Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku
(seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh ۞ Maka Kami beri dia khabar
gembira dengan seorang anak yang amat sabar ۞ Maka tatkala anak itu sampai
(pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai
anakku! Sesungguhnya Aku melihat dalam mimpi bahwa Aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa
pendapatmu!" ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang sabar". ۞ Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas
pelipis(nya), (nyatalah kesabaran keduanya ). ۞ Dan Kami panggillah dia: "Hai
Ibrahim, ۞ Sesungguhnya kamu Telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah kami memberi balasan
kepada orang-orang yang berbuat baik. ۞ Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang
nyata. ۞ Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. ۞ Kami
abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang
datang kemudian,
۞ (Yaitu) "Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim". ۞
Demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. ۞
Sesungguhnya ia termasuk hamba-hamba kami yang beriman. ۞ (QS. Ash-Shaffaat :
100-111)
Istimewa memang, Islam memiliki banyak hari-hari besar dibandingkan agama-agama
lain. Mulai dari Idul Fitri, Idul Adha, Tahun Baru Hijriyah, Maulid Nabi SAW,
Isra' Mi'raj dan Bulan Ramadhan. Setiap tahun kita umat Islam diingatkan dan
merayakan Hari Raya Idul Adha berikut semarak dan spirit kehambaan yang dibawanya.
Idul Adha secara harfiyah mengandung arti kembali kepada pengorbanan.
Ada pula yang menyebutnya Idul Qurban yang berarti kembali mendekatkan diri
kepada Allah. Idul Adha dan Idul Fitri tidak ada perbedaan dalam hal
keterkaitannya dengan ibadah. Bedanya, esensi Idul Fitri diaktualisasikan
sebelumnya dengan berpuasa selama sebulan penuh. Sedangkan Idul Adha tercermin
sesudahnya dengan menyembelih hewan Qurban sebagai simbol pendekatan dan
kehambaan diri kepada Allah SWT. Sebagaimana wujud totalitas penghambaan
seorang Nabi Ibrahim AS ketika mendapat intruksi dari Tuhannya.
Sungguh merupakan penghambaan dan kepasrahan yang tidak logis manakala Ibrahim
mendapat mandat dari Allah untuk menyembelih anaknya sendiri, yaitu Ismail AS.
Betapa beratnya seorang bapak harus menyembelih anak sholeh yang merupakan
wujud terkabulnya pinta doa yang selama ini dipanjatkannya kepada Allah SWT.
Namun, atas kesadaran seorang hamba yang harus melaksanakan perintah Tuhannya,
maka dengan segala penuh penghambaan dan kepasrahan Nabi Ibrahim mendekatkan
diri kepada Allah dengan menyembelih anaknya. Meskipun pada akhirnya Allah
menggantinya dengan seekor domba dari surga, sebagaimana terukir dalam
Al-Qur'an yang penulis sebut di atas.
Peristiwa besar inilah yang melatarbelakangi tercetusnya yaumun nahr
atau hari penyembelihan yang jatuh pada tanggal 10 Dzul Hijjah. Hingga pada
hari ini kita merayakannya setiap tahun dengan tajuk Hari Raya Idul Adha. Dan
sebagai wujud simbolis pendekatan diri kepada Allah kita disunnahkan
menyembelih hewan Qurban hingga tiga hari berikutnya. Pertanyaanya kemudian,
apa pelajaran-pelajaran yang dapat kita ambil dari hari besar ini untuk
diinternalisasikan dalam hati dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari?
Ataukah hanya akan menjadi ritual tahunan yang tanpa ada efek peningkatan
kualitas keimanan hamba?
Sudah barang tentu dibalik setiap peristiwa tersimpan hikmah. Sejalan dengan
hal itu, banyak pesan-pesan moral yang dibawa oleh Nabi Ibrahim dan Ismail yang
relevan dengan kondisi umat Islam kekinian:
Pertama, Berpasrah diri tanpa beban apapun
ketika hendak disembelih oleh ayahnya, Ibrahim As. Demikian sikap seorang Nabi Isma'il
As. Sebuah sifat tawadhu' yang tinggi dari seorang anak yang rela
melakukan apapun yang dikehendaki sang ayah semata-mata karena perintah Allah.
Maka sudah sepatutnya bagi kita untuk senantiasa tawadhu' kepada orang
tua, guru-guru, atasan dan pemimpin-pemimpin kita. Karena dari sifat yang
demikian itu mengalir berkah, rahmat dan peningkatan derajat yang tinggi pada
diri pribadi. Dan paling tidak diri kita akan terbebas dari sifat takabbur,
riya' dan merasa paling benar. Sehingga perjalanan hidup ini terasa damai,
saling hormat-menghormati tanpa ada kecurigaan, penyelewengan dan saling
menjatuhkan hanya karena ingin merasa paling hebat.
Kedua, Ibrahim merupakan nabi dan kekasih
Allah. Maka beliau segera menunaikan manakala diperintah oleh Kekasihnya untuk
menyembelih anaknya sendiri agar lebih dekat dengan-Nya. Oleh karenanya, mutlak
bagi kita untuk menyerahkan sepenuhnya segala apa yang kita miliki bila ingin
lebih dekat dengan kekasih, yaitu Allah, sekalipun sesuatu yang kita cintai.
Semua kita adalah milik Allah dan kepada-Nya semua akan kembali. Dan percayalah
bila mana Allah sedang menguji dengan bencana yang meniadakan sesuatu yang kita
cintai, sejatinya merupakan bentuk kasih sayang-Nya untuk semakin mendekatkan
diri kepada-Nya serta meningkatkan derajat keimanan. Maka jangan pernah lepas
dari iman terhadap-Nya dan memohon pertolongan dari-Nya.
Ketiga, Allah menempatkan manusia sebagai
makhluk termulia di sisi-Nya. Sehingga ketika Ibrahim hendak menyembelih
Isma'il, Allah menggantinya dengan seekor binatang domba. Dengan demikian
manusia yang hina adalah mereka yang berperilaku layaknya binatang.
Sesungguhnya Allah menjadikan isi neraka jahannam kebanyakan dari mereka
yang mempunyai hati tapi tidak digunakan untuk memahami, mempunyai mata tapi
tidak dipergunakan untuk melihat, mempunyai telinga tapi tidak dipergunakan
untuk mendengar. Mereka itulah yang seperti binatang, bahkan lebih sesat. Sebab
mereka tidak menempatkan anugerah Allah pada sistem yang semestinya. Sehingga
cenderung menjadi manusia yang dholim dan munafiq. Sebuah renungan bagi kita adalah momentum untuk
menyembelih ego dan sifat-sifat kebinatangan yang masih tersisa dalam diri.
Sifat kebinatangan yang tega membinatangkan orang lain dan membelenggu
kebaikan.
Keempat, Menyembelih Qurban termasuk
tindakan yang disunnahkan Allah bagi mereka yang mampu pada hari raya Idul
Adha. Pada saat yang sama daging-daging Qurban yang disembelih selanjutnya
dibagi-bagikan untuk fakir
miskin. Maka termasuk dari bagian semangat Idul Adha adalah ketika kita
diajarkan untuk menjadi hamba yang sosialis. Hamba yang senantiasa melihat
keadaan sosial di kanan-kirinya dengan berbagi. Pada saat itu, secara tidak
sadar aplikasi syukur sedang kita amalkan, sekaligus menjadi hamba yang
menolong orang lain dengan mengurangi beban hidupnya. Maka ingatlah janji Allah yang akan menambah
rizki bagi mereka yang bersyukur.
Kelima, Amat banyak pesan-pesan moral yang
tersirat dibalik prosesi penyembelihan hewan Qurban di hari Idul Adha. Tak
terkecuali di tiap tetesan darah yang mengalir bersama tajamnya pisau. Dengan
penuh kepasrahan dan kesiapan hewan tersebut merelakan cucuran darah mengalir
semata-mata untuk memenuhi perintah penciptanya. Kelak di kemudian hari kita
juga harus rela dan siap bila mana tumpah darah kita menjadi pertaruhan demi
membela agama maupun bangsa. Semua itu sebagai wujud rasa nasionalisme dan
kecintaan pada tanah air. Sebuah maqolah berkata 'cinta tanah air
sebagian dari iman'.
Tidak terhitung lagi pesan-pesan Nabi Ibrahim dan Isma'il melalui Idul Adha.
Semua itu bagian dari bunga-bunga ibadah dalam rangka mendekatkan diri kepada
Allah Sang Maha Pencipta. Ironisnya, dewasa ini esensi daripada Idul Adha itu
sendiri sudah mulai tercerabut dari akarnya. Kondisi riil umat lebih banyak
mengambil sisi simbolis-ritualnya yang tertuang dalam penyembelihan Qurban.
Sedangkan wilayah substansial berupa wujud peningkatan derajat penghambaan dan
kepasrahan sampai titik puncak sebagaimana Ibrahim dan Isma'il lebih banyak
terabaikan.
Semoga moment Idul Adha tahun ini semakin meningkatkan kualitas keimanan kita
kepada Rabb. Bersama-sama mari kita bertekad untuk belajar mendisiplinkan diri
hanya untuk hal kebaikan semata.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar