Selamat Datang di Dunia olient_online

Selamat Datang di Dunia Mini olient_online

Jumat, 30 November 2012

Civil Society di Tengah Demokratisasi



                                Judul Buku               : 
   Elite Lokal dan Civil Society :
          Kediri di Tengah  Demokratisasi
Karya/Pengarang    : Yusron
Penerbit                     : Pustaka LP3ES Indonesia
Tebal Buku               : 169 Halaman
Harga Buku              : Rp.50.000,00
Jumlah Halaman      : xi + 182


           Membaca buku Elite Lokal dan Civil Society: Kediri di Tengah Demokratisasi, karya Yusron, kita dihantarkan pada pembahasan civil society atau masyarakat madani berdasarkan perspektif yang dikembangkan oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859). Menurut Tocqueville, masyarakat madani ia tempatkan sebagai sesuatu yang tidak apriori maupun tersubordinasi dari lembaga negara. Sebaiknya civil society bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan penyeimbang terhadap kecenderungan intervensi negara atas warga negara.
            Dalam hal ini Yusron mengerucutkan dan fokus pada dua studi kasus, yakni kasus politik desa Silir dalam sekup yang lebih sempit dan kasus Simpang Lima Gumul dalam sekup yang lebih luas. Dengan begini dia bisa lebih tuntas dalam mengembangkan studi kasusnya, sehingga pembahasan tidak menjadi kabur. Kemudian ia uraikan dimulai dengan kasus desa Silir secara lebih mendalam, dilanjutkan kasus desa-desa lain dengan uraian secara singkat. Pembahasan pun berkembang dalam ranah yang lebih luas, yakni kasus-kasus di kota Kediri secara singkat pula. Dan diakhiri dengan kasus Simpang Lima Gumul secara mendalam.
             Secara tersirat Yusron juga mencoba memperkenalkan keunggulan-keunggulan kota Kediri kepada khalayak pembaca. Sebatas yang kami ketahui, Kediri sangat terkenal terutama bagi para khalayak pelajar. Bagi mereka kaum santri tentu tidak asing dengan Pesantren Lirboyo dan Pesantren Ploso di Kediri. Dimana keilmuan Islam ditempa sedemikian rupa sehingga menghasilkan ulama’-ulama’ handal yang tidak diragukan lagi di negeri ini. Bagi mereka yang ingin mematangkan bahasa Inggris tentu tahu dengan Pare. Yang mana di sana berjubel kursus bahasa Inggris ditawarkan dalam berbagai model.
            Di sisi lain, saat ini Kabupaten Kediri tampaknya sedang men-set up dirinya agar dapat menjadi Kabupaten yang mempunyai daya saing yang kuat. Untuk itulah dirancang Kota Baru Simpang Lima Gumul. Dan tentu ini menjadi perhatian tersendiri.  Akan tetapi, dengan hal ini justru menjadikan masyarakatnya dihadapkan pada situasi transisional yang cenderung mendua. Di satu sisi, masyarakat terpaksa masuk pada fase modernitas, tetapi di sisi lain, akar tradisionalitas masih kuat mencengkeram. Satu kaki masyarakat masih berpijak pada tradisi dan mentalitas agraris-tradisional, tapi satu kaki lain dipaksa untuk melangkah ke tradisi industrial-modern.
            Persoalannya adalah siapa yang membangun, untuk siapa dan siapa yang akan diuntungkan? Salah satu tujuan pembangunan yang memihak rakyat adalah penciptaan tata sosial yang memberi kesempatan kepada rakyat untuk mewujudnyatakan potensi yang dimilikinya dalam suatu proses perubahan. Ini berarti mensyaratkan adanya ruang publik yang memungkinkan rakyat banyak berkesempatan memanfaatkan pasar tanpa ada diskriminasi. Dalam kondisi masyarakat yang sedang berbenah, maka masyarakat Kediri membutuhkan modal demokrasi yang kuat. Itu mustahil tercapai bila civil society lemah.
            Nah, untuk menakar seberapa besar kekuatan civil society itu, maka penulis mencoba mencermati kasus perlawanan yang terjadi di desa Silir. Fenomena menarik yang pernah terjadi di Kediri (Silir) di awal era Reformasi adalah rakyat melakukan perlawanan sebagai bentuk reaksi kolektif terhadap negara yang dilakukan dengan cara tidak menggunakan hak pilih, atau yang disebut golongan putih dalam dua kali Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Ini menarik, karena dilakukan dua kali dan dalam suasana yang tenang serta tidak ada keributan. Inilah yang membedakan kasus di Kediri dengan di daerah-daerah lainnya. Itu artinya, demokratisasi di Silir ini memang benar-benar berkembang dan tanpa beban. Ini merupakan ciri khas civil society.
            Sayangnya, keputusan masyarakat untuk tidak memberikan suara pada Pilkades, bukan semata-mata karena mereka menganggap para calon tidak kredibel. Akan tetapi, ada aroma-aroma balas budi untuk salah satu dukungan elite lokal yang tidak lolos seleksi. Kiprah elite lokal yang telah memberikan kontribusi nyata terhadap masyarakat dan desa mendapat apresiasi tinggi dari masyarakat desa. Kontribusi yang diterima masyarakat dipersepsikan sebagai utang budi yang harus dibalas. Cara membalasnya adalah dengan memberikan kepatuhan dan dukungan kepada calon pemimpin desa yang didukung oleh elite lokal. Ini berarti ada pertukaran timbal-balik, sebuah utang budi yang harus dibalas. Saat yang tepat untuk membalas budi-baik tersebut adalah pada peristiwa Pilkades.
            Terlepas dari itu, sebagai desa yang boleh dibilang pelosok, masyarakat Silir telah berhasil membuktikan sistem politik yang dewasa. Mereka berhasil mewujudkan ruang publik yang otonom dan wacana publik harus diperjuangkan. Apabila mereka berhasil mewujudkannya maka cita-cita politik mereka untuk memilih Kepala Desa yang sesuai dengan keinginannya akan terwujud. Dan, apabila terwujud, berarti otonomi masyarakat terbentuk dan mereka telah bebas dari intervensi negara. Maka ketika itu, mereka telah mampu mewujudkan yang namanya civil society.
            Terakhir, kami kira Yusron telah memaparkan studi kasus civil society dengan jelas. Karakteristik daripada civil society telah terwakili pada kasus desa Silir ini. Hanya saja, penggunaan kata maupun kalimat dalam buku ini terlalu tinggi bahasanya dan cenderung berputar-berputar serta membingungkan pembahasannya. Sehingga perlu mencurahkan pikiran yang lebih untuk memahaminya. Wallahu A’lam.

Resensi ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Civic Education Jurusan Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta