Kediri di
Tengah Demokratisasi
Karya/Pengarang : Yusron
Penerbit :
Pustaka LP3ES Indonesia
Tebal Buku :
169 Halaman
Harga Buku :
Rp.50.000,00
Jumlah Halaman :
xi + 182
Membaca buku Elite Lokal dan Civil Society: Kediri di Tengah Demokratisasi, karya Yusron, kita dihantarkan pada pembahasan civil society atau masyarakat madani berdasarkan perspektif yang dikembangkan oleh Alexis de Tocqueville (1805-1859). Menurut Tocqueville, masyarakat madani ia tempatkan sebagai sesuatu yang tidak apriori maupun tersubordinasi dari lembaga negara. Sebaiknya civil society bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik cukup tinggi sehingga mampu menjadi kekuatan penyeimbang terhadap kecenderungan intervensi negara atas warga negara.
Dalam
hal ini Yusron mengerucutkan dan fokus pada dua studi kasus, yakni kasus politik
desa Silir dalam sekup yang lebih sempit dan kasus Simpang Lima Gumul dalam
sekup yang lebih luas. Dengan begini dia bisa lebih tuntas dalam mengembangkan
studi kasusnya, sehingga pembahasan tidak menjadi kabur. Kemudian ia uraikan
dimulai dengan kasus desa Silir secara lebih mendalam, dilanjutkan kasus
desa-desa lain dengan uraian secara singkat. Pembahasan pun berkembang dalam
ranah yang lebih luas, yakni kasus-kasus di kota Kediri secara singkat pula.
Dan diakhiri dengan kasus Simpang Lima Gumul secara mendalam.
Secara tersirat Yusron juga mencoba
memperkenalkan keunggulan-keunggulan kota Kediri kepada khalayak pembaca. Sebatas yang kami ketahui, Kediri
sangat terkenal terutama bagi para khalayak pelajar. Bagi mereka kaum santri
tentu tidak asing dengan Pesantren Lirboyo dan Pesantren Ploso di Kediri.
Dimana keilmuan Islam ditempa sedemikian rupa sehingga menghasilkan ulama’-ulama’
handal yang tidak diragukan lagi di negeri ini. Bagi mereka yang ingin
mematangkan bahasa Inggris tentu tahu dengan Pare. Yang mana di sana berjubel
kursus bahasa Inggris ditawarkan dalam berbagai model.
Di sisi
lain, saat ini Kabupaten Kediri tampaknya sedang men-set up dirinya agar
dapat menjadi Kabupaten yang mempunyai daya saing yang kuat. Untuk itulah
dirancang Kota Baru Simpang Lima Gumul. Dan tentu ini menjadi perhatian
tersendiri. Akan tetapi, dengan hal ini
justru menjadikan masyarakatnya dihadapkan pada situasi transisional yang
cenderung mendua. Di satu sisi, masyarakat terpaksa masuk pada fase modernitas,
tetapi di sisi lain, akar tradisionalitas masih kuat mencengkeram. Satu kaki masyarakat
masih berpijak pada tradisi dan mentalitas agraris-tradisional, tapi satu kaki
lain dipaksa untuk melangkah ke tradisi industrial-modern.
Persoalannya
adalah siapa yang membangun, untuk siapa dan siapa yang akan diuntungkan? Salah
satu tujuan pembangunan yang memihak rakyat adalah penciptaan tata sosial yang
memberi kesempatan kepada rakyat untuk mewujudnyatakan potensi yang dimilikinya
dalam suatu proses perubahan. Ini berarti mensyaratkan adanya ruang publik yang
memungkinkan rakyat banyak berkesempatan memanfaatkan pasar tanpa ada
diskriminasi. Dalam kondisi masyarakat yang sedang berbenah, maka masyarakat
Kediri membutuhkan modal demokrasi yang kuat. Itu mustahil tercapai bila civil
society lemah.
Nah,
untuk menakar seberapa besar kekuatan civil society itu, maka penulis
mencoba mencermati kasus perlawanan yang terjadi di desa Silir. Fenomena
menarik yang pernah terjadi di Kediri (Silir) di awal era Reformasi adalah
rakyat melakukan perlawanan sebagai bentuk reaksi kolektif terhadap negara yang
dilakukan dengan cara tidak menggunakan hak pilih, atau yang disebut golongan
putih dalam dua kali Pemilihan Kepala Desa (Pilkades). Ini menarik, karena
dilakukan dua kali dan dalam suasana yang tenang serta tidak ada keributan.
Inilah yang membedakan kasus di Kediri dengan di daerah-daerah lainnya. Itu
artinya, demokratisasi di Silir ini memang benar-benar berkembang dan tanpa
beban. Ini merupakan ciri khas civil society.
Sayangnya,
keputusan masyarakat untuk tidak memberikan suara pada Pilkades, bukan
semata-mata karena mereka menganggap para calon tidak kredibel. Akan tetapi,
ada aroma-aroma balas budi untuk salah satu dukungan elite lokal yang tidak
lolos seleksi. Kiprah elite lokal yang telah memberikan kontribusi nyata
terhadap masyarakat dan desa mendapat apresiasi tinggi dari masyarakat desa.
Kontribusi yang diterima masyarakat dipersepsikan sebagai utang budi yang harus
dibalas. Cara membalasnya adalah dengan memberikan kepatuhan dan dukungan
kepada calon pemimpin desa yang didukung oleh elite lokal. Ini berarti ada
pertukaran timbal-balik, sebuah utang budi yang harus dibalas. Saat yang tepat
untuk membalas budi-baik tersebut adalah pada peristiwa Pilkades.
Terlepas
dari itu, sebagai desa yang boleh dibilang pelosok, masyarakat Silir telah
berhasil membuktikan sistem politik yang dewasa. Mereka berhasil mewujudkan
ruang publik yang otonom dan wacana publik harus diperjuangkan. Apabila mereka
berhasil mewujudkannya maka cita-cita politik mereka untuk memilih Kepala Desa
yang sesuai dengan keinginannya akan terwujud. Dan, apabila terwujud, berarti
otonomi masyarakat terbentuk dan mereka telah bebas dari intervensi negara.
Maka ketika itu, mereka telah mampu mewujudkan yang namanya civil society.
Terakhir, kami
kira Yusron telah memaparkan studi kasus civil society dengan jelas. Karakteristik
daripada civil society telah terwakili pada kasus desa Silir ini. Hanya
saja, penggunaan kata maupun kalimat dalam buku ini terlalu tinggi bahasanya
dan cenderung berputar-berputar serta membingungkan pembahasannya. Sehingga
perlu mencurahkan pikiran yang lebih untuk memahaminya. Wallahu A’lam.
Resensi ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Civic Education Jurusan Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Resensi ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Civic Education Jurusan Dirasat Islamiyah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta