Selamat Datang di Dunia olient_online

Selamat Datang di Dunia Mini olient_online

Jumat, 14 April 2017

Bijak Menyikapi Hoax


Belakangan ini, masyarakat Indonesia ramai membincangkan hoax atau berita palsu. Isu ini telah meresahkan banyak pihak, sampai-sampai pemerintah membentuk satuan tugas pemberantas hoax. Saat ini, hoax sedang menemukan momentumnya dalam kontes politik pemilihan kepala daerah, dimana semua pasangan calon sedang disorot sosoknya. Ketika itu hoax-hoax bertebaran dengan cara menjunjung setinggi langit calon yang didukungnya atau menjatuhkan martabat lawan politiknya.
Selain karena menjamurnya pemakai media sosial, setidaknya hoax tumbuh subur seiring dengan keberadaan para produsennya yang rela menggadaikan harga diri demi memperoleh receh yang tidak seberapa. Kepandaiannya dalam menulis berita dan mem-viral-kannya di dunia maya digunakan untuk menciptakan kabar-kabar pujian kepada calon yang didukungnya atau mengumbar keburukan lawan politiknya tanpa dasar kebenaran dan fakta lapangan.
Sayangnya, kabar hoax tersebut lalu dikonsumsi oleh orang-orang yang terlanjur fanatis mendukung calon tertentu dan membenci calon yang lain. Sehingga mereka menelan mentah-mentah berita yang diterima tanpa mau mengetahui kebenaran sesungguhnya. Imbasnya, kecintaan mereka terhadap sosok yang didukung semakin tinggi seiring dengan kebencian yang semakin membuta terhadap lawan politiknya. Untuk mengekspresikan perasaan tersebut, mereka membagikan berita-berita hoax di akun media sosialnya.
Maka menyebarlah berita-berita bohong tersebut dan menggelinding dari satu dinding ke dinding yang lain, dari satu grup ke grup yang lain. Fitnah pun merajalela tak berkesudahan dan salah satu pihak menuai keuntungan dari hal itu. Sementara pihak lain harus menelan kerugian dari pemberitaan sosoknya yang tidak valid.
Problem berita hoax sebenarnya telah lama ada, bahkan sejak awal sejarah umat manusia. Nabi Adam as., sebagai bapaknya umat manusia, pernah termakan kabar hoax dari Iblis. Sebagaimana kita tahu, pada awal mula Allah Swt. memperkenan Adam dan istrinya, Hawa, untuk tinggal di surga serta menikmati seluruh hidangan yang ada di sana, kecuali dari satu pohon. Bahkan Allah melarang mereka mendekati pohon tersebut. Allah Swt. tidak merinci secara jelas nama pohon tersebut, namun dari dialog Iblis diketahui bahwa pohon tersebut bernama khuldi.
Pasca pelarangan Allah Swt. tersebut, Iblis diam-diam membisikan berita hoax kepada Nabi Adam dan istrinya seraya bersumpah. Dikatakan bahwa pelarangan memakan buah khuldi bagi Adam dan istrinya dikarenakan hal itu akan merubah status mereka menjadi malaikat atau akan menjadikan mereka hidup kekal di surga. Karenanya Allah Swt. melarang mereka melakukan hal tersebut.
Rupanya Nabi Adam as. dan Hawa termakan tipuan Iblis. Mereka akhirnya mendekati pohon khuldi dan memakan buahnya. Puncaknya, Allah swt. menurunkan mereka ke bumi. Kisah ini diabadikan dalam QS. Thoha: 19-21. Pada masa Rasulullah Saw., berita hoax juga pernah dihembuskan oleh orang-orang munafik: Abdullah bin Ubay, Hasan bin Tsabit, Misthah bin Utsatsah, dan Hamnah bintu Jahsy. Mereka dengan sengaja menebar fitnah perselingkuhan Aisyah ra. dengan salah seorang sahabat bernama Shafwan bin al-Mu’aththal, sepulang dari perang Bani Mustholiq. Kabar bohong itu menyebar ke telinga para sahabat. Hingga Nabi pun hampir terhasut olehnya, sebelum pada akhirnya turun ayat yang membantah kabar dusta yang terlanjur berhembus itu. Peristiwa ini populer dengan sebutan hadits al-ifki.
Nabi Saw. sendiri mengecam tindakan pemberitaan hoax, terlebih jika hal itu disandarkan pada dirinya. Memang beliau memerintahkan para sahabat untuk menyampaikan kepada yang lain apa yang berasal darinya walaupun hanya satu ayat al-Quran. Namun, pada saat yang sama beliau mengecam bagi siapa saja yang berani mendustakan sesuatu kepadanya dengan sengaja, maka neraka telah dipersiapkan untuk orang tersebut. (lihat HR. Bukhari)
Karenanya, berhati-hatilah dengan berita hoax. Jangan sampai kita menjadi bagian dari orang yang termakan olehnya, lebih-lebih andil menyebarkannya atau bahkan membuatnya. Marilah kita cerdas dan cermat menyikapi setiap berita yang datang. Bijak menyikapi hoax menjadi penting pada hari ini, dimana hal itu akan menghindarkan kita dari kebencian yang membabi buta terhadap seseorang atau kecintaan berlebihan seolah tanpa cela.
Ada banyak teladan Nabi saw. dalam menyikapi setiap berita yang datang. Dalam konteks hari ini, teladan tersebut penting untuk diamalkan. Mula-mula saringlah setiap berita yang menghampiri kita dengan menguji validitasnya. Al-Quran mengajarkan kita untuk ber-tabayun (memeriksa kebenaran) manakala seseorang datang membawa suatu berita (lihat QS. Al-Hujurat: 6). Jangan terburu-buru menyebarkan kabar di media sosial, sebelum kita dapat memastikan kebenarannya. Tabayun ini penting guna menghindarkan diri dari memfitnah orang lain. Karena, kabar yang valid sekalipun, rawan untuk diplintir oleh orang yang memberitakan, sehingga pemahamannya pun berbeda dari maksud orang yang diberitakan. Apalagi jika kabar tersebut palsu.
Para ulama hadis memiliki formulasi tersendiri dalam menguji validitas setiap hadis yang mereka terima. Apakah hadis tersebut benar adanya berasal dari Nabi atau jangan-jangan hoax? Untuk mengetahui hal itu mereka menerapkan lima hal sebagai prasyarat diterimanya sebuah hadis: ketersambungan sanad, rawinya memiliki integritas (adil) dan kapasitas intelektual kognitif (dhabit), hadisnya tidak janggal (syadz) dan tidak terkena cacat (illat).
Memang, tidak sepenuhnya tepat jika kita menggunakan metode kritik hadis tersebut untuk menguji validitas berita hoax yang beredar akhir-akhir ini. Namun, setidaknya terdapat spirit yang bisa kita ambil dari metode itu. Dalam konteks pemberitaan tentang seseorang yang masih hidup, kita dapat ber-tabayun langsung kepada orangnya sekedar memastikan validitasnya. Atau kita lihat sumbernya, apakah dari orang atau media yang memiliki integritas dan rekam jejak yang baik? Sehingga apa yang ia kabarkan dapat dipertanggungjawabkan.
Jika berita tersebut hoax, segera buanglah ke tong sampah dan jangan sekali-sekali memungutnya apalagi menyebarkannya. Namun, jika berita tersebut valid, langkah selanjutnya adalah memeriksa konten beritanya. Jika berita tersebut berisi kebaikan, maka baik pula bagi kita untuk membagikan atau mempublikasikan kepada sesama, sehingga pembaca memperoleh kemanfaatan darinya dan kita menuai pahala karenanya. Namun jika berita tersebut berisi hal buruk, maka menahan diri untuk tidak mempublikasikannya adalah sikap yang bijak, agar kita tidak jatuh pada wilayah ghibah (menggunjing).
Suatu ketika Rasulullah Saw. bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian, apakah ghibah itu?”
Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.”
Kemudian Rasulullah Saw. bersabda, “Ghibah adalah ketika kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.”
Ketika itu seorang sahabat merasa keberatan seraya bertanya, “Ya Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan?”
Rasulullah Saw. pun menjawab, “Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu ada padanya, maka berarti kamu telah menggunjingnya. Dan apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah membuat-buat kebohongan terhadapnya.” (HR. Muslim)
Demikianlah teladan Rasulullah Saw. dalam menyikapi berita. Betapapun kita harus cerdas dan bijak menyikapi berita yang datang. Jangan mudah terprovokasi oleh kabar yang beredar, lalu lupa menguji kebenarannya. Dan jangan mudah mempublikasikan sesuatu yang tidak baik meskipun faktual. Nabi Saw. mengajarkan kita untuk berkata baik, atau jika tidak bisa maka lebih baik diam. (HR. Bukhari dan Muslim). Demikian halnya kita hendaknya memublikasikan kebaikan, namun jika tidak bisa maka menahan diri itu lebih baik.
Hanya saja, seringkali kita terbawa hawa nafsu untuk mengomentari atau mempublikan segala isu. Terlebih jika diri kita sudah dihinggapi virus kebencian terhadap seseorang, maka apapun yang berisi keburukan orang tersebut dengan mudah kita umbar di media sosial, tanpa mau memastikan kebenarannya terlebih dahulu. Jika sudah demikian, tidakkah lebih baik menahan diri?
Ada baiknya kita renungi ucapan Bisyr bin Harits ketika ditanya seseorang, “kapan aku harus diam dan kapan aku harus bicara?”. Beliau menjawab, “jika anda berhasrat bicara, maka diamlah, dan jika anda berhasrat diam, maka bicaralah!”. Wallahu a’lam.

