Selamat Datang di Dunia olient_online

Selamat Datang di Dunia Mini olient_online

Minggu, 02 Oktober 2016

Belajar dari Kyai Sahal; Memperlakukan Kitab Kuning


Tulisan ringan ini saya persembahkan untuk Kyai Sahal Mahfudh dalam rangka memperingati 1000 hari wafatnya beliau. Karenanya, mari kita hadiahkan bacaan al-Fatihah terlebih dahulu sebelum memulainya.
Setahun belakangan ini saya gemar sekali mengunduh pdf kitab-kitab karya ulama masa lampau. Saya belum tahu kapan akan membaca pdf-pdf tersebut. Yang pasti, sayang kalau kesempatan memiliki kitab-kitab versi pdf ini terlewatkan, mengingat ketidakmampuan membeli versi cetaknya. Terlebih banyak dari kitab-kitab tersebut yang jarang ditemukan di pesantren-pesantren. Sebagiannya telah sejak lama saya dengar namanya meskipun belum pernah melihat fisiknya. Sebagian lagi belum pernah saya dengar sekalipun.
Kitab-kitab karya ulama masa lampau atau yang populer di pesantren dengan sebutan ‘kitab kuning’ sangatlah banyak jumlahnya. Keilmuan yang multisidiplin di atas rata-rata yang dimiliki para ulama masa lampau turut mendukung pesatnya produktifitas menulis karya. Tidak jarang dari tangan satu ulama lahir ratusan kitab. Sangat sulit sekali menemukan padanannya di era sekarang. Hampir-hampir mustahil di zaman ini menemukan seorang Imam Suyuthi yang konon memiliki 600-an karya.
Sebagian orang mungkin tidak berminat membaca kitab-kitab jadul itu. Zaman telah berubah jauh dan apa yang tertuang dalam kitab kuning tidak lagi relevan. Namun bagi sebagian yang lain kitab-kitab itu sangatlah menarik. Banyak dari buah pemikiran orisinil ulama lampau yang masih layak pakai. Terlepas dari itu, ijtihad mereka yang terserak dalam ribuan karya merupakan warisan keilmuan Islam yang sayang kalau tidak dibaca.

Membaca Kitab Kuning
            Bagaimanapun, kitab-kitab kuning menjadi ‘sanad’ dan ‘wasilah’ kita, khususnya dalam beragama. Tanpanya kita tidak akan punya akses mengetahui dasar dan praktik ibadah dari sumber induk. Dan tanpanya kita tidak akan mampu membuktikan kebenaran praktik agama yang kita jalani.
            Pertanyaannya, bagaimana kita bisa memercayai kebenaran isi kitab-kitab itu? Bukankah bisa-bisa saja pengarangnya menulis informasi palsu? Atau jangan-jangan kitab yang kita baca adalah tulisan orang lain yang dinisbatkan kepada ulama terkenal?
            Terkait hal ini Syeikh Ali Jum’ah mengingatkan agar kita mempercayai kebenaran turats-turats itu terlebih dahulu sebelum mendalami isinya. Upaya yang dapat ditempuh ialah dengan berguru dan mengambil sanad yang menyambungkan kita dengan penulisnya. Jika sudah demikian maka langkah selanjutnya ialah memahami isi kitab tersebut dan bagaimana memperlakukannya.
            Pada kenyataannya, antara kita dan penulis kitab-kitab kuning, semisal Imam Syafi’i, terbentang sekat masa yang sangat jauh. Dan diakui atau tidak hal itu sering kali menjadi problem kegagalan kita dalam memahami apa yang mereka tulis. Untuk mengatasinya Syekh Ali Jum’ah menyarankan lima hal; 1) mengimajinasikan karya-karya mereka secara utuh, 2) mengetahui teori-teori umum yang digunakan oleh pengarang, 3) memahami istilah-istilah yang ada di dalam karya mereka, 4) memiliki ilmu-ilmu bantu yang diperlukan dalam memahami karya mereka, dan 5) menguasai sistematika bahasa dan alur berfikir dari pengarangnya. Dengan begitu kita dapat menemukan pemahaman yang utuh dari sebuah kitab.
           
