kiat menjadi
penulis novel dan cerita pendek. Tak kalah banyaknya, di sisi kanan puluhan
buku antologi cerpen dari berbagai penulis. Sementara di rak berjejer
karya-karya fenomenal novelis kenamaan dalam maupun luar negeri. Dari sampul
buku tampak Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih dan Bumi Cintanya
Habiburrahman El Shirazy. Di sebelahnya lagi berjilid-jilid Harry Potternya JK
Rolling. Nampak juga dibawahnya novel kenamaan dunia seperti Dunia Shopie, The
Da Vinci Code, Lord Of The Rings dan lain-lainnya. Sementara di paling ujung
terlihat nama-nama novelis Indonesia sekaliber Asma Nadia, Helvi Tiana Rosa,
Afifah Afra, Fahri Asiza, Dewi Dee Lestari, Ahmad Fuadi, Andrea Hirata dan Sequel
Gajah Madanya Langit Kresna Haryadi. Serta berjubel novel-novel lainnya.
Jarum
jam menunjuk angka empat pagi. Ini hari ketiga Galang tak keluar kamar sama
sekali. Tiga hari pula ia lupa mandi. Hanya sesekali membasuh muka dan gosok
gigi. Di bawah temaram lampu yang mulai meredup rambutnya tampak kusut tak
terawat. Matanya merah antara kelelahan, kurang tidur dan terlalu lama
memandangi monitor. Tidur terakhirnya adalah kemarin siang. Itupun tak lebih
dari dua jam. Semata-mata untuk menghilangkan lelah. Bajunya kumal dan sedikit
berbau peluh keringat.
Adzan Subuh menggema. Ah, bahkan sholat pun Galang acuhkan sejak seminggu yang lalu. Rupa-rupanya ia tak peduli lagi dengan semua urusan. Semua teman sementara ia tinggalkan. Kalaupun boleh dibilang teman ialah seperangkat komputer, secangkir kopi dan beberapa batang rokok. Benda-benda itu yang menemaninya tiga hari belakangan. Bahkan kakaknya yang serumah sekalipun tak sempat ia sapa walau sebentar. Paling-paling ketika kakaknya mengantarkan seseduh kopi kala pagi dan sore hari. Itupun dengan ekspresi dingin.
Galang
sedang kesetanan dengan dunia tulis menulis. Ratusan kali ia mengirim cerita
pendeknya ke berbagai majalah dan koran harian. Tapi tak satupun yang pernah
dimuat. Rupa-rupanya dia sedang dendam dengan dunia cerita. Dan dendam itu ia
ekspresikan dengan menulis sebanyak-banyaknya dan sebaik-baiknya. Sembari
membuka-buka buku lamanya tentang menjadi penulis best seller. Ia tidak
lantas menciutkan nyali dan memundurkan langkah. Justru semakin banyak karyanya
yang ditolak ia semakin tertantang dan menantang. Bahkan semakin memompa
semangatnya dan melecut obsesinya. Obsesi untuk menjadi penulis yang diakui di
kancah nasional maupun internasional. Obsesi yang perlahan-lahan menjadi liar.
Sejak
kecil Galang memang mahir mengarang cerita. Sejak masih di taman kanak-kanak ia
berkali-kali mengarang cerita dan melakonkannya di depan teman-teman. Ia
sendiri tidak tahu bakatnya itu mengalir dari siapa. Selain mengarang ia juga
gemar membaca kisah-kisah, terutama kisah para nabi. Dari sekian kisah yang
pernah ia baca ada satu kisah yang mengesankan baginya dan bahkan sampai hafal
secara detail. Ialah cerita tentang Nabi Sulaiman ketika berdialog dengan semut
dan burung Hud-hud. Ia belum mengerti tentang Nabi dan mu’jizat-mu’jizatnya
ketika itu. Ia hanya kagum dan heran dengan Nabi Sulaiman yang mampu berbicara
dengan hewan. Hanya karena itu. Tak lebih. Sampai kemudian ia pun gemar mengarang
cerita tentang persahabatan manusia dan hewan.
Galang
tak peduli dengan keadaan ekonomi keluarganya yang kurang mampu. Baginya ia
punya mimpi dan cita-cita. Dan ia yakin pasti akan mampu menggapainya. Ayah dan
ibunya hanyalah seorang petani. Petani yang taat, yang selalu mengajarkan kepada
anak-anaknya tentang kewajiban sholat lima waktu. Ia memiliki seorang saudara
perempuan yang kini telah menikah dan tinggal di Ibu kota.
Semenjak
masuk bangku sekolah menengah pertama bakat menulisnya mulai terasah. Ia
berkali-kali menulis cerita pendek dan sering memenangkan lomba meskipun hanya
tingkat sekolahnya sendiri. Karena itu pula ia mendapat beasiswa sehingga tidak
perlu memikirkan biaya lagi. Jiwa menulisnya semakin menjadi ketika masuk
bangku sekolah menengah atas. Ia bergabung di organisasi majalah sekolah. Maka
seakan menempati habitat yang sesungguhnya setiap minggu cerita pendeknya pasti
terpajang di mading sekolah. Sesekali ia kirimkan tulisannya ke sebuah majalah
nasional meskipun tak juga pernah dimuat.
