Pendahuluan
Sebagai organisasi masa
Islam terbesar di Indonesia, bahkan di dunia, Nahdlatul Ulama (NU) memiliki
pengalaman dan sayap yang luas di berbagai sisi kehidupan. Politik kekuasaan
menjadi pengalaman yang cukup kentara di tubuh NU. Sementara proyeksi
pengembangan ekonomi umat dan bidang lainnya nyaris tidak terdengar gaunya.
Padahal, jika kita tengok sejarah, NU selalu memperoleh raport merah di dunia
politik. Keterlibatan NU dalam panggung politik justru sering berujung pada
perpecahan baik kalangan elite maupun akar rumput (gressroot).
Masa
NU tersebar hampir di seluruh penjuru daerah. Meskipun tidak ada data pasti
mengenai jumlah warga NU, namun dari berbagai literatur menyebutkan bahwa
jumlah mereka tidak kurang dari 40 juta orang. Jumlah yang sangat prestisius tersebut
seringkali dimanfaatkan oleh para pelaku politik untuk mendongkrak perolehan
suara dalam pemilihan umum daerah maupun nasional. Keberadaan mereka yang
mayoritas di pedesaan dan identik dengan kemiskinan menjadikannya tunduk pada
iming-iming politik. Mereka menjadi komoditas bagi para calon pemimpin yang
menjanjikan kesejahteraan hidup. Tak peduli dari kalangan NU maupun tidak.
Kenyataan
ini cukup disayangkan. Ditambah lagi, perhatian para elite NU di tingkat atas
terhadap pengembangan sektor ekonomi hingga kini tidak bergaung. Padahal, kalau
saja mereka mau serius, dengan segala potensi alam dan peluang kerja di
pedesaan, bukan tidak mungkin pengentasan kemiskinan dan peningkatan
kesejahteraan hidup akan teratasi. Ini menjadi tantangan yang seharusnya dan
sudah saatnya mendapat perhatian.