Kyai Sahal dan Kitab Kuning
            Kyai Sahal Mahfudh –Allahu yarham- merupakan figur yang telah lama berbaur dengan teks-teks kitab kuning. Fikih Sosial yang digagasnya merupakan buah dari pergulatannya dengan literatur fikih dan ushul fikih. Ia tahu betul bagaimana memosisikan kitab-kitab tersebut.
            Menurutnya, produk-produk fikih yang tertuang dalam kitab-kitab kuning harus dikontekstualisasi. Pesantren seharusnya memahami bahwa kitab kuning, di balik segala nilai historisnya, telah terkikis oleh perkembangan zaman. Namun bukan berarti konsistensi terhadap kitab kuning merupakan kesalahan ilmiah yang mendasar. Meninggalkan kuning akan mengakibatkan terputusnya mata rantai sejarah dan budaya ilmiah yang telah dibangun berabad-abad.
            Kitab kuning, meskipun mungkin tidak mampu mengakomodasi kompleksitas permasalahan saat ini, ia tetap merupakan warisan sejarah dari bangunan besar tradisi keilmuan Islam yang harus dipetik manfaatnya. Menutup kitab kuning berarti menutup jalur yang menghubungkan tradisi keilmuan sekarang dengan tradisi keilmuan milik kita pada masa lalu.
            Dengan demikian, persoalan mendasar berkenaan dengan kitab kuning itu terletak pada penyikapan kita dalam memosisikannya. Kitab kuning sering difungsikan sebagai kompendium yurisprudensi yang sangat legalistik. Dalam konteks ini, kitab kuning sering dianggap sebagai hukum positif yang dapat ‘menghakimi’ segala permasalahan secara rinci dengan latar belakang pertimbangan, argumen, dan keputusan yang sepenuhnya telah dibakukan. Dengan kata lain, kitab kuning telah ‘disejajarkan’ dengan al-Quran dan hadis.
            Memang, menjadikan kitab kuning sebagai referensi untuk memecahkan permasalahan aktual bukan merupakan kesalahan ilmiah. Namun demikian, ia harus disikapi sebagai suatu garis mendatar hingga dapat memberikan konsep-konsep pendekatan yang memperhatikan akar dan implikasi masalah yang timbul dalam masyarakat. Karena, setiap masalah tidak pernah muncul secara mandiri, melainkan selalu memiliki konteksnya sendiri, yang biasanya justru lebih kompleks ketimbang masalah itu sendiri.

            Yang dibutuhkan adalah kemauan untuk membuka diri terhadap berbagai disiplin ilmu di luar apa yang selama ini dianggap sebagai ilmu agama. Pengintegrasian kitab kuning dengan ilmu-ilmu lainnya, jika dilakukan dengan serius dan tepat, justru akan menciptakan suatu sinergi ilmiah yang akan berguna untuk memecahkan permasalahan sosial kontemporer. Dengan catatan, tetap tidak keluar dari akar sejarah tradisi Islam masa lalu. Wallahu a’lam.