Jumat, 07 April 2017

Mempersiapkan Kematian


Kematian merupakan keniscayaan bagi setiap yang berjiwa. Demikian adanya Al Quran mengabarkan tentang kematian.
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَمَنْ زُحْزِحَ عَنِ النَّارِ وَأُدْخِلَ الْجَنَّةَ فَقَدْ فَازَ وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلاَّ مَتَاعُ الْغُرُورِ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran: 185)
Ayat senada juga termaktub dalam surat Al Anbiya’ dan Al Ankabut:
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ وَنَبْلُوكُم بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan(yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan.” (QS. Al Anbiya’: 35)
كُلُّ نَفْسٍ ذَآئِقَةُ الْمَوْتِ ثُمَّ إِلَيْنَا تُرْجَعُونَ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.” (QS. 29:57)
Oleh para mufassir ayat di atas dimaknai sebagai sebuah kabar yang mencakup atas semua makhluk bahwa setiap mereka pasti merasakan kematian. Jika ditinjau dari pendekatan ilmu nahwu, kata “Kullu Nafs” pada ayat di atas berbentuk isim nakiroh yang berarti umum. Itu artinya semua makhluk baik manusia, jin, malaikat, dan lainnya akan merasakan kematian tanpa terkecuali. Hanya satu yang tidak akan mengalami kematian, yaitu Allah Swt. Sedangkan semua makhluk hidup semuanya akan binasa, sebagaimana dunia yang kelak akan musnah. Semuanya akan kembali kepada-Nya dan dimintai pertanggung jawaban.
Disadari atau tidak kematian menjadi salah satu fenomena kehidupan yang sering kita temui di sekitar kita. Sejak dahulu hingga sekarang seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, kematian tetaplah menjadi misteri yang akan selamanya sulit untuk dipahami apalagi dihindari. Kemampuan manusia tidak akan dapat mengetahui kapan seseorang menemui ajalnya. Allah Swt hanya memberikan tanda-tanda seperti memutihnya rambut, melemahnya fisik, dan bungkuknya badan. Semaju apapun ilmu pengetahuan dan secanggih apapun teknologi modern tidak akan mampu menyibak misteri dibalik kematian. Selamanya yang namanya ajal kematian akan menjadi rahasia Allah Swt dan merupakan takdir yang tidak bisa dipercepat ataupun ditangguhkan. Allah berfirman:
وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذا جاءَ أَجَلُهُمْ لا يَسْتَأْخِرُونَ ساعَةً وَلا يَسْتَقْدِمُونَ
“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. AL A’rof: 34)
Namun yang perlu diketahui bahwa kematian bukan akhir dari segalanya, tapi hanyalah pintu untuk masuk ke alam kehidupan selanjutnya. Sebuah kehidupan abadi dimana manusia tak lagi punya hak memilih jenis kehidupan yang akan ia jalani seperti saat di dunia. Di alam akhirat, ia hanya bisa menerima keputusan Sang Pengadil: hidup dalam nikmat selamanya atau sengsara selamanya.
Pintu tersebut bernama sakaratul maut, di mana siapapun akan merasakan kesakitan ketika melewatinya. Pintu itu menjadi penentu nasib bagi mereka. Jika ia mampu melaluinya dengan baik, maka kenikmatan abadi siap menyambutnya. Namun bila sebaliknya, maka azab pedih akan senantiasa menjadi temannya sejak di alam kubur. Karenanya, dapat dipahami jika sebagian orang teramat takut dengan kematian.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa kematian hanyalah pintu dan bukan menjadi akhir dari segalanya. Dari itu, seyogyanya kita tidak merisaukan dan merasa takut dengan datangnya kematian. Justru yang perlu menjadi catatan ialah bekal apa yang akan kita bawa ketika melewati pintu tersebut? Sudahkah cukup untuk menjadi penghidup bagi kehidupan selanjutnya? Apakah amal baik kita akan menghapus catatan buruk? Ataukah amal buruk kita justru mengotori catatan baik?
Allah Swt dalam salah satu ayat menginformasikan tentang wasiat Nabi Ya’qub as kepada anak-anaknya:
وَوَصَّى بِهَآإِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبَ يَابَنِيَّ إِنَّ اللهَ اصْطَفَى لَكُمُ الدِّينَ فَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ
“Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya’kub. (Ibrahim berkata):”Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam”. (QS. Al Baqarah: 132)
Maka dari sini, hendaknya setiap saat kita mempertebal keimanan serta ketakwaan kita agar keislaman yang kita peluk selalu melekat dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga jika sewaktu-waktu kematian datang, semoga kita melewatinya dalam keadaan Islam dan husnul khatimah. Maka hal yang perlu kita lakukan ialah mengevaluasi segala amal setiap hari. Untuk itu, Rasulullah Saw berpesan agar kita senantiasa mengingat akhirat atau kematian. Karena dengan mengingat kematian kita akan mengerti akan makna kehidupan.
Kecenderungan yang ada dewasa ini, manusia makin giat mengumpulkan harta. Mareka berlomba-lomba mengais kekayaan dan bermewah-mewahan. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kekayaan. Akan tetapi jika itu mengalihkan kita pada kecenderungan cinta dunia, maka perhatian terhadap kehidupan akhirat sedikit demi sedikit terlupakan. Di sisi lain, manusia teramat takut dengan kematian. Mati yang mau tidak mau akan menghampiri seolah menjadi sesuatu yang menakutkan. Entah karena merasa belum cukup bekal atau belum ada kesadaran untuk menerima datangnya kematian. Kecenderungan ini telah diprediksi jauh-jauh hari oleh Rasulullah Saw. bahwa kelak umat Islam akan sangat rapuh dan mudah diperdaya. Beliau bersabda:
“Hampir-hampir bangsa-bangsa memperebutkan kalian (umat Islam), layaknya memperebutkan makanan yang berada di mangkuk.” Seorang laki-laki berkata, “Apakah kami waktu itu berjumlah sedikit?” beliau menjawab: “Bahkan jumlah kalian pada waktu itu sangat banyak, namun kalian seperti buih di genangan air. Sungguh Allah akan mencabut rasa takut kepada kalian, dan akan menanamkan ke dalam hati kalian Al wahn.” Seseorang lalu berkata, “Wahai Rasulullah, apa itu Al wahn?” beliau menjawab: “Cinta dunia dan takut mati.” (HR. Abu Dawud)
Komaruddin Hidayat dalam buku “Psikologi Kematian” mensinyalir keengganan manusia untuk menjemput kematiannya disebabkan, setidaknya dua hal. Pertama, manusia terlanjur dimanjakan dengan aneka kenikmatan duniawi yang telah dipeluknya erat-erat. Kedua, sifat kematian yang misterius. Kematian ditakuti karena manusia tidak tahu persis apa yang akan terjadi setelah kematian itu.
Kematian dengan demikian menjadi misteri kehidupan yang mendebarkan, bahkan menakutkan. Bagi kaum eksistensialis, kematian adalah suatu derita dan musuh bebuyutan yang terlalu tangguh untuk dikalahkan. Prestasi akal budi manusia yang telah melahirkan peradaban iptek super canggih tetap tidak akan pernah mampu menelusuri jejak malaikat maut. Anehnya, tidak sedikit manusia justru merasa enggan mati dan berusaha ekstra memperpanjang sisa hidupnya.
Dalam pandangan Komaruddin Hidayat, keyakinan dan ketidakyakinan manusia bahwa setiap saat kita bisa dijemput kematian memiliki pengaruh besar dalam kehidupan seseorang. Begitu pula dengan keyakinan adanya kehidupan setelah kematian. Dengan harapan memperoleh kebahagiaan di akhirat, misalnya, maka raja-raja Mesir membangun Piramida dengan pucuknya runcing dan menjulang ke langit agar memudahkan perjalanan arwahnya menuju surga.
Islam secara tegas mengajarkan bahwa tiada seorang pun yang bisa menemani dan menolong perjalanan arwah kecuali akumulasi amal kebaikan kita sendiri. Kenikmatan dan gemerlap kehidupan duniawi hanyalah sementara dan akan ditinggalkan. Tidak ada bekal yang berharga bagi kelanjutan perjalanan hidup manusia kecuali amal kebaikan yang telah terekam dalam catatan malaikat, yang nantinya akan memperoleh balasan di akhirat.
Pada akhirnya, kematian adalah keniscayaan yang harus kita persiapkan. Kemanapun kita menghindar kematian akan menghampiri ketika ajal telah tiba.
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِككُّمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ وَإِن تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِن عِندِ اللهِ وَإِن تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُوا هَذِهِ مِنْ عِندِكَ قُلْ كُلٌّ مِّنْ عِندِ اللهِ فَمَالِ هَؤُلآَءِ الْقَوْمِ لاَيَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثًا
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh, dan jika memperoleh kebaikan, mereka mengatakan:”Ini adalah dari sisi Allah”, dan kalau mereka ditimpa sesuatu bencana mereka mengatakan:”Ini (datangnya) dari sisi kamu (Muhammad)”. Katakanlah: “Semuanya (datang) dari sisi Allah”. Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun.” (QS. An Nisa’: 78)

Minggu, 02 Oktober 2016

Belajar dari Kyai Sahal; Memperlakukan Kitab Kuning


Tulisan ringan ini saya persembahkan untuk Kyai Sahal Mahfudh dalam rangka memperingati 1000 hari wafatnya beliau. Karenanya, mari kita hadiahkan bacaan al-Fatihah terlebih dahulu sebelum memulainya.
Setahun belakangan ini saya gemar sekali mengunduh pdf kitab-kitab karya ulama masa lampau. Saya belum tahu kapan akan membaca pdf-pdf tersebut. Yang pasti, sayang kalau kesempatan memiliki kitab-kitab versi pdf ini terlewatkan, mengingat ketidakmampuan membeli versi cetaknya. Terlebih banyak dari kitab-kitab tersebut yang jarang ditemukan di pesantren-pesantren. Sebagiannya telah sejak lama saya dengar namanya meskipun belum pernah melihat fisiknya. Sebagian lagi belum pernah saya dengar sekalipun.
Kitab-kitab karya ulama masa lampau atau yang populer di pesantren dengan sebutan ‘kitab kuning’ sangatlah banyak jumlahnya. Keilmuan yang multisidiplin di atas rata-rata yang dimiliki para ulama masa lampau turut mendukung pesatnya produktifitas menulis karya. Tidak jarang dari tangan satu ulama lahir ratusan kitab. Sangat sulit sekali menemukan padanannya di era sekarang. Hampir-hampir mustahil di zaman ini menemukan seorang Imam Suyuthi yang konon memiliki 600-an karya.
Sebagian orang mungkin tidak berminat membaca kitab-kitab jadul itu. Zaman telah berubah jauh dan apa yang tertuang dalam kitab kuning tidak lagi relevan. Namun bagi sebagian yang lain kitab-kitab itu sangatlah menarik. Banyak dari buah pemikiran orisinil ulama lampau yang masih layak pakai. Terlepas dari itu, ijtihad mereka yang terserak dalam ribuan karya merupakan warisan keilmuan Islam yang sayang kalau tidak dibaca.

Membaca Kitab Kuning
            Bagaimanapun, kitab-kitab kuning menjadi ‘sanad’ dan ‘wasilah’ kita, khususnya dalam beragama. Tanpanya kita tidak akan punya akses mengetahui dasar dan praktik ibadah dari sumber induk. Dan tanpanya kita tidak akan mampu membuktikan kebenaran praktik agama yang kita jalani.
            Pertanyaannya, bagaimana kita bisa memercayai kebenaran isi kitab-kitab itu? Bukankah bisa-bisa saja pengarangnya menulis informasi palsu? Atau jangan-jangan kitab yang kita baca adalah tulisan orang lain yang dinisbatkan kepada ulama terkenal?
            Terkait hal ini Syeikh Ali Jum’ah mengingatkan agar kita mempercayai kebenaran turats-turats itu terlebih dahulu sebelum mendalami isinya. Upaya yang dapat ditempuh ialah dengan berguru dan mengambil sanad yang menyambungkan kita dengan penulisnya. Jika sudah demikian maka langkah selanjutnya ialah memahami isi kitab tersebut dan bagaimana memperlakukannya.
            Pada kenyataannya, antara kita dan penulis kitab-kitab kuning, semisal Imam Syafi’i, terbentang sekat masa yang sangat jauh. Dan diakui atau tidak hal itu sering kali menjadi problem kegagalan kita dalam memahami apa yang mereka tulis. Untuk mengatasinya Syekh Ali Jum’ah menyarankan lima hal; 1) mengimajinasikan karya-karya mereka secara utuh, 2) mengetahui teori-teori umum yang digunakan oleh pengarang, 3) memahami istilah-istilah yang ada di dalam karya mereka, 4) memiliki ilmu-ilmu bantu yang diperlukan dalam memahami karya mereka, dan 5) menguasai sistematika bahasa dan alur berfikir dari pengarangnya. Dengan begitu kita dapat menemukan pemahaman yang utuh dari sebuah kitab.
           
Kyai Sahal dan Kitab Kuning
            Kyai Sahal Mahfudh –Allahu yarham- merupakan figur yang telah lama berbaur dengan teks-teks kitab kuning. Fikih Sosial yang digagasnya merupakan buah dari pergulatannya dengan literatur fikih dan ushul fikih. Ia tahu betul bagaimana memosisikan kitab-kitab tersebut.
            Menurutnya, produk-produk fikih yang tertuang dalam kitab-kitab kuning harus dikontekstualisasi. Pesantren seharusnya memahami bahwa kitab kuning, di balik segala nilai historisnya, telah terkikis oleh perkembangan zaman. Namun bukan berarti konsistensi terhadap kitab kuning merupakan kesalahan ilmiah yang mendasar. Meninggalkan kuning akan mengakibatkan terputusnya mata rantai sejarah dan budaya ilmiah yang telah dibangun berabad-abad.
            Kitab kuning, meskipun mungkin tidak mampu mengakomodasi kompleksitas permasalahan saat ini, ia tetap merupakan warisan sejarah dari bangunan besar tradisi keilmuan Islam yang harus dipetik manfaatnya. Menutup kitab kuning berarti menutup jalur yang menghubungkan tradisi keilmuan sekarang dengan tradisi keilmuan milik kita pada masa lalu.
            Dengan demikian, persoalan mendasar berkenaan dengan kitab kuning itu terletak pada penyikapan kita dalam memosisikannya. Kitab kuning sering difungsikan sebagai kompendium yurisprudensi yang sangat legalistik. Dalam konteks ini, kitab kuning sering dianggap sebagai hukum positif yang dapat ‘menghakimi’ segala permasalahan secara rinci dengan latar belakang pertimbangan, argumen, dan keputusan yang sepenuhnya telah dibakukan. Dengan kata lain, kitab kuning telah ‘disejajarkan’ dengan al-Quran dan hadis.
            Memang, menjadikan kitab kuning sebagai referensi untuk memecahkan permasalahan aktual bukan merupakan kesalahan ilmiah. Namun demikian, ia harus disikapi sebagai suatu garis mendatar hingga dapat memberikan konsep-konsep pendekatan yang memperhatikan akar dan implikasi masalah yang timbul dalam masyarakat. Karena, setiap masalah tidak pernah muncul secara mandiri, melainkan selalu memiliki konteksnya sendiri, yang biasanya justru lebih kompleks ketimbang masalah itu sendiri.

            Yang dibutuhkan adalah kemauan untuk membuka diri terhadap berbagai disiplin ilmu di luar apa yang selama ini dianggap sebagai ilmu agama. Pengintegrasian kitab kuning dengan ilmu-ilmu lainnya, jika dilakukan dengan serius dan tepat, justru akan menciptakan suatu sinergi ilmiah yang akan berguna untuk memecahkan permasalahan sosial kontemporer. Dengan catatan, tetap tidak keluar dari akar sejarah tradisi Islam masa lalu. Wallahu a’lam.

Sabtu, 01 Oktober 2016

Kunci Membaca Minhajut Thalibin


            Minhajut Thalibin menjadi salah satu kitab yang wajib dibaca oleh para pengkaji madzhab Syafi’i. Kitab ini ditulis oleh Imam Nawawi, seorang Mujtahid bil Madzhab asy-Syafii yang fatwanya menjadi acuan pengikut madzhab ini.
Minhajut Thalibin merupakan ringkasan (mukhtashar) dari al-Muharrar karya Imam ar-Rafi’i. Imam ar-Rafi’i sendiri merupakan tokoh penting di kalangan pengikut madzhab Syafi’i. Bersama Imam an-Nawawi ia dinobatkan sebagai syaikh. Sehingga jika ada penyebutan kata asy-Syaikhani dalam literatur fikih Syafi’i maka yang dimaksud adalah Imam an-Nawawi dan ar-Rafi’i.
Menyandang kitab penting di kalangan Madzhab Syafi’i menjadikan Minhajut Thalibin banyak dilirik oleh ulama setelahnya. Banyak dari mereka yang menuliskan syarah, mukhtashar, ataupun nadzam dari kitab ini. Ahmad Maiqary Syumailah al-Ahdal dalam kitabnya yang berjudul Sulam al-Muta’allim al-Muhtaj ila Ma’rifah Rumuz al-Minhaj, mengatakan bahwa sekurang-kurangnya terdapat 20 kitab yang memberi syarah atas Minhajut Thalibin. Dari 20 tersebut terdapat beberapa kitab yang popular dan menjadi bahan bacaan di kalangan pesantren. Diantaranya Kanzur Raghibin karya Mahally, Tuhfatul Muhtaj karya al-Haitami, Nihayatul Muhtaj karya ar-Ramli, dan dengan Mughnil Muhtaj karya asy-Syarbini.
Selain syarah, kitab Minhajut Thalibin juga diringkas oleh ulama-ulama  setelahnya seperti Abu Hayyan al-Andalusy dengan judul Al-Wahhaj dan Zakariyya al-Anshori dengan judul Manhajut Thullab. Untuk yang terakhir ini kemudian di-syarah-in lagi oleh orang yang sama dengan judul Fathul Wahhab.
Sebagaimana diungkapkan oleh penulisnya, Minhajut Thalibin memiliki beberapa kelebihan. Imam Nawawi tidak hanya meringkas, tetapi juga menampilkan permasalahan-permasalahan penting yang tidak dicantumkan di kitab asal (al-Muharrar). Di beberapa tema ia juga menjelaskan pendapat-pendapat pilihan (mukhtar) dalam madzhab Syafi’i, yang dalam kitab asalnya hanya menampilkan pendapat sebaliknya.
Dari segi bahasa, Imam Nawawi memandang adanya beberapa redaksi di kitab al-Muharrar yang asing (gharib) dan multi interpretasi. Karenanya, ia mengganti redaksi-redaksi tersebut dengan bahasa yang jelas dan ringkas, sehingga dapat dicerna dengan mudah oleh pembaca.
Sebagai kitab yang ditulis pada abad ke-7 hijriyah Minhajut Thalibin tergolong kuat dari sisi metodologi. Dalam pengantarnya, Imam Nawawi telah menuliskan metode yang dipakai dalam kitab tersebut secara gamblang. Hanya saja, pembaca harus mengernyitkan dahi ketika berjumpa dengan banyaknya istilah-istilah fikih Syafi’i di sana. Maka disarankan untuk memahami istilah-istilah tersebut terlebih dahulu.
Imam Nawawi, dalam kitab ini, mengutip pendapat-pendapat dengan sangat detail. Ia teliti dalam membedakan pendapat Syafi’i dan pengikut Madzhab Syafi’i. Pendapat-pendapat tersebut dituturkannya secara manthiqi dengan kata-kata kunci yang cukup banyak. Berikut kami jelaskan.
Al-adzhar dan al-masyhur. Sebagaimana kita ketahui, dalam permasalahan tertentu terkadang terdapat dua atau lebih pendapat Imam Syafi’i yang berbeda. Ada kalanya dua pendapat tersebut dari qoul qodim, atau qoul jadid, atau qoul qodim dan qoul jadid. Dalam hal ini, ketika Imam Nawawi mengatakan al-adzhar maka yang dimaksud adalah pendapat yang paling kuat dari pendapat-pendapat lain yang sama-sama kuat. Sedangkan bila ia mengatakan al-masyhur maka yang dimaksud adalah pendapat yang kuat dari pendapat-pendapat lain yang tidak kuat.
Al-ashahh dan al-shahih. Dalam madzhab Syafi’i juga terdapat dua atau lebih pendapat pengikut Syafi’i yang berbeda dalam permasalahan tertentu, yang diistilahkan dengan al-wujuh. Pendapat tersebut merupakan hasil ijtihad mereka dengan menggunakan metode yang dipaki Imam Syafi’i. Dalam hal ini, ketika Imam Nawawi mengatakan al-asahh maka yang dimaksud adalah pendapat paling kuat dari pendapat-pendapat lain yang sama-sama kuat. Sedangkan ketika dikatakan al-shahih maka yang dimaksud adalah pendapat yang kuat dari pendapat-pendapat lain yang lemah.
Al-madzhab. Kita tahu bahwa pendapat-pendapat Imam Syafi’i menyebar melalui periwayatan murid-muridnya. Terkadang satu sama lain terdapat dua atau lebih perbedaan periwayatan dalam masalah yang sama, yang dikenal dengan thuruq. Dalam hal ini, ketika Imam Nawawi mengatakan al-madzhab maka yang dimaksud adalah periwayatan yang paling kuat dari periwayatan-periwayatan yang lain.
Selain itu, Imam Nawawi juga sering menggunakan istilah an-nash. Ketika demikian maka yang dimaksud adalah pendapat Imam Syafi’i sendiri, yang mengindikasikan adanya pendapat pengikut madzhab yang berseberangan. Atau adanya pendapat pengikut Imam Syafi’i yang di-takhrij terhadap pendapat Imam Syafi’i. Takhrij adalah menganalogikan hukum baru terhadap hukum yang telah ditetapkan oleh Imam Syafi’i karena adanya keserupaan.
Untuk menginformasikan dua pendapat yang berbeda Imam Nawawi tidak menyebutkan keduanya. Ia cukup menyebutkan satu pendapat sebagai kebalikan dari pendapat yang tak tersebut. Semisal, ketika ia menyebutkan sebuah hukum lalu dikatakan bahwa hal itu adalah qoul jadid, maka hukum kebalikannya yang tak tersebut adalah qoul qodim.
Dalam banyak permasalahan Imam Nawawi juga memperlihatkan kapasitas keilmuannya. Ia menuliskan pendapat pribadinya dengan cara yang santun. Ia mulai dengan kata qultu dan diakhiri dengan kata wallahu a’lam. Dalam hal ini ia sesekali berbeda pendapat dengan apa yang ada di kitab al-Muharrar. Tentu hal itu dilakukan setelah penelitian matang.

Demikianlah apa yang ditulis oleh Imam Nawawi dalam kata pengantarnya. Pijakan-pijakan metodologis tersebut telah ia sematkan sebelum memulai menulis kitabnya. Wallahu a’lam.

Minggu, 25 September 2016

Sudut Pandang



            Sejak semalam hingga sore tadi setidaknya saya mendengar dua kali kata sudut pandang diperbincangkan. Pertama, seorang senior di Darus-Sunnah dalam diskusi tentang Dakwah Nabi semalam mengatakan, “dalam membaca sejarah, jangan sekali-sekali anda menggunakan sudut pandang kekinian untuk memahami sejarah.”
Ia kemudian menjelaskan bahwa ketika mendengar kata politik Nabi, misalnya, maka jangan serta merta memahami arti ‘politik’ tersebut sebagai pemahaman kita saat ini. Bahwa politik itu kotor, politik itu minus idealisme, politik itu terkait mana yang menguntungkan, dan seterusnya.
Kedua, seorang senior di Mathali’ul Falah yang telah sukses di ibu kota mengatakan, “ubahlah sudut pandang anda tentang Jakarta yang sekarang. Jakarta hari ini tak se-mengkhawatirkan dulu.”
Ia kemudian bercerita bahwa dulu para orang tua takut menguliahkan anaknya di Ibu kota. Dalam benak mereka Jakarta itu jauh dan membahayakan. Padahal tidak demikian sekarang. Teknologi dan transportasi semakin maju menembus batas-batas ruang dan waktu.
Dari dua statement tersebut ada hal yang menarik. Pemahaman anda tentang suatu hal di masa sekarang jangan digunakan untuk memahami hal yang sama di masa lalu. Sebagaimana pemahaman masa lalu jangan digunakan untuk membaca hal yang sama di masa sekarang. Keduanya harus proporsional.
Pengertian sudut pandang yang populer adalah cara penulis dalam menempatkan dirinya dalam sebuah cerita atau teknik yang dipilih oleh penulis untuk menyampaikan pesan dalam cerita yang ditulisnya. Semisal dalam cerpen, penulis dapat menempatkan dirinya dalam posisi sudut pandang orang pertama atau orang kedua.
Secara lebih luas, sudut pandang sederhananya adalah cara kita memandang. Dari sudut mana kita menangkap objek. Seorang lelaki melihat seorang gadis dari depan lalu mengatakan ‘cantik’. Lelaki lain melihat gadis yang sama dari depan lalu mengatakan ‘jelek’ hatinya. Lelaki ketiga melihat gadis yang sama dari belakang lalu mengatakan ‘tidak tahu’.
Ada tiga hasil berbeda dari memandang satu objek yang sama. Perbedaan itu muncul karena berbedanya sudut dalam memandang. Semua tergantung dari sudut mana seseorang melihat objek.
Jawa Tengah bila dilihat dari Jawa Barat maka letaknya berada di timur, sebaliknya bila dilihat dari Jawa Timur maka letaknya berada di barat.
Agar menemukan hasil amatan yang sama maka satukan sudut pandang terlebih dahulu. Berbicara hukum Islam maka lihatlah dari sudut pandang fikih. Kendati pun masih dimungkinkan adanya perbedaan hasil amatan, dikarenakan adanya ragam sudut pandang dalam berfikih. Tapi paling tidak berangkatnya sama, dari satu sudut yaitu fikih. Sehingga ketika menemukan hasil yang berbeda tidak saling menyalahkan. Pun perbedaannya tidak terlampau jauh.
Ketika anda melihat pisau berada di tangan penjahat maka mindset anda mengatakan bahwa dia akan atau telah membunuh seseorang. Sebaliknya, ketika pisau tersebut berada di tangan seorang koki maka mindset anda mengatakan bahwa dia akan meracik bumbu. Padahal belum tentu demikian, bukan?
Seorang penjahat memegang pisau berpotensi besar digunakan untuk memasak mana kala ia sedang berada di dapur. Sebaliknya, pisau yang berada di tangan seorang koki berpotensi besar digunakan untuk membunuh ketika nyawanya sedang terancam di sekeliling penjahat. Maka sudut pandang anda tentang suatu hal jangan dilepas begitu saja. Harus dikombinasikan dengan kondisi ruang dan waktu yang melingkupinya.
Itulah mengapa dalam memahami substansi al-Quran dan hadis kita diharuskan mengetahui latar sosio-historis yang melingkupinya. Agar pemahaman kita akan sebuah teks tidak liar, tidak tercerabut dari ko-teks, dan konteks. Minus ko-teks berpotensi liberal, tanpa konteks berpotensi radikal.
Keterbatasan sudut pandang menjadikan kita sempit memandang sesuatu. Bak katak dalam tempurung. Yang hanya mengira dunia ini sesempit tempurung. Padahal di luaran sana alam terbentang luas. Dan banyak sudut tempat berpijak untuk memandang.
Maka bukalah tempurung itu. Dan timbalah ragam sudut pandang dari sumur kehidupan. Lalu letakkan sudut pandang tersebut pada tempatnya.