Malam itu, purnama enggan menampakkan cahaya terangnya. Walau tak terlihat, sebenarnya gumpalan-gumpalan mendung sedang mengarak ramai dan membentangkan jubahnya di petala langit. Angin riuh rendah bergemuruh ke semua penjuru. Selang sejenak rintik-rintik gerimis menjuntal menerpa dedaunan hingga jatuh ditelan bumi. Hujan merayap dan merapat. Gemercik air makin deras. Guntur menyambar meronta-ronta. Hening malam pecah.
Sejatinya, bukan semata hujan lebat yang menjadikan malam terasa liar. Melainkan warga dibuat terkejut secara tiba-tiba, air setinggi lutut telah menggenangi seisi rumah mereka. Kekalutan dan ketakutan menghantui setiap nyawa. Terlebih mereka para kepala keluarga. Kalut lantaran banjir semakin pasang. Juga takut karena di luar hujan makin lebat disertai guntur berkilat. Malam itu warga gundah gulana memikirkan nyawa dan harta benda masing-masing. Karena tak mungkin mengungsi ditengah malam yang gelap pekat serta hujan yang sangat lebat, selain menanti hadirnya esok hari.
Tak ubahnya kekhawatiran menggelayut pula di hati Syafi’i. Malam itu tak sepicing pun ia memejamkan mata walau sedetik. Keadaannya sebagai kepala keluarga mengharuskannya untuk memberikan keselamatan bagi anak-istrinya serta harta benda yang dimilikinya. Memang, banjir tak begitu membuatnya repot. Selain kekayaannya yang sedikit, nyaris tidak ada benda berharga di rumahnya yang harus betul-betul diselamatkan. Tapi rasa khawatir tertuju pada rumahnya yang sederhana, yang tiang-tiangnya sudah tak tegak lagi. Ia tidak bisa membayangkan kalau sampai terjangan arus banjir merobohkan rumahnya di malam itu. Maka sampai pagi menjelang ia terus berjaga-jaga di sekitar rumahnya.
* * *
Sejak berkeluarga, kesederhanaan telah berbaur erat bersama sendi-sendi kehidupan Syafi’i. Rumah yang kecil, dengan dinding anyaman bambu serta lantai tanah, sudah cukup menjadi cerminan kesederhanaan itu. Tidak pernah terbersit harapan di hatinya untuk menjulangkan tembok-tembok di dindingnya dan membentangkan keramik di alasnya. Selain dia bukan pribadi yang gemar bermewah-mewahan, tentu karena tidak ada biaya untuk itu semua. Cukup asalkan esok hari ada rizki untuk mencukupi kebutuhan makan, serta keluarganya senantiasa diberkahi kesehatan, hal itu sudah merupakan nikmat tak terkira yang akan membuatnya selalu bersyukur kepada-Nya. Demikian ritme kehidupan masyarakat miskin pada umumnya, khususnya kehidupan Syafi’i setiap harinya.
Akan tetapi bila bersinggungan dengan pendidikan bagi anak-anaknya, Syafi’i senantiasa bertekad untuk memperjuangkan sepenuh jiwa dan raga. Ibarat kata, walau badan remuk redam untuk mengais rizki setiap saat, kalau itu demi kesuksesan pendidikan buah hatinya, niscaya akan dijlaninya tanpa bosan dan lelah. Keinginannya sederhana, memberikan kesempatan pendidikan setinggi mungkin bagi sang anak selagi nyawa masih dikandung badan. Walau tak pernah mengenyam pendidikan formal, namun ada bara keyakinan di hatinya, bahwa pendidikan akan menyelamatkan seseorang dunia dan akhirat. Dengan pendidikan pula akan dihargai dan dihormati setiap saat. Ia berharap kelak anak-anaknya menjadi tunas-tunas bangsa yang berguna bagi agama, Negara, nusa dan bangsa.
* * *
Pagi itu Syafi’i belum juga tidur. Setelah semalam suntuk menetralisir keadaan rumah, mengantisipasi segala kemungkinan yang dapat terjadi kapan saja, kini pagi-pagi buta ia harus mengemasi barang-barangnya dan berbondong-bondong menuju kediaman Kepala Desa untuk mengungsi bersama keluarganya dan warga yang lain. Alasannya jelas, kediaman Kepala Desa tentu luas dan dibangun sedemikian rupa sehingga terhindar dari banjir. Toh, memang sudah menjadi kewajiban sang Kepala Desa untuk mengayomi setiap warganya.