Sabtu, 01 Oktober 2016

Kunci Membaca Minhajut Thalibin


            Minhajut Thalibin menjadi salah satu kitab yang wajib dibaca oleh para pengkaji madzhab Syafi’i. Kitab ini ditulis oleh Imam Nawawi, seorang Mujtahid bil Madzhab asy-Syafii yang fatwanya menjadi acuan pengikut madzhab ini.
Minhajut Thalibin merupakan ringkasan (mukhtashar) dari al-Muharrar karya Imam ar-Rafi’i. Imam ar-Rafi’i sendiri merupakan tokoh penting di kalangan pengikut madzhab Syafi’i. Bersama Imam an-Nawawi ia dinobatkan sebagai syaikh. Sehingga jika ada penyebutan kata asy-Syaikhani dalam literatur fikih Syafi’i maka yang dimaksud adalah Imam an-Nawawi dan ar-Rafi’i.
Menyandang kitab penting di kalangan Madzhab Syafi’i menjadikan Minhajut Thalibin banyak dilirik oleh ulama setelahnya. Banyak dari mereka yang menuliskan syarah, mukhtashar, ataupun nadzam dari kitab ini. Ahmad Maiqary Syumailah al-Ahdal dalam kitabnya yang berjudul Sulam al-Muta’allim al-Muhtaj ila Ma’rifah Rumuz al-Minhaj, mengatakan bahwa sekurang-kurangnya terdapat 20 kitab yang memberi syarah atas Minhajut Thalibin. Dari 20 tersebut terdapat beberapa kitab yang popular dan menjadi bahan bacaan di kalangan pesantren. Diantaranya Kanzur Raghibin karya Mahally, Tuhfatul Muhtaj karya al-Haitami, Nihayatul Muhtaj karya ar-Ramli, dan dengan Mughnil Muhtaj karya asy-Syarbini.
Selain syarah, kitab Minhajut Thalibin juga diringkas oleh ulama-ulama  setelahnya seperti Abu Hayyan al-Andalusy dengan judul Al-Wahhaj dan Zakariyya al-Anshori dengan judul Manhajut Thullab. Untuk yang terakhir ini kemudian di-syarah-in lagi oleh orang yang sama dengan judul Fathul Wahhab.
Sebagaimana diungkapkan oleh penulisnya, Minhajut Thalibin memiliki beberapa kelebihan. Imam Nawawi tidak hanya meringkas, tetapi juga menampilkan permasalahan-permasalahan penting yang tidak dicantumkan di kitab asal (al-Muharrar). Di beberapa tema ia juga menjelaskan pendapat-pendapat pilihan (mukhtar) dalam madzhab Syafi’i, yang dalam kitab asalnya hanya menampilkan pendapat sebaliknya.
Dari segi bahasa, Imam Nawawi memandang adanya beberapa redaksi di kitab al-Muharrar yang asing (gharib) dan multi interpretasi. Karenanya, ia mengganti redaksi-redaksi tersebut dengan bahasa yang jelas dan ringkas, sehingga dapat dicerna dengan mudah oleh pembaca.
Sebagai kitab yang ditulis pada abad ke-7 hijriyah Minhajut Thalibin tergolong kuat dari sisi metodologi. Dalam pengantarnya, Imam Nawawi telah menuliskan metode yang dipakai dalam kitab tersebut secara gamblang. Hanya saja, pembaca harus mengernyitkan dahi ketika berjumpa dengan banyaknya istilah-istilah fikih Syafi’i di sana. Maka disarankan untuk memahami istilah-istilah tersebut terlebih dahulu.
Imam Nawawi, dalam kitab ini, mengutip pendapat-pendapat dengan sangat detail. Ia teliti dalam membedakan pendapat Syafi’i dan pengikut Madzhab Syafi’i. Pendapat-pendapat tersebut dituturkannya secara manthiqi dengan kata-kata kunci yang cukup banyak. Berikut kami jelaskan.
Al-adzhar dan al-masyhur. Sebagaimana kita ketahui, dalam permasalahan tertentu terkadang terdapat dua atau lebih pendapat Imam Syafi’i yang berbeda. Ada kalanya dua pendapat tersebut dari qoul qodim, atau qoul jadid, atau qoul qodim dan qoul jadid. Dalam hal ini, ketika Imam Nawawi mengatakan al-adzhar maka yang dimaksud adalah pendapat yang paling kuat dari pendapat-pendapat lain yang sama-sama kuat. Sedangkan bila ia mengatakan al-masyhur maka yang dimaksud adalah pendapat yang kuat dari pendapat-pendapat lain yang tidak kuat.
Al-ashahh dan al-shahih. Dalam madzhab Syafi’i juga terdapat dua atau lebih pendapat pengikut Syafi’i yang berbeda dalam permasalahan tertentu, yang diistilahkan dengan al-wujuh. Pendapat tersebut merupakan hasil ijtihad mereka dengan menggunakan metode yang dipaki Imam Syafi’i. Dalam hal ini, ketika Imam Nawawi mengatakan al-asahh maka yang dimaksud adalah pendapat paling kuat dari pendapat-pendapat lain yang sama-sama kuat. Sedangkan ketika dikatakan al-shahih maka yang dimaksud adalah pendapat yang kuat dari pendapat-pendapat lain yang lemah.
Al-madzhab. Kita tahu bahwa pendapat-pendapat Imam Syafi’i menyebar melalui periwayatan murid-muridnya. Terkadang satu sama lain terdapat dua atau lebih perbedaan periwayatan dalam masalah yang sama, yang dikenal dengan thuruq. Dalam hal ini, ketika Imam Nawawi mengatakan al-madzhab maka yang dimaksud adalah periwayatan yang paling kuat dari periwayatan-periwayatan yang lain.
Selain itu, Imam Nawawi juga sering menggunakan istilah an-nash. Ketika demikian maka yang dimaksud adalah pendapat Imam Syafi’i sendiri, yang mengindikasikan adanya pendapat pengikut madzhab yang berseberangan. Atau adanya pendapat pengikut Imam Syafi’i yang di-takhrij terhadap pendapat Imam Syafi’i. Takhrij adalah menganalogikan hukum baru terhadap hukum yang telah ditetapkan oleh Imam Syafi’i karena adanya keserupaan.
Untuk menginformasikan dua pendapat yang berbeda Imam Nawawi tidak menyebutkan keduanya. Ia cukup menyebutkan satu pendapat sebagai kebalikan dari pendapat yang tak tersebut. Semisal, ketika ia menyebutkan sebuah hukum lalu dikatakan bahwa hal itu adalah qoul jadid, maka hukum kebalikannya yang tak tersebut adalah qoul qodim.
Dalam banyak permasalahan Imam Nawawi juga memperlihatkan kapasitas keilmuannya. Ia menuliskan pendapat pribadinya dengan cara yang santun. Ia mulai dengan kata qultu dan diakhiri dengan kata wallahu a’lam. Dalam hal ini ia sesekali berbeda pendapat dengan apa yang ada di kitab al-Muharrar. Tentu hal itu dilakukan setelah penelitian matang.

Demikianlah apa yang ditulis oleh Imam Nawawi dalam kata pengantarnya. Pijakan-pijakan metodologis tersebut telah ia sematkan sebelum memulai menulis kitabnya. Wallahu a’lam.