Beberapa tahun silam, ada orang
yang melempar sebuah gagasan tentang penggiliran waktu haji. Gagasan itu
berangkat dari realita lonjakan gelombang jumlah jamaah haji yang semakin hari
semakin meningkat, yang menimbulkan masyaqqat oleh karena adanya
ketimpangan antara jumlah jamaah dan lokasi yang tidak seimbang dalam waktu
yang bersamaan. Kemudian ia melempar wacana pembagian shift haji selama
tiga bulan dan tidak memusatkan pada bulan Zulhijjah saja. Argumen yang ia
bangun adalah sebuah ayat yang secara jelas menyebutkan bahwa waktu haji ialah
beberapa bulan yang telah maklum, bukan 5 hari sebagaimana praktik yang selama
ini berlaku. Menurutnya, selama ini umat Islam mempersempit tafsiran mengenai
cakrawala haji. Oleh karena Nabi Saw hanya sekali berhaji pada jam dan
waktu-waktu tertentu, kemudian disimpulkan bahwa tidak ada keabsahan haji di
luar waktu tersebut.
Salah satu Hadis yang menurut penggagas perlu dipahami
ulang adalah,
الْحَجُّ عَرَفَةُ فَمَنْ أَدْرَكَ لَيْلَةَ عَرَفَةَ قَبْلَ طُلُوعِ
الْفَجْرِ مِنْ لَيْلَةِ جَمْعٍ فَقَدْ تَمَّ حَجُّهُ
“Inti Haji adalah wukuf di Arafah, siapa yang mendapatkan malam Arafah
sebelum terbit fajar dari malam jam’ (malam mabit di Muzdalifah) maka hajinya
telah sempurna.”