Tulisan ringan ini saya persembahkan untuk Kyai Sahal
Mahfudh dalam rangka memperingati 1000 hari wafatnya beliau. Karenanya, mari
kita hadiahkan bacaan al-Fatihah terlebih dahulu sebelum memulainya.
Setahun belakangan ini saya gemar sekali mengunduh pdf
kitab-kitab karya ulama masa lampau. Saya belum tahu kapan akan membaca pdf-pdf
tersebut. Yang pasti, sayang kalau kesempatan memiliki kitab-kitab versi pdf
ini terlewatkan, mengingat ketidakmampuan membeli versi cetaknya. Terlebih
banyak dari kitab-kitab tersebut yang jarang ditemukan di pesantren-pesantren.
Sebagiannya telah sejak lama saya dengar namanya meskipun belum pernah melihat
fisiknya. Sebagian lagi belum pernah saya dengar sekalipun.
Kitab-kitab karya ulama masa lampau atau yang populer di
pesantren dengan sebutan ‘kitab kuning’ sangatlah banyak jumlahnya. Keilmuan
yang multisidiplin di atas rata-rata yang dimiliki para ulama masa lampau turut
mendukung pesatnya produktifitas menulis karya. Tidak jarang dari tangan satu
ulama lahir ratusan kitab. Sangat sulit sekali menemukan padanannya di era
sekarang. Hampir-hampir mustahil di zaman ini menemukan seorang Imam Suyuthi
yang konon memiliki 600-an karya.
Sebagian orang mungkin tidak berminat membaca kitab-kitab
jadul itu. Zaman telah berubah jauh dan apa yang tertuang dalam kitab kuning
tidak lagi relevan. Namun bagi sebagian yang lain kitab-kitab itu sangatlah
menarik. Banyak dari buah pemikiran orisinil ulama lampau yang masih layak
pakai. Terlepas dari itu, ijtihad mereka yang terserak dalam ribuan karya
merupakan warisan keilmuan Islam yang sayang kalau tidak dibaca.
Membaca Kitab Kuning
Bagaimanapun, kitab-kitab
kuning menjadi ‘sanad’ dan ‘wasilah’ kita, khususnya dalam beragama. Tanpanya
kita tidak akan punya akses mengetahui dasar dan praktik ibadah dari sumber induk.
Dan tanpanya kita tidak akan mampu membuktikan kebenaran praktik agama yang
kita jalani.
Pertanyaannya, bagaimana
kita bisa memercayai kebenaran isi kitab-kitab itu? Bukankah bisa-bisa saja
pengarangnya menulis informasi palsu? Atau jangan-jangan kitab yang kita baca
adalah tulisan orang lain yang dinisbatkan kepada ulama terkenal?
Terkait hal ini Syeikh Ali
Jum’ah mengingatkan agar kita mempercayai kebenaran turats-turats itu terlebih
dahulu sebelum mendalami isinya. Upaya yang dapat ditempuh ialah dengan berguru
dan mengambil sanad yang menyambungkan kita dengan penulisnya. Jika sudah
demikian maka langkah selanjutnya ialah memahami isi kitab tersebut dan
bagaimana memperlakukannya.
Pada kenyataannya, antara
kita dan penulis kitab-kitab kuning, semisal Imam Syafi’i, terbentang sekat masa
yang sangat jauh. Dan diakui atau tidak hal itu sering kali menjadi problem
kegagalan kita dalam memahami apa yang mereka tulis. Untuk mengatasinya Syekh
Ali Jum’ah menyarankan lima hal; 1) mengimajinasikan karya-karya mereka secara
utuh, 2) mengetahui teori-teori umum yang digunakan oleh pengarang, 3) memahami
istilah-istilah yang ada di dalam karya mereka, 4) memiliki ilmu-ilmu bantu
yang diperlukan dalam memahami karya mereka, dan 5) menguasai sistematika
bahasa dan alur berfikir dari pengarangnya. Dengan begitu kita dapat menemukan pemahaman
yang utuh dari sebuah kitab.
Kyai Sahal dan Kitab Kuning
Kyai Sahal Mahfudh –Allahu yarham- merupakan figur
yang telah lama berbaur dengan teks-teks kitab kuning. Fikih Sosial yang digagasnya
merupakan buah dari pergulatannya dengan literatur fikih dan ushul fikih. Ia tahu
betul bagaimana memosisikan kitab-kitab tersebut.
Menurutnya, produk-produk
fikih yang tertuang dalam kitab-kitab kuning harus dikontekstualisasi. Pesantren
seharusnya memahami bahwa kitab kuning, di balik segala nilai historisnya,
telah terkikis oleh perkembangan zaman. Namun bukan berarti konsistensi terhadap
kitab kuning merupakan kesalahan ilmiah yang mendasar. Meninggalkan kuning akan
mengakibatkan terputusnya mata rantai sejarah dan budaya ilmiah yang telah
dibangun berabad-abad.
Kitab kuning, meskipun
mungkin tidak mampu mengakomodasi kompleksitas permasalahan saat ini, ia tetap
merupakan warisan sejarah dari bangunan besar tradisi keilmuan Islam yang harus
dipetik manfaatnya. Menutup kitab kuning berarti menutup jalur yang menghubungkan
tradisi keilmuan sekarang dengan tradisi keilmuan milik kita pada masa lalu.
Dengan demikian, persoalan
mendasar berkenaan dengan kitab kuning itu terletak pada penyikapan kita dalam
memosisikannya. Kitab kuning sering difungsikan sebagai kompendium
yurisprudensi yang sangat legalistik. Dalam konteks ini, kitab kuning sering
dianggap sebagai hukum positif yang dapat ‘menghakimi’ segala permasalahan
secara rinci dengan latar belakang pertimbangan, argumen, dan keputusan yang
sepenuhnya telah dibakukan. Dengan kata lain, kitab kuning telah ‘disejajarkan’
dengan al-Quran dan hadis.
Memang, menjadikan kitab
kuning sebagai referensi untuk memecahkan permasalahan aktual bukan merupakan
kesalahan ilmiah. Namun demikian, ia harus disikapi sebagai suatu garis
mendatar hingga dapat memberikan konsep-konsep pendekatan yang memperhatikan
akar dan implikasi masalah yang timbul dalam masyarakat. Karena, setiap masalah
tidak pernah muncul secara mandiri, melainkan selalu memiliki konteksnya
sendiri, yang biasanya justru lebih kompleks ketimbang masalah itu sendiri.
Yang dibutuhkan adalah
kemauan untuk membuka diri terhadap berbagai disiplin ilmu di luar apa yang
selama ini dianggap sebagai ilmu agama. Pengintegrasian kitab kuning dengan
ilmu-ilmu lainnya, jika dilakukan dengan serius dan tepat, justru akan
menciptakan suatu sinergi ilmiah yang akan berguna untuk memecahkan
permasalahan sosial kontemporer. Dengan catatan, tetap tidak keluar dari akar
sejarah tradisi Islam masa lalu. Wallahu a’lam.