Setiba di pengungsian Syafi’i merebah. Badannya terkulai lemas tak kuat menahan rasa kantuk dan lelah. Matanya memejam. Di sebelah, Rasti, sang istri sibuk merapikan barang bawaan.
“Kira-kira banjir sampai kapan, ya, Bu ?”.
“Entah Pak. Barang kali akan lama. Apalagi seminggu terakhir, hujan tak jua reda. Yang penting kita sudah aman di pengungsian toh Pak !” jawab Rasti lembut dan datar.
“Bener sih Bu. Hanya saja, apa kabarnya padi di sawah ? Haruskah jerih payah kita gagal lagi? Padahal tinggal menuai lho Bu! Mana pupuknya dulu masih ngutang lagi! Pakai apalagi untuk menutup hutang-hutang tersebut?” keluh Syafi’i rendah dan pasrah.
Rasti menatap wajah iba suaminya lekat-lekat. Sosok pekerja keras tampak jelas dari guratan otot-otot di dahi bapak tiga anak itu. Kini buah hasil memeras keringat sepanjang hari yang hendak dipetik, terancam gagal oleh banjir. Rasti tak kuat hati memandanginya.
“Jangan ngomong gitu toh Pak. Gusthi Allah pun pirso. Jangan mengurangi keimanan kita kepada-Nya. Tidak ada jerih payah hamba-Nya yang sia-sia. Yang penting kita ikhlas menjalaninya karna-Nya. Kalau memang tidak dapat memetik hasil kerja keras kita, yakinlah bahwa Allah akan menggantinya dari tempat yang tak pernah kita sangka. Bukankah demikian bunyi di salah satu ayat Al-Qur’an? Tapi percayalah, insya Allah semua akan baik-baik saja”.
“Yah, semoga saja begitu Bu. Kalau pun memang harus gagal panen, itu artinya bukan rezeki kita ya, Bu. Yah, yang penting nikmat yang telah ada sekarang, kita syukuri bersama untuk senantiasa beribadah kepada-Nya” timpal Syafi’i menghibur dan meyakinkan diri.
Siapa sangka, di tengah keresahan dan beban hidup yang amat pelik, Syafi’i masih sempat berlapang dada untuk tetap bersyukur kepada-Nya. Di lingkaran lika-liku terjal perjalanan hidup, ia teramat ikhlas mengekspresikan kehambaannya kepada Allah.
“Oh ya Pak. Anu …..”, Rasti berhenti sejenak, seakan tak tega dengan apa yang hendak dikatakannya, “Tadi Pak Lurah bilang, katanya Anna nelpon uang sakunya habis, dia minta kiriman di Pesantren”.
Entah bagaimana lagi untuk menggambarkan hati Syafi’i. Jatuh bangun tidak hanya sampai pada musibah banjir dan ancaman gagal panen semata. Nun jauh di pesantren sang anak sedang menanti biaya untuk mencukupi kelangsungan hidupnya dalam menuntut ilmu. Sebagai tulang punggung keluarga, sudah semestinya Syafi’i dibebani akan hal itu.
Sejak lulus Madrasah Tsanawiyah dua tahun lalu, Syafi’i mempercayakan pendidikan Anna di pesantren. Melalui pesantren ia ingin mempersiapkan anaknya menjadi generasi muslimah yang sholehah, akrom, cerdas, aktif, bertaqwa kepada-Nya, mencintai rasul-Nya, serta kasih sayang kepada sesama. Agar tidak kalah dalam hal ilmu dunia, Anna juga sekolah di Madrasah Aliyah. Oleh karenanya, sang ayah harus mencukupi kebutuhan yang tidak sedikit setiap bulan. Sedangkan ia sendiri tidak punya penghasilan tetap. Hanya ada sebuah tekad dan keyakinan dalam jiwanya, jika bersungguh-sungguh demi menuntut ilmu, niscaya Allah akan mencukupinya. Meskipun dengan jalan berhutang terlebih dahulu kepada H. Amin, juragan beras tempat ia bekerja tempo hari. Baru setelah panen raya tiba, ia akan menutup lubang-lubang hutang tersebut. Namun apa jadinya, jika padi yang hendak jadi jaminan terancam gagal panen?.
Syafi’i membuka matanya perlahan. Pandangannya berpaling ke wajah sang istri. Rasti balik menatapnya. Diam tanpa kata dua pasang mata itu bertemu dalam irama kasih sayang. Baik dalam keadaan susah maupun senang, suka maupun duka. Syafi’i tersenyum tipis.
“Insya Allah, Bu. Insya Allah ada rizki untuk anak kita, Anna. Allah sedang mempersiapkannya. Percayalah…..” ucap Syafi’i lirih meyakinkan sang istri.
Rasti mengangguk seraya tersenyum. Namun seketika tiba-tiba tersentak, “Astaghfirullah, bukannya bapak belum sholat subuh? Cepetan! Keburu matahari terbit” seru Rasti mengingatkan.
“Ya Allah……….. ampuni aku ya Rabb”. Segera Syafi’i bangkit untuk bertamu kepada-Nya.
* * *
Seberkas cahaya memancar dari ufuk timur. Hari ini mentari bersinar terang. Tanpa terasa banjir telah memasuki harinya yang ketiga. Sementara itu, genangan air tinggal selutut kaki. Pagi ini Syafi’i berencana meninjau keadaan rumahnya yang tergenang. Barang kali ada sesuatu yang bisa dilakukan disana.
Sesampainya di rumah sederhana yang telah ia tinggalkan selama tiga hari terakhir ini, ia segera membersihkan lumpur-lumpur yang tersisa. Kemudian ia memastikan keadaan semua sudut dan sekeliling rumah dalam keadaan baik dan aman. Tiba-tiba pesan Pak Lurah tiga hari silam terngiang. Seketika ia merasa iba dan berdosa kepada Anna, anak pertamanya. Sampai pagi itu ia belum juga mendapatkan apa yang hendak diberikan kepada Anna. Maka pagi itu juga, setelah memastikan keadaan rumah beres, Syafi’i bergegas ke sawah meninjau padi.
Untuk sampai sawah di ujung desa, Syafi’i harus menempuh jalan melintasi sungai yang membelah desa, yang dari luapan sungai tersebutlah banjir melanda. Ia telah sampai di bibir sungai, tapi kebingungan untuk menyeberang. Jembatan yang selama ini menjadi penghubung, telah raib diterjang banjir. Lalu ia mengitarkan pandangan ke semua arah. Wajahnya berbinar kala melihat gedebok pisang terkapar di seberang jalan.
“Ini dia caranya. Tak ada jalan lain” ujarnya pada diri sendiri.
Gedebok itu kini berada di depannya dan siap menjadi alat bantu berenang menyeberangi sungai. Setelah tangan dan kepalanya diletakkan di atas gedebok, bibirnya mengucap bismillah. Kedua kakinya mengayuh di air. Sesaat ia terlena dalam irama aliran sungai, sebelum tiba-tiba gelombang pasang air bergulung-gulung di depannya. Sekilat mungkin gelombang itu menyeretnya dalam pusaran air hingga ia tak sadar lagi keadaannya.
* * *
Sering kali musibah banjir yang terjadi di sekitar kita menyisakan cerita duka lara yang mendalam. Tak sedikit kerugian yang harus ditanggung akibat ulah sebagian orang yang selama ini mementingkan egoisme pribadi. Padahal, jika saja mereka mau merubah kebiasaan buang sampah sembarangan serta ramah terhadap lingkungan, hutan dan alam, kerugian-kerugian itu tidak akan terjadi atau paling tidak dapat diminimalisir.
Syafi’i hanya segelintir orang yang harus menanggung akibat tersebut. Hidupnya yang telah susah masih ditambah dengan kepayahan yang hampir merenggut nyawanya. Amat disayangkan jika nada-nada sumbang banjir seperti itu terus membudaya tiap tahun.
Syafi’i tergeletak tak sadarkan diri. Istri, anak dan tetangganya berkerumun mengelilinginya. Tangannya bergerak. Perlahan kedua matanya terbuka.
“A…..a…ada apa, Bu?” ucapnya lemah terbata-bata.
“Istirahat dulu, Pak. Kondisimu masih lemah” jawab Rasti lembut.
“Assalamu’alaikum….” Sosok suara lelaki terdengar.
Rasti menoleh. “Wa’alaikum salam. Oh, Pak Lurah. Monggo Pak.”
“Bagaimana keadaanmu Pak Syafi’i? Sudah baikan?” tanya Pak Lurah. “Oh ya, tadi Anna telepon, katanya untuk satu bulan ke depan ini tidak usah dikirimi. Kemarin dia dapat honor dari tulisannya yang dimuat di salah satu koran. Anna itu pinter lho Pak!”.
“Alhamdulillah…….” secercah sinar kebahagiaan memancar di wajah dan hati Syafi’i, diikuti ucap syukur oleh Rasti dalam hati. Wallahu A’lam.
Brakas, diantara gemericik hujan dan banjir di bawah temaram lampu malam Februari 2012.