Selepas dari SMA Galang memberanikan
diri untuk masuk di perguruan tinggi sambil bekerja. Tapi baru sebulan
merasakan bangku kuliah ia putuskan untuk berhenti. Kuliah dianggap hanya
membuang-buang waktu dan biaya. Kemudian ia berangkat ke Ibu kota dan tinggal
serumah dengan kakaknya. Di sanalah pengembaraan dunia fiksinya dimulai. Ia
mulai merambah dunia novel. Novel pertama dan keduanya ia sodorkan ke penerbit.
Tapi ditolak lantaran belum pernah punya tulisan yang dimuat harian atau
majalah nasional. Kemudian ia fokuskan untuk membuat cerpen. Tapi belum juga
mampu menembus pentas nasional. Seakan kurang puas ia mengunjungi dapur redaksi
sebuah majalah secara langsung untuk mengetahui proses penyortiran sebuah
kiriman tulisan.
Adzan Subuh telah usai. Galang masih
berpikir dan memutar otak. Memunculkan semua ingatannya tentang kiat-kiat
menjadi penulis hebat. Meluapkan semua imajinasinya yang tak terbatas. Tubuhnya
ia sandarkan pada kursi. Memejamkan mata. Sejenak bak orang ketiduran. Tapi
bukan. Ia sedang berpikir. Ia bahkan tidak melihat makhluk bertanduk bak
siluman di sekelilingnya yang kegirangan mendapati Galang telah lupa dengan
sholatnya. Para syetan itu berpesta atas kemenangan mereka yang berhasil
menggelincirkan Galang dalam sebuah semangat yang seolah-olah positif.
Tiba-tiba wajah Galang berbinar.
Matanya sedikit demi sedikit terbuka. Tangannya perlahan-lahan mengepal. Bak
memperoleh sesuatu yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya.
“Ya. Ini dia. Kenyataan sebuah
cerita.” Galang membatin.
Selama ini Galang menulis fiksi
berdasarkan imajinasinya yang brilian. Semua kiat telah ia coba. Semua sisi
kehidupan telah ia tuliskan. Tapi sama sekali belum pernah menuangkan tulisan
berdasarkan kenyataan. Kenyataan yang ia alami sendiri. Ia yakin bahwa
penokohan Fahri dalam Ayat-ayat Cinta ialah sosok Habiburrahman El Shirazy itu
sendiri. Penokohan Ikal dalam Laskar Pelangi ialah sosok Andrea Hirata itu
sendiri. Penokohan Alif dalam Negeri Lima Menara ialah Ahmad Fuadi itu sendiri.
Dan seterusnya.
“Baiklah. Akan kutulis sebuah
kenyataan” pekiknya yakin.
Tangan Galang kembali menggerayangi
tuts-tuts keyboard. Ia ketik huruf demi huruf, kata demi kata penuh yakin.
Sampai kemudian terdengar ketukan pintu.
“Galang!” sebuah suara memanggil.
Galang tidak menjawab. Ia diam seribu
bahasa. Diam dalam sebuah rencana.
“Galang! Apa kamu masih tidur?”
sekali lagi suara itu memanggil.
Galang tidak juga mengeluarkan
suara. Ia sangat hafal si pemilik suara itu. Tiap pagi dan sore.
“Galang! Ini kopinya sudah jadi.
Kakak masuk ya!” ketiga kalinya suara Lala, kakaknya Gilang, memanggil.
Pintu berderit dibuka oleh Lala. Ia
menebarkan pandangan. Mencari-cari adiknya yang sedang kesetanan dengan dunia
menulis. Di depan komputer. Tidak ada. Di atas kasur. Juga tidak ada.
“Ah. Barangkali baru bangun tidur
dan mengambil air wudhu untuk sholat Subuh” pikirnya.
Lala mendekat ke meja komputer
meletakkan secangkir kopi hangat untuk adiknya. Tanpa sengaja tangannya
menyenggol mouse yang masih hidup. Seketika monitor menyala, menyinarkan
cahaya. Ada sebuah tulisan. Sebuah judul dalam bentuk huruf kapital. Ia baca tulisan
itu.
“MISTERI
PEMBUNUHAN BERSAUDARA”.
Belum
selesai Lala membaca tulisan itu tiba-tiba ia merasakan sakit di kepalanya yang
teramat sangat. Dalam remang-remang ia sempat melihat Galang berdiri sesaat
sebelum mendapati dirinya telah terkulai di lantai dengan darah segar yang
mengalir dari otaknya. Lala pun menghembuskan nafas terakhir di sebelah pecahan
guci yang menjadi saksi atas kematiaannya. Sementara syetan-syetan menepuki
pundak Galang seolah merayakan kemenangannya.
* * *
Pagi itu hari Sabtu pukul tujuh
kediaman Lala dipenuhi polisi. Galang ditangkap dengan tanpa perlawanan. Minggu
pagi warta Nasional menuliskan headline tentang pembunuhan bersaudara
dengan tersangka Galang sebagai pembunuh. Sementara di halaman paling belakang
pada rubrik cerpen memuat sebuah judul “Misteri Pembunuhan Bersaudara” oleh
Galang Gumilang.
Hari itu obsesi Galang akhirnya
tercapai. Impiannya untuk menjadi penulis yang diakui secara nasional menjadi
kenyataan. Senyata kisahnya yang suram. Obsesi yang mengendap selama
bertahun-tahun kini telah meledak. Obsesi yang liar, yang belum sempat ia jinakkan.
06022013,
bersama senja di tanah kelahiran